/MAKAN BERSAMA/

16 2 0
                                    

Aku menerima sodoran nasi ayam kecap lengkap dengan tumis kangkung dari tangan ibu kantin favoriteku, kemudian memberikan uang pecahan lima ribuan sebanyak dua lembar kepada beliau dan memutuskan untuk duduk di meja dekat situ.

Keadaan kantin siang itu cukup sepi. Pertama, karena jam istirahat kedua memang sudah berakhir. Kedua, terkutuklah guru matematika kami yang mengadakan ulangan harian dadakan dan mengambil jatah istirahat makan siang kami.

"Kamu kok cepet banget sih?!" Seorang laki laki tiba tiba saja muncul di hadapanku; hampir membuat nasi yang tengah kukunyah keluar lagi. "Kaget ya?" ia tertawa kecil, "Sorry."

Lelaki yang duduk dihadapanku dengan membawa piring berisikan nasi goreng itu namanya Lian. Lelaki yang juga selalu berada satu angkutan umum denganku ketika pulang sekolah. Kami duduk bersebelahan di kelas, maksudku, bersebrangan, karena sudah pasti Alena yang duduk satu meja denganku di kelas baru yang menurutku tidak ada bedanya dari sebelum renovasi. Dan lelaki yang bernama Lian ini terus terusan menatapku ketika diriku menyelesaikan ulangan harian matematika lebih dulu yang bahkan sebagian materinya belum sempat dijelaskan karena keterbatasan fasilitas papan tulis di ruang serba guna.

"Kamu ngarang jawaban ya, Da?" tegur Alena tiba tiba dengan membawa makanan yang terlihat sama persis dengan kepunyaanku; kenapa semua orang hari ini mendadak mempunyai kemampuan muncul tiba tiba?

"Oit!" ucap Lian sembari menyenggol lenganku; masih berusaha menggali jawaban atas pertanyaannya yang menurutku tak penting tersebut.

"Da!" kali ini muncul dari Alena yang memilih duduk di sisi kiriku. Astaga, aku hanya ingin mengisi perut dengan tenang.

"Beliin aku susu ultra dulu, baru aku kasih tau kenapa aku keluar duluan." pintaku setelah mengingat bahwa aku belum sempat membeli minuman; padahal sudah menghabiskan setengah porsi.

"Gak seret apa abis makan malah minum susu? Aku beliin aqua aja, atau es teh?" tawar Lian bersamaan dengan tangannya yang meletakkan sendok dan garpu dalam posisi terbalik. Aku dan Alena langsung bertukar pandangan, kemudian tersenyum geli. "Firda emang gitu, Yan. Dia mau makan apapun minumnya tetep ultra milk full cream, kalau gak yang rasa strawberry. Tergantung moodnya dia aja." jelas Alena sebelum memasukkan suapan kesekian dalam mulutnya.

Lian mengalihkan tatapannya dari Alena menuju ke arahaku. "No, no, no, you must drink ice tea. Ice tea is good. Ice tea is seger!!" ucap Lian mengikuti aksen bahasa inggris Bu Lea yang merupakan campuran antara english amerika dan sedikit logat Batak.

"Kasih tau Bu Lea baru tahu!" balasku diikuti tawa.

Lian berdiri dari kursinya, lantas menuju salah satu warung kantin untuk memesan dua gelas es teh. Sebelum Lian benar benar kembali, Alena meneriakkan "Aqua satu ya, Yan. Uangnya gak akan kuganti, di ikhlaskan saja!!" yang cukup membuat telinga kiriku sakit.

"Untung hari ini diriku kaya. Besok kalo aku miskin, beliin es teh ya!" ucap Lian ketika akhirnya sampai di meja kami; tepat saat makan siangku sudah benar benar habis, menyisakan bumbu kecap yang berada di bawah tulang ayam.

Aku menerima sodoran gelas es teh dari tangan Lian dengan bibir mengerucut, maksudku, aku belum ada menyesap ultra milk rasa apapun hari ini dan aku ingin menyegarkan tenggorokanku dengan susu dan bukannya es teh dari Pak Surya yang kadang terlalu manis dan kadang hambar tersebut.

"Drink, Firdut! Please!"

"Diem kagak lu!" ucapku memelototi dirinya yang justru membuatnya tertawa. Aku serius. Aku tidak ingin dianggap seperti tidak pernah mencoba minuman es teh sama sekali di depan para Bapak Ibu penjaga kantin dan beberapa kawan kelas siang itu.

Aku menikmati es teh tersebut lewat sedotan sebelum Safira— teman sekelasku— muncul di kantin untuk memberi tahu bahwa guru pelajaran berikutnya sudah datang. "Yuk balik kelas." ajakku.

"Oh come on!! Cerita soal ulangan metik nya kapan?" sahut Lian tepat setelah kalimat ajakanku berakhir. "Jangan jangan kamu beneran ngarang ya? Itu kertasnya kamu isi kosong semua supaya bisa cepet cepet makan, kan kamu rakus?!"

Alena menarik lengan Lian secara tiba tiba dan kasar untuk segera ia bawa ke ruang kelas. "Aku gak mau dihukum Pak Restu! Yuk ah buruan masuk kelas!"

Aku berjalan di belakang keduanya; membuatku punya kesempatan untuk tertawa menyaksikan tingkah konyol keduanya. Ku harap mereka menganggapku penting— lebih dari hanya sekadar teman kelas— karena mulai detik itu, mereka membuatku nyaman.[]

LEFT UNSAIDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang