Aku tidak bertemu dengan Lian malam itu.
Bukan karena ia kembali terkekang oleh larangan Amel, tapi kali ini aku yang memutuskan untuk menghindar dengan cara pergi ke rumah Alena dengan alasan mengurus perintilan operet.
Ia meneleponku sebanyak dua belas kali, namun tidak satu pun kuterima walaupun jauh di dalam lubuk hatiku, ada perasaan ingin bercengkrama dengannya seperti sedia kala; seperti Lian dan Firda si duo yang tak terpisahkan. Semua karena ucapan Alena, "Biarin aja. Biar dia tahu rasanya nyariin tapi yang dicari gak peduli sama sekali."
"Tapi gimana kalau dia cuma mau minta maaf?"
"Sudah berapa banyak dia minta maaf dan kamu maafin gitu aja?" Aku menyerah kalo berdebat dengan Alena jika berhubungan dengan Lian; logika sahabat perempuanku ini selalu menjadi yang nomor satu sebelum masalah hati.
Sekarang aku berada di ruang latihan— atau ruang serba guna yang berada di lantai tiga gedung D. Satu jam lebih cepat dari waktu yang diinformasikan Sir Budi lewat grup chat. Sudah ada Sarah dan Feby yang sejak tadi berswafoto di dekat jendela yang memang mendapat porsi cahaya matahari lebih banyak daripada sisi ruang lainnya. Aku membuka naskah operet milik Sir Budi yang ia jilid sendiri dengan karton tebal; di dalamnya banyak coretan terkait akting, mimik, dan dialog tambahan untuk mempercantik pertunjukan nanti. Aku membaca dialognya dalam hati; terdengar asing dengan tambahan kreatif khas Sir Budi walaupun jemariku sendiri yang membuat konsep ceritanya.
Yudha, kamu ini gimana sih, bacaku dalam hati yang membuat pikiranku menuju pada Lian. Aku menutup naskah tersebut dan mengambil ponsel di saku celana; menghubungi Lian yang langsung diangkat pada deringan kedua. "Halo, siapa nih?" tanya suara perempuan di seberang telepon.
"Firda. Ini siapa?" tanyaku ketika yakin bahwa suara perempuan ini bukanlah milik Amel.
"Ohhh, aku Pani." Yang berarti Vania. "Mana sih Lian, nih bini keduanya nelpon." Aku mendengar suaranya perlahan menjauh, mungkin kali ini dia meletakan ponsel Lian di atas meja sampai seseorang mengangkat benda persegi itu selagi mengucapkan "Ya, halo?"
"Latihan operet sebentar lagi. Kamu dimana?" tembakku langsung tanpa basa basi; tidak ingin mendengar percakapan bertemakan aku di seberang sana. Sialan mulut sampah Vania! Bini kedua, katanya? batinku.
"Aku di Gupas." yang notabene merupakan tempat tongkrongan dekat sekolah.
"Jangan telat lagi, ya"
Telepon dimatikan secara sepihak dari Lian.
Dan aku hanya bisa menghela nafas pasrah ketika ia datang delapan menit setelah kami semua selesai melakukan pemanasan. Ia mendapat bentakkan dari Sir Budi; berbicara mengenai disiplin dan keseriusan, yang kemudian merambat menjadi cerita masa lalu Sir Budi ketika harus mengadakan pentas teater semasa kuliah, dimana ia benar benar mengorbakan seluruh waktunya demi pertunjukan yang luar biasa. Lantas mengapa delapan jam sehari saja terasa berat untuk Lian meninggalkan teman tongkrongannya?
Latihan akting hari ini berlangsung cukup menyenangkan untuk kami semua, kecuali Lian. Mentalnya benar benar dibuat babak belur oleh cacian yang dikeluarkan Sir Budi, namun ia tetap memaksakan senyum selagi berakting memerankan tokoh Yudha.
"Saya rasa cukup buat hari ini. Besok kita mulai nge-record suara. Oke? Istirahat yang cukup, jangan sampai sakit kayak Nita, ya." teriak Sir Budi yang berdiri di tengah tengah kami.
"Siap, Sir!" balas kami serempak sebelum mulai memenuhi ruangan dengan suara tepuk tangan.
"Firda ada yang perlu saya omongin sama kamu." tegur Sir Budi ketika kami melangkah menuju meja besar di pinggir ruangan tempat aku meletakkan tas ransel.
Jangan Lian, jangan Lian, jangan Lian, harapku dalam hati. "Ya, Sir?"
"Nita udah tiga kali gak ikut latihan karena sakit. Kita ganti aja ya? Saya udah ngamatin beberapa murid angkatan kamu, kayaknya peran itu cocok sama anak yang centil temennya Lian itu, siapa namanya? Vanisa?"
Oh, tidak. "Vania, maksudnya, Sir?"
"Ya! Kamu coba ngomong ke dia, ya." ucap Sir Budi sebelum menepuk pundakku dua kali dan berjalan menuju pintu.
---
Seminggu lagi menuju hari pementasan.
Para aktor sudah 80% siap. Vania bergabung dalam project ini dan berhasil mencuri hati Sir Budi dengan hadir tepat waktu di setiap latihan, yang membuatku sedikit lega karena Lian mengikutinya. Aku dan Alena sibuk bertugas mencari perintilan untuk kostum pemain yang baru didiskusikan Sir Budi sore kemarin. Aku rasanya ingin memeluk Alena yang harus menggadakan tugasnya dalam tim ini; berakting sekaligus menyiapkan kostum karena hanya Alena yang mengerti ide gila Sir Budi.
Hari ini kita berlatih hingga malam lagi; menyempurnakan yang sudah baik. Setelah dibubarkan secara resmi oleh Sir Budi— lengkap dengan tumpukan tangan yang diambungkan selagi meneriakan '61 BISA!!'— Lian mendekatiku hanya untuk mengatakan "Dut, mau ke Sate Bang Kumis, gak?"
Aku menoleh dua kali ke arahnya, hanya untuk memastikan bahwa lelaki dengan kaos biru setengah basah yang mengajakku makan malam di warung sate ini adalah Lian. "Sate Bang Kumis udah tutup dari dua bulan lalu, kamu gak tahu?"
"Hah? Serius?"
"Dua rius." ucapku diikuti gerakan menaikkan jari tengah dan telunjuk membentuk huruf V.
"Yahhhh, gimana dong. Aku jarang ke sana karena vibe nya beda kalo bukan sama kamu." balas Lian yang tanpa ia sadari membuat seribu kupu kupu yang sempat tidur dalam perutku kini mulai terbang bebas, terlebih saat melihat bibirnya mengerucut sedih dengan sorot mata yang menginginkan nikmatnya Sate Bang Kumis.
"Hahaha, ya udah yuk kita cari Sate Bang Kumis sampe dapet!" ajakku seakan melupakan permasalahan Amel dan perang dingin yang terjadi antara aku dan Lian.
"Kamu udah gak marah lagi nih sama aku?"
"Kamu masih bucin gak?"
"Enggak! Karena kata sahabat aku, aku ini laki laki, harus bisa nentuin keputusannya sendiri. Kalau aku mau A, ya A, kalau B, ya B." jawab Lian yang memaksaku untuk tersenyum lebar selagi menaikkan dua ibu jari di hadapannya.
"Bagus!"[]
KAMU SEDANG MEMBACA
LEFT UNSAID
Romance"Selamat tinggal." -Firda Shakina Putri "Kita bisa ketemu lagi, gak?" -Lian Semesta