/SAMARINDA DAN AYAH ALENA/

9 1 0
                                    

Rara memasukkan kartu yang juga berguna sebagai kunci pintu pada slot yang disediakan. Bersamaan dengan itu, lampu dan air conditioner ikut menyala. Rara menghempaskan diri di salah satu kasur tanpa perlu repot melepas flat shoes hitam dan kaos kaki sepanjang lutut yang sejak pagi ia gunakan. Sedangkan aku mulai mencari ponsel dalam tas ransel yang kutinggal di kamar seharian.

9 Missed Calls from Lian.

Aku menggerakan jariku untuk membuka aplikasi chatting, melihatnya sekilas yang kebanyakan berasal dari Mami, Bapak, Alena dan Lian, selebihnya hanya iklan dari official account yang sedang mempromosikan sesuatu.

Rara bangkit dari posisi berbaring untuk menarik laptop dari tas jinjing yang ia bawa kemanapun ia pergi sejak pagi. Aku mengikutinya dengan membawa jurnal ukuran A5 yang sudah setengah penuh— berisikan agenda setiap hari untuk tim jurnalistik sekolahku beserta materi yang disampaikan pemateri dari pagi hingga menjelang tengah hari. "Kamu gabungin ya, Ra."

"Emang itu kan tugasku."

"Kabarin Sella buat buruan ke sini. Beritanya dia belum rampung." perintahku yang direspon anggukan oleh Rara.

Sekarang jam 21.43; 17 menit lagi sebelum pukul 10 malam yang mengharuskan ku untuk memberikan rencana esok hari selepas pukul satu pada pembina. Semuanya berjalan dengan lancar seperti hari hari sebelumnya; Rara yang mulai memeriksa dan menggabungkan kumpulan berita bertema pedagang kaki lima yang kami buat hari itu, Sella yang menyelesaikan beritanya dengan konsentrasi yang terus terusan berkurang tiap detiknya karena kantuk yang mulai menyapa, dan aku yang harus bolak balik melihat layar laptop dan menulis sesuatu dalam buku jurnal. Lantas ketika hanya tersisa 6 menit sebelum deadline yang secara khusus diberikan padaku, ponselku berdering dan menampilkan nama Lian di layarnya. Aku menerima panggilan tersebut tanpa pikir panjang dan langsung menyelipkan ponsel antara telinga kiri dengan pundak yang sengaja ditinggikan.

"What?!" tanyaku kasar sembari melakukan ketikan cepat pada keyboard laptop; menuliskan kemana saja kita akan pergi esok hari— lengkap dengan waktu kunjungan— dengan membawa tema binatang untuk nantinya dijabarkan dalam lima berita berbeda.

"Kangen."

"Najis." balasku tepat saat berhasil mengklik tombol send. Lantas mulai menyebarkan agenda tersebut pada anggota tim jurnalistik sekolahku lewat grup obrolan dalam aplikasi LINE.

"Masih sibuk?"

Aku tanpa sadar mengangguk, lantas mengeluarkan "Sibuk dan capek baaaanget." selagi melepaskan kaos kaki dan merebahkan diri di atas kasur; menerima tatapan kesal dari Rara dan Sella yang kurespon dengan kedipan mata disertai tawa kecil.

"Wow, look at you now, pernah ditolak jadi anggota mading, sekarang malah jadi ketua ekskul baru di sekolah." Aku berdecak sebal mendengar kalimat yang baru saja disampaikan Lian, masalahnya, ia sudah mengatakan itu lewat telepon setiap hari dalam empat hari terakhir; ya, walaupun dengan penyampaian yang berbeda beda tetapi intinya tetap sama, yakni: aku berhasil mendapatkan yang jauh lebih baik dari apa yang sebelumnya ku dambakan.

"Ya, ya, ya, thanks to you karena musuhan sama kamu bisa buat aku lebih banyak dan lebih fokus ikut lomba tulis menulis."

Kami berdua sama sama diam setelahnya; mungkin Lian sedang membalas pesan dari Diandra atau mengerjakan sesuatu yang tidak penting seperti melakukan eksperimen dengan permen karet sebagai bahan leluconnya di masa depan. Aku memanfaatkan keheningan tersebut dengan mengecek lembar kerja Sella; membaca kata per katanya dengan cepat sebelum mengangguk dan menepuk pundak adik kelasku tersebut pelan, "Good job, dan semangat untuk empat hari ke depan." ucapku pelan pada Sella yang justru membuatnya menghebuskan nafas berat arti menyerah.

LEFT UNSAIDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang