/KEPUTUSAN BULAN DESEMBER/

6 2 0
                                    

Aku hampir tidak punya waktu sama sekali untuk bermain dengan Alena maupun Lian. Aku bahkan sudah banyak kali menolak ajakan menginap di rumah Alena atau makan sate Bang Kumis bersama Lian.

Deadline pengumpulan materi untuk lomba karya tulis ilmiah yang sudah di ujung tanduk, ditambah jadwal ulangan semester ganjil yang kian mendekat menyita sebagian besar waktuku.

Istirahat pertama kuhabiskan bersama Bu Dyah dan Marina— perwakilan sekolah yang ikut bersaing dalam lomba ini— untuk merevisi bahan yang akan kita kirim sebagai penilaian tahap pertama. Istirahat kedua hanya sempat untuk sholat Dzuhur dan kemudian kembali lagi ke perpustakaan; aku bahkan menikmati sandwich buatan Mami di ruangan tersebut selagi berkutat dengan hasil eksperimenku.

Pulang sekolah aku harus pergi ke tempat les dan mengejar materi yang sempat kutinggal ketika harus berurusan dengan Bu Dyah; terlambat satu materi untuk mata pelajaran matematika dan banyak sekali di mata pelajaran sejarah— karena memang aku suka mengambil izin di jam pelajaran ini hanya untuk mengecek hasil survey berkaitan dengan sanitasi atau melihat pengairan untuk tanaman yang juga sedang kuteliti.

Sesampainya di rumah aku masih harus memperbaiki revisian dari Bu Dyah untuk kulaporkan keesokan harinya; ditambah menyiapkan power point untuk tahap dua jika aku berhasil lolos tahap satu— atau menurut keyakinan Bu Dyah, kedua anak didiknya pasti lolos— jadi aku mempersiapkan diri saja untuk tahap ini mengingat komunikasiku yang tidak terlalu bagus jika berhadapan dengan orang banyak sehingga aku harus mempersiapkan segalanya dengan matang.

"Sate ntar malem, kuy?" ucap Lian ketika bel tanda istirahat pertama baru saja berbunyi. Aku menatapnya sekilas sebelum melanjutkan kegiatanku membersihkan meja dan mengeluarkan laptop serta buku buku tebal yang menjadi sumber materi penelitianku.

Aku menggeleng, "Abis urusan lomba kelar, deh, aku janji kita bisa makan sate sampe kembung!" balasku sebelum berdiri dan melangkah menuju pintu kelas. Tanpa dapat kucegah, Lian menahanku untuk meninggalkan kelas dengan cara menarik lenganku. "Kamu mau cuekin aku seumur hidup, aku masih fine fine aja. Tapi Alena sama sekali gak punya temen kalau kamu sibuk banget kayak sekarang ini."

"Gak semua orang bisa mengabaikan penatnya ulangan dan hanya berpikir tentang enaknya class meeting setelah UAS kayak kamu. Aku cuma mau ngelewatin pekan ujian tanpa beban materi lomba sedikit pun so i have to finish this!" tegasku tanpa melihat Alena yang berdiri di belakang Lian.

Alena tersenyum dengan sorot mata sedih ke arahku, kemudian mendekat perlahan lahan. "Kamu harus janji bakal menang or i'll kill you kalau enggak! Aku udah menderita sendirian gini, gak punya temen makan siang selain Lian, so good luck, mate!" ungkap Alena sebelum memelukku cukup lama di hadapan Lian dan beberapa kawan sekelas yang menatap kami aneh.

"Okay, okay. I'm late." balasku yang membuat Alena tertawa bersamaan dengan Lian yang mendaratkan telapak tangannya di puncak kepalaku untuk diusap pelan.

---

Ulangan akhir semester baru saja berakhir. Satu hari lagi menuju pembukaan class meeting yang diisi oleh beragam kompetisi olahraga. Juga satu hari lagi menuju presentasi materi lomba yang akan diasakan di kantor pemerintah— yap, aku lolos ke tahap dua perlombaan, tanpa Marina.

Dan di sinilah aku sekarang— berdiri di depan lemari setelah membongkar setengah isinya; mencari koleksi atasan lengan panjangku yang ternyata tidak lebih dari tiga.

Aku memilih blouse polos berwarna abu gelap yang nantinya akan kupadu dengan jeans hitam, dan kali ini— untuk pertama kalinya— aku mengenakan jilbab dalam setelan jalan.

"Is it weird?" ucapku yang kulemparkan untuk diriku sendiri di depan cermin setelah menata kain jilbab sedemikian rupa. Aku sudah belajar menata kainnya seperti para hijab fashion enthusias, namun aku tetap saja menatanya dengan hijab style milikku sendiri yang tersimpul di bagian depan.

Aku baru melihat ponsel ketika akan memasukkannya dalam tas selempang bersamaan dengan dompet, power bank, tissue, dan kunci rumah. Ternyata ada pesan dari Lian sejak tiga puluh menit lalu.

Lian :
Yakin gak mau ku jemput?

Me :
Yup. Kamu jemput Alena aja.

Aku keluar dari kamar dengan disambut tatapan takjub dari Mami juga Bapak, kemudian mendapat senyum bangga dari Abangku. "Kayaknya ada yang bakal pensiun minjemin baju aku nih" ucap Abang setelah mengoreksi cara berpakaianku hari itu dari ujung kepala hingga kaki.

"Nope. Never. Kita akan terus berbagi baju!"

"Kapan dirimu sadar kalau kamu ini wanita? Stop pakein baju cowok lah." balas Abang diikuti gerakan delikkan bahu yang kulakukan di hadapannya sembari mengenakan helm dan mengambil kunci motor.

Belasan menit setelahnya, aku sampai di warung sate Bang Kumis. Aku lantas membuka helm dan mendapati Lian juga Alena sudah berada di salah satu meja makan; masih menikmati minuman— teh hangat untuk Alena, dan es teh untuk Lian.

"Hai." sapaku sebelum mengambil tempat duduk di sebelah Alena.

Dua orang yang kusapa terlonjak kaget secara bersamaan. Detik setelahnya, Lian kembali pada ekspresi datar dengan senyum kecil yang hanya dapat dilihat olehku. Sedangkan Alena mengucapkan "Oh my god, oh my god, kamu Firda kan?"

Aku mengangguk diikuti tawa, kemudian menghentikannya secara tiba tiba "Aneh ya? Huhu, baju cewek emang gak cocok banget buatku."

"Aneh? yes, but punya keinginan untuk nyuruh kamu ngelepas hijab? no." ungkap Alena disertai senyum yang juga membuatku ikut tersenyum.

Setelah obrolan ringan bersama Alena yang bercerita tentang kelakuan Vania and the gang setiap waktu makan siang, aku menjatuhkan tatapan pada Lian yang baru saja kembali dari memesan tiga porsi sate. Lian menangkap tatapanku di detik aku menjatuhkannya, membuat kami sama sama terjebak dalam satu momen di malam bulan September yang saat itu juga dihadiri oleh hujan deras.

Aku menyadari air muka bahagia yang terlukis jelas di wajah Lian, namun aku lebih menyadari ketegangan Lian ketika harus melakukan kontak mata denganku sejak aku menyapa mereka beberapa menit lalu.

"Eh ngomong ngomong, perintilan lomba udah beres semua?" tanya Alena; membuyarkan momen hening antara aku dan Lian yang terjadi lewat tatapan.

"Yup. Dan ngomongin soal lomba, aku ada satu tiket invitation buat hadir nontonin presentasi aku lusa nanti. Sebenernya ada tiga sih, but duanya aku kasih ke Mami Bapak. Siut deh kalian supaya adil." jelasku yang langsung mendapat respon berupa wajah sedih dari Alena.

"Aku mauuuu, but i can't. Aku kaptennya basket putri, remember?" Sebenarnya, tidak. Aku bahkan tidak tahu ada pemilihan tim beserta kaptennya dalam rangka menyambut class meeting tahun ini. "Aku harus stand by di sekolah." lanjut Alena.

Aku dan Alena baru akan menanyakan pendapat Lian lewat tatapan, namun suara berat milik Lian lebih dulu hadir di indra pendengarku dan Alena; "Aku bisa."

"Kamu bukannya harus stand by main bola juga?" tanya Alena yang langsung ku sambut dengan "Gak cuma bola, Al. Dia pasti main voli dan basket putra juga."

"You're right."

Lian menikmati es teh manisnya lewat sedotan sembari menatapku dan Alena bergantian, ketika sudah cukup membasahi tenggorokan, ia mengatakan "Ya terus kenapa? Kan aku juga pengen liat Firda menangin lomba perdananya dia mewakili sekolah kita."

"No, no, no. Aku simpen aja invitation-nya. Kamu tetep di sekolah dan jangan cari gara gara dengan bikin Vania marah." ucapku pasti.

Lian justru menggeleng dan mengambil paksa invitation card yang sebelumnya berada dalam genggamanku. "Ada dress code nya gak nih? Semoga enggak, sih" ucap Lian.

"Kamu serius, Yan?"

Lian melakukan anggukan sebanyak dua kali.

"Seribu rius!" balas Lian dengan melemparkan senyum manis ke arahku selagi Alena terfokus pada Bang Kumis yang sedang mengantarkan makanan.[]

LEFT UNSAIDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang