/(MASIH) MEI 2015/

5 0 0
                                    

"Oke, selamat siang, semuanya!" buka Sir Budi setelah orang terakhir yang masuk menutup pintu. Kami duduk melingkar di lantai dengan Sir Budi sebagai point utama. Aku sendiri memilih untuk duduk tepat di samping Sir Budi, mulai menghitung jumlah kepala yang ada di ruangan tersebut dalam hati. Semoga pas dua belas orang, batinku setelah menyadari bahwa Lian tidak terlihat di dalam ruangan, yang bisa saja berarti ia tidak diikutkan dalam project operet perpisahan angkatan 61 kali ini.

"Sengaja saya kumpulkan kalian semua di sini untuk membahas lebih jauh terkait sebuah project teatrikal....." Suara Sir Budi perlahan menghilang setelah hitunganku berakhir di Alena; sebelas, kurang satu orang lagi.

"Maaf, Sir. Kita memang ber-sebelas?"

"Lah, ini masih sebelas orang?"

Seseorang membuka pintu secara kasar hingga membuat beberapa orang yang berada di dalamnya terlonjak. Lian muncul dengan nafas tak teratur; berusaha untuk mengucapkan sebuah kalimat namun ditahan oleh tangan Sir Budi yang melambai tanda agar Lian datang mendekat dan duduk di sebelahnya.

"Maaf.....Sir.....aku....telat." ucapnya terbata bata yang disambut anggukan oleh Sir Budi.

"Habis darimana?"

"Makan, Sir."

Tanpa dapat dicegah, aku memutar bola mata; menganggap bahwa kehadiran Lian yang terlambat dalam pertemuan pertama ini bisa mendatangkan sial untuk pertunjukan ini.

"Kamu masih mau ikut pertunjukan ini?" tanya Sir Budi dengan nada yang cukup serius pada Lian.

Please, enggak. please, please, please, mohonku dalam hati.

"Masih, Sir. Maaf saya sudah telat di hari pertama." jawab Lian setelah menenangkan nafas cukup lama.

Sir Budi mengangguk bangga, kemudian menatapku cukup lama hingga aku harus menaikkan alis sebagai simbol tanya. "Team leader Firda, urusin anak buahmu yang satu ini ya. Tarik dari kantin kalo udah mau deket jam latihan. Jangan sampai telat lagi, toleransi saya gak banyak banyak."

Biasanya aku akan menjawab "Siap, Sir!" dengan semangat tanda bahwa aku benar benar mendedikasikan diriku dalam project ini, bahwa aku siap menjadi team leader yang ikut mengoreksi jika arahan akting Sir Budi nantinya tidak sesuai dengan apa yang berada dalam kepalaku. Namun untuk hal hal yang berurusan dengan Lian, aku hanya menjawab "Iya."

"Firda? Kalau project ini kamu anggap main main, mending dari sekarang kita bubarin aja sebelum resmi dimulai."

"Maaf, Sir. Semua anggota yang terlibat jadi tanggung jawab saya. Kalau salah satu bermasalah, saya juga harus dihukum!" balasku cukup tegas.

---

Aku setengah menyesal sudah melontarkan kalimat berkaitan dengan tanggung jawab tadi siang di depan sir Budi. Karena ucapan tersebut, aku harus berada dalam satu ruangan dengan Lian berdua saja untuk mengerjakan tugas mulia— kata sir Budi— yang notabene adalah menyingkir beberapa sound system besar ke pinggir ruangan agar area latihan menjadi lebih luas.

Lian tidak mengucapkan satu kata pun; membuatku senang dan gelisah dalam satu waktu. Senang karena tidak harus terlibat percakapan dengan orang yang entah masih dapat kusebut dengan label sahabat atau tidak. Gelisah karena apa yang ada dalam kepalanya saat menatapku tanpa berkedip selagi aku menyapu lantai?

"Da, masih lama, ya?" Alena muncul tiba tiba yang tanpa ia ketahui membuatku perasaanku lebih lega.

"Abis aku nyapu, Al."

"Oke, aku tunggu di luar."

Aku mempercepat gerakanku agar dapat terbebas dari situasi tegang yang tercipta di ruangan ini. Setelahnya, aku meletakan sapu beserta serok di dekat kamar mandi yang berada di pojok kanan ruangan. Aku baru akan pergi keluar setelah mengambil tas ransel sebelum Lian menarik pergelangan tanganku. "Aku ada buat salah ya?"

"Selama ini kamu yang sibuk sendiri, kok kayak aku yang salah ya?" lanjutnya yang memaksaku untuk menghembuskan nafas sebal selagi menarik tanganku dari genggamannya.

"Aku yang sibuk? Bukannya kamu ya yang katanya gak ada waktu tapi malah ngumpul terus sama temen barumu?"

"Ya karena kamu yang gak bisa ditemuin."

"Kemana kamu pas aku lagi repot dan butuh bantuan? Kemana kamu pas aku stress ditekan sama Bu Salmah? Hah?! Ketawa ketiwi sama pacar kamu kan? Hura hura nongkrong dari satu kafe ke kafe lain sampe pulang lewat tengah malam. Ibu kamu nelponin aku, selalu nanya apa Lian nginep di rumah aku malem ini. Kamu pernah mikir gak sih, Li?" ucapku panjang lebar dengan penuh penekanan hampir di setiap katanya. Aku melihat Alena yang membuka pintu ruang serba guna; mungkin mendengar teriakanku hingga memutuskan untuk masuk sebelum aku berhasil menampar Lian.

"Udah, kan, Da? Yok, pulang." tegur Alena dengan penuh ketenangan. Mungkin ia terlalu malas jika harus berurusan dengan Lian, karena itu artinya cepat atau lambat masalah ini akan sampai di telinga Vania dan kawan kawannya. Namun aku tidak begitu, masih banyak hal yang Lian belum dengar, "Kamu itu laki laki, Li! Belajar untuk buat keputusan sendiri tanpa harus diseret seret cinta!"

Lian tetap diam di tempatnya, sedangkan Alena mulai gelisah ingin menarikku agar cepat keluar mengingat hari sudah mulai petang. "Okelah, anggap aja kamu seneng ngelakuin apa yang dia suruh. Anggap aja kamu juga seneng ngumpul malam malam tanpa mikirin Ibumu nungguin kamu pulang. Tapi coba buka matamu sediiikiiit aja, Li. Bahagia boleh, tapi jangan bego!" lanjutku.

Benar saja, Alena langsung mendekatiku untuk menyeretku keluar tanpa sepatah kata pun. Ia bahkan enggan melirik Lian yang masih diam di posisinya.

"Nanti malam aku ke rumah kamu, Dut." Hanya itu yang bisa diucapkan Lian sebelum aku benar benar keluar dari ruangan. Entah Alena mendengar kalimat itu atau tidak, tapi ada setitik harapan agar Lian menepati ucapannya yang satu itu, setidaknya sekali ini saja untuk menebus semua janji yang sering kali ia batalkan setahun ke belakang.[]

LEFT UNSAIDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang