/SATE TANPA ALENA/

4 2 0
                                    

"Berpasangan ya. Satu kelompok dua orang, dan supaya lebih seru biar Ibu yang nentuin rules milih pasangannya"

Aku mendengar helaan nafas sebal dari arah Alena; membuatku menoleh ke arahnya dan tersenyum geli, "Aku tau kamu pengennya pasangan sama aku, right?"

"Iya lah. Gak enak banget kalau random gini. Aku bisa dapet sama Diandra si ratu gosip, Vania si tukang pamer, atau yang paling parah Edo si tukang sepik semua cewe."

Bu Rena mengketuk-ketukkan penghapus papan tulis ke meja yang ditempati Dedi dan Tyo; berniat menghentikkan ocehan ramai di antara anak kelasku yang tidak setuju dengan keputusan guru fisika tersebut. "Karena jumlah laki laki dan perempuan seimbang di kelas ini, jadi pihak laki laki berhak memilih pasangannya masing masing dari pihak perempuan."

"Gak adil ah, Bu!" sahut salah seorang siswi yang tak kuketahui siapa.

"Kerja kelompok apa ajang perjodohan dah ini."

Bu Rena kembali mengketuk-ketukkan penghapus papan tulis, "Dimulai dari absen awal, silahkan pilih pasangannya."

"Andre." panggil Bu Rena yang langsung direspon oleh Andre dengan menyebutkan sebuah nama, "Yuni"

"Angga."

Yang dipanggil terlihat sedang memutari ruangan dengan tatapannya; melihat satu per satu siswa perempuan dalam ruang kelas tersebut yang justru membuatku semakin gelisah— maksudku, adakah lelaki yang mau memilih Firda si pendiam?

"Angga, cepetan pilih!"

"Alena, Bu." tanggap Angga pasti.

Alena meringis geli ketika mendengar namanya disebut, lantas menatapku dengan tatapan menderita karena ia dan Angga tidak akur sama sekali; itu semua karena Angga menyukai Alena dan bersikap menyebalkan setiap saat. Alena selalu bilang, "Aku mau muntah aja, Da, kalau liat dia pecicilan gitu! Geli! hiiih!"

"Hantam aja, Al, kalau dia macem-macem." ucapku mencoba melucu di tengah penderitaannya.

Hampir setengah siswa lelaki di kelas kami sudah memilih pasangan kerjanya untuk proyek eksperimen lab minggu depan. Sekarang giliran Lian untuk memilih. "Muhammad Lian."

"Firda." jawab Lian cukup cepat. Aku dan Alena sama sama menoleh ke arah Lian, bedanya adalah aku yang mengeluarkan ekspresi terkejut, saat Alena menampilkan dua ibu jarinya sebagai tanda setuju.

"Kamu mengharapkan orang lain?" tanya Alena ketika melihat raut wajah tak yakin yang terlukis jelas. Aku menggeleng— memang benar bahwa aku tidak mengharapkan siapapun. Aku hanya terkejut karena Lian memilihku dengan yakin, seakan dari awal ia memang ingin memilihku, bukan Diandra yang saat itu masih tersedia atau Cecil yang jelas jelas mengharapkan akan dipilih oleh Lian.

"Ntar kalau kalian kerja kelompok nyusun laporan lab, ajak aku ya." bisik Alena.

"Gak akan, kalau kamu ngajak Angga buat join."

Alena merengut sembari mencatat perlatan yang harus dibawa untuk pekan depan. "Terkutuklah aku kalau harus berduaan dengan Angga. Sialan, nih, Bu Rena."

"Hushh....orangnya masih di depan tau!"

Alena malah tertawa geli.

---

"Dut!" panggil Lian sesaat setelah aku keluar ruang kelas; berniat menuju perpustakaan untuk menemui Bu Dyah dan mempelajari materi lomba karya tulis ilmiah antar pelajar se-kota.

"Aku udah ngomong sama Adel...."

Aku paham betul kemana arah pembicaraan ini, jadi sebelum Lian menyelesaikan kalimatnya aku menggeleng dan menepuk pundaknya dua kali. "Aku udah daftar ke ekskul tari kok, Li, bareng Alena. Aku gak jago nari sih, but i'll try. Dan aku bisa masukin cerita tiap minggunya buat di tempel di mading sekolah. Win-win!"

Lian diam saja di posisinya dengan sedikit senyum di ujung bibirnya. "Jadiii.....sate malem ini mau gak? Aku pengen libur les dan gak mau di rumah aja sendirian karena Mami dan Bapak lagi ada acara—"

"Yop! Nanti malam ku jemput. Aku udah kangen banget sate Bang Kumis!"

Aku tertawa, "Emang namanya Bang Kumis?"

"Enggak, kasih nama gitu aja karena dia kumisan tebel."

---

Lian mengenakkan jaket hoodie dengan zipper berwarna hitam polos; menutupi kaos putih bermotif garis yang berada di dalamnya. Sedangkan aku hanya mengenakan kaos navy yang dipadu jeans longgar, sandal karet rumahan— mengapa aku memilih sandal rumahan ya? Kalau Lian tiba tiba mengajakku ke mall bagaimana?— dan tas selempang berbahan jeans yang kujahit sendiri dari celana tak layak pakai karena terlalu banyak robekkan.

"Bang, jualan sate malem Jum'at gini gak takut didatangin Suzanna?" gurau Lian saat berada tepat di samping Bang Kumis— oke, sekarang aku mulai mengikuti panggilan aneh dari Lian.

"Jangan gitu, toh, Mas Lian!"

Aku mengambil tempat duduk yang sama dengan yang kami tempati beberapa minggu lalu. Menunggu Lian yang terjebak obrolan asik seputar sepak bola bersama Bang Kumis dan beberapa pemuda yang juga sedang menunggu pesanannya. Sekitar belasan menit setelahnya, Lian akhirnya duduk di hadapanku dengan membawa dua gelas es teh manis.

"Tahu gak, Li? Aku sekarang udah jarang banget minum susu ultra."

Lian melakukan anggukan sebanyak dua kali bersamaan dengan "Good! Karena minum susu setelah makan berat itu aneh banget."

"Ya menurut kamu aja tuh." ucapku sembari mengeluarkan ponsel dari dalam tas. "Oh no, no, no. No handphone. Kalau lagi sama aku, jangan main hp." suruh Lian yang membuatku tanpa sadar menurutinya— dengan memasukkan kembali ponselku dalam tas bahkan sebelum aku sempat menyalakan benda persegi panjang tersebut.

"Why, mister?"

"Because jadinya no talking, and i benci that"

Aku tertawa selagi Bang Kumis meletakkan piring berisikan dua porsi sate di hadapan kami, "Makin lama, makin ngaco bahasa inggris mu, Li"

"Tapi serius loh..." Lian menyodorkan sendok dan garpu padaku, lantas mulai menambahkan sedikit kecap manis di atas saus kacang. "....aku gak mau kamu jadi kayak Vania and the gang yang kerjaannya mencet mencet hp mulu."

Aku menggeser wadah berisikan sambal yang berada di dekatku ke arah Lian menggunakan jari; bermaksud untuk menawarinya sambal karena aku tidak membutuhkannya sama sekali. "Kamu nawarin aku sambal?"

"Emang apa salahnya mencet mencet hp, kan suka suka kita sebagai si empunya hp?"

Pertanyaanku dengan pertanyaan milik Lian saling menimpa. Lian melihatku mengangguk dua kali sebagai respon atas pertanyaan sebelum menjelaskan mengenai ketidak tertarikannya terhadap makanan pedas.

"So we are in the same team?" tanyaku antusias.

Lian mengangkat setusuk sate seakan benda dalam genggamannya tersebut adalah gelas wine; "Anti pedas club!"

Aku tertawa setelah menelan kunyahan lontongku. Kemudian masih terus mengobrol membahas hal hal yang tidak kami ketahui satu sama lain. Malam ini, di bawah terpal orange milik Bang Kumis, aku baru mengetahui bahwa seorang Lian menyukai warna biru terang— mirip blue pastel— seperti yang biasanya disukai oleh wanita. Dan Lian sedikit terpukul ketika mengetahui warna kesukaanku adalah abu abu dan hitam— tidak mendekati warna wanita sedikit pun.

Di sela sela pembahasan mengenai cita cita; tepat saat Lian mengatakan ingin menjadi pemain sepak bola sekaligus pelawak dan kemudian aku tertawa cukup keras.....

...Lian tiba tiba saja menatapku dalam, "Udah gak sedih lagi, kan?"

"Udah enggak."

"Jangan nangis lagi, ya. Aku suka deg degan kalo liat cewe nangis, apalagi kalo aku kenal sama cewe itu." ucap Lian.[]

LEFT UNSAIDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang