/KADO TERAKHIR/

12 0 0
                                    

"Ya kalau mau kasih, kasih aja. Kalau mau sekalian nyatain, ya....silahkan juga." ucap salah satu teman perempuan selagi memarkirkan kendaraan roda empatnya.

"Tapi malu...."

Ananda menoleh ke belakang tempatku berdiam diri, mengeluarkan tatapan yang jika bersuara akan terdengar seperti 'Yailah, ngasih kado doang ngapain malu'

"Kan udah lama gak ngobrol. Emang dia masih inget aku?" tanyaku saat Della berhasil memarkirkan mobilnya dengan benar dan langsung memposisikan diri seperti Ananda. Jika orang lain melihat posisi duduk kami bertiga saat ini, mereka pasti menganggap aku telah melakukan kesalahan hingga harus disidang oleh dua temanku ini.

"Astaga, Dut! Kalian berdua itu legend! Masa iya dia bisa lupa?"

Sekarang akhir Oktober 2018. Sudah lewat tiga tahun dari hari perpisahan kami yang juga menjadi hari terakhir percakapanku dengan Lian. Entah apa yang memisahkan kami berdua, padahal jarak rumah kami tidak terlalu jauh, komunikasi pun harusnya dapat terjalin lewat sosial media yang sudah banyak macamnya. Namun Lian seakan mempunyai rencana hidup yang tidak melibatkan aku di dalamnya.

Della selalu rajin memberiku kabar terkini mengenai Lian; perihal hubungannya dengan Amel yang kandas atas alasan jarak, juga tentang Lian yang menemukan sosok pengganti Amel dalam satu organisasinya. Selebihnya hanya perihal Lian yang supel, aktif, ramah dan menyenangkan hingga banyak orang mengenalnya.

"Aku bawa pulang aja deh." ucapku sembari memeluk kotak kado berisikan barang barang yang memang kubeli untuk Lian namun tidak pernah sempat kuberikan. Dari mulai satu kaos, waist bag, hingga perintilan lainnya yang terkumpul dalam satu box cukup besar.

"DUDUT!!" teriak Ananda gemas. "Katanya kamu mau bener bener lepas dari Lian, ya ini cara terbaiknya, ngasih kado sekaligus nyampein perasaan. Kamu harus ngomong, kamu harus lepasin perasaanmu dengan cara dia harus tau."

Jujur saja, aku tidak ingin mempermalukan diriku sendiri dengan mengatakan bahwa aku menyukai Lian sejak bertahun tahun lalu. Aku yakin bisa menyimpannya sampai mati. Lian juga tidak akan memercayai begitu saja orang yang mengatakan bahwa selama ini seorang Firda— yang sudah ia anggap adik sendiri— menyimpan perasaan lebih dari seorang teman. Dan Lian juga tidak akan mampu menanyakan kebenarannya langsung padaku, jadi apa masalahnya di sini? Tidak bisakah aku dan Lian berjalan masing masing sekarang tanpa perlu membahas sesuatu yang berkaitan dengan masa lalu? Aku juga tidak tahu apakah perasaan itu masih ada atau menghilang tergerus waktu, yang kutahu tiap kali seseorang bercerita tentang dirinya, ada rasa hangat yang menjalar di sekujur tubuhku.

"Gitu ya?" ucapku lebih seperti meyakinkan diri sendiri daripada bertanya pada Ananda dan Della.

"Yes!"

"Iyalah!" balas keduanya serempak.

---

Hai, Lian.
Sebelumnya aku mau minta maaf karena cuma bisa nitipin kado ini ke Della dan bukannya ngasih langsung. Tapi, gak apa-apa lah ya, yang penting nyampe di tangan kamu sekarang.

Apa kabar? Udah tanggal berapa nihhh?! Mau minta maaf lagi karena kadonya telat satu bulan, huhu.

Lian, ada hal yang ingin aku sampaikan.
((agak geli sebenernya))

I just want to tell you that.......i love you.

there. i said it.

Plis jangan hujat aku yang lembek banget karena bisa kalah sama jargon "Cewek sama cowok tuh gak bisa sahabatan selamanya". But seriously tho, dulu pas bareng sama kamu, aku bahagia banget. Aku bahkan sempet egois karena gak mau kamu nempel Amel terus, tapi yaa.....seiring berjalannya waktu, aku fine fine aja. Se-fine sekarang.

Aku gak tahu perasaan itu masih ada atau gak, tapi yang jelas kamu berhak tau soal ini; kalau dulu ada sahabat perempuanmu yang super kutu buku naksir sama kamu.

Xoxo,
ur chubby little sissy.

---

Ponselku berdering ditengah pemutaran film The Nun; membuatku cukup panik sembari mencari ponsel yang kusimoan dalam tas. Aku memutuskan untuk keluar studio saat melihat nomor tak dikenal yang menelpon, berjaga jaga jika yang menghubungiku adalah perusahaan tempat aku memasukkan lamaran.

"Ya, halo?" ucapku sedetik setelah mengusap layar ke kanan.

"Halo, Firdut?"

Astaga, ini Lian. Ia pasti sudah menerima kotak cokelat dengan pita merah maroon yang aku titipkan pada Della seminggu lalu. "Lian?" tanyaku memastikan.

"Kamu dimana sekarang? Kita bisa ketemu?"

Skenario terburuk yang selalu muncul di kepalaku sebelum tidur akhirnya terjadi. Kembalinya Lian di hidupku justru akan menarikku ke masa lalu. Sialan, Ananda! Katanya, setelah menyatakan aku bisa pergi dengan bebas, mencari satu hati untuk ku tempati tanpa mengingat ingat sosok Lian yang salu kuidamkan. Namun nyatanya, kotak kado yang dilengkapi dengan surat berisikan kejujuran itu mengundang Lian untuk kembali.

"Kamu bukannya lagi di Jogja?"

"Aku besok pulang."[TAMAT]

LEFT UNSAIDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang