/MEI 2015/

8 0 0
                                    

Satu bulan berlalu.

Tiga bulan.

Enam bulan.

Satu tahun.

Aku dan Lian bukan lagi perangko dan kertas seperti yang sering dijuluki orang lain. Aku adalah Firda versi robot yang menghabiskan waktunya untuk belajar, menghadiri seminar tulis menulis, dan mengikuti kegiatan jurnalistik. Sedangkan Lian adalah pribadi yang menyenangkan dimata semua warga sekolah— kecuali aku dan Alena— akibat peran apiknya sebagai kekasih Amel.

Aku pernah meminta bantuan Lian  saat harus survey lapangan di daerah yang cukup jauh dari rumah. Ia sempat mengiyakan, namun tiba tiba saja berubah pikiran dengan mengatakan bahwa ia ada janji lain. Tanpa perlu diberi tahu pun, aku paham bahwa ada campur tangan Amel dalam perubahan moodnya.

Semuanya berantakan keesokan harinya. Kuesioner yang kususun masih dalam keadaan kosong, bentakan Bu Salmah menjadi paket sarapan dan makan siangku, rencana yang kubuat untuk menyelesaikan bahan lomba sebelum ujian nasional pun gagal. "Kan harusnya bisa cari tebengan lain." respon Alena saat itu; memaksa tanduk yang memang sudah ada di kedua sisi kepalaku semakin memanjang.

"Bisa sih, kalau dia batalinnya lebih cepet. Lah ini, udah ngaret, trus pas aku telepon lagi dianya janji bisa dateng, maksa pula supaya aku tetep pergi sama dia, eh tiba tiba 'Dut maaf ya aku ada janji lain ternyata'. Kan sialan!" balasku penuh emosi yang justru dibalas tawa oleh Alena.

Sejak saat itu, aku benar benar memisahkan Lian dari keseharianku. Aku lebih banyak meminta tolong pada Alena yang ternyata juga dapat diandalkan dalam hal membawaku kemanapun yang kumau di jam menjelang tengah malam. "Kamu buruan belajar motor, deh!" ucap Alena tiap kali aku menaiki motor merah kesayangannya.

"Ogah! Mau dibonceng terus sampai tua."

"Ngelamunin apa lagi nih anak?!"

Aku menaikkan pandangan untuk dapat melihat seseorang yang menegurku; mendapati Reno yang memilih untuk duduk di hadapanku selagi menyerahkan lembaran kertas berisi naskah operet milikku. "Sir Budi udah acc. Besok dia mau ngobrol sama kamu sekalian diskusi pemain."

"Serius?! Makasih, ya, No!" balasku antusias.

"Sir Budi gak expect ada anak kelas 3 yang ngajuin naskah loh, Fir. Sebenernya ada adek kelas yang ngajuin, tapi..... Sir Budi kurang sreg, dia ketawa ngakak tadi sama punyamu ini. Kamu kebanyakan waktu senggang apa gimana sih? yang lain lagi hectic ujian, kamu malah nyiapin naskah operet buat perpisahan."

"Operet itu bagian terpenting dari perpisahan. Tiap tahun cuma itu yang ditunggu, bukan pengalungan medali dan blah blah blah. Aku mau terlibat dalam setiap pembuatannya, apalagi pembimbing Sir Budi yang emang punya pengalaman nge-direct pementasan gitu." jelasku yang membuat Reno mengangguk angguk paham.

"Okelah, good luck untuk sebulan ke depan yang bakal diisi sama latihan, hahaha. Aku duluan yo!"

Sebulan penuh untuk pementasan di pertengahan Juni. Sebulan penuh tanpa perlu peduli pada kehidupan Lian yang sepertinya akan sangat menyenangkan— liburan ke Bandung, katanya? Aku hanya perlu menyibukkan diri sampai nama Lian tidak lagi terbesit dalam pikiranku, caranya ya.....lewat operet ini.

---

"Gak! Gak! Gak mau!!" ucapku tegas pada Alena dan Reno sedetik setelah Sir Budi menutup pintu ruang serba guna.

"Kamu juga, Al! Kenapa pake nyaranin dia sih? Masih banyak cowok tinggi yang penampilannya lebih keren dari dia, kan?" lanjutku, mengarahkan jari telunjuk pada Alena dengan wajah kesal akibat pemilihan salah satu pemain yang disarankan sahabat perempuanku itu.

"Coba sebutin, siapa?" tantang Alena.

Jujur saja, otakku tidak bisa berpikir jernih ketika yang ingin kulakukan hanyalah memaki Alena. "Ada. Pasti ada. Temen temen satu gengnya dia kan keren keren semua!"

"Tapi posturnya gak tinggi, Da. Sir Budi sendiri yang bilang kalau Lian itu udah paling cocok. Lian itu cool, tapi dia juga friendly; kita butuh dua karakter itu untuk tokoh Yudha. Lebih baik milih yang emang udah karakternya begitu, daripada dibuat-buat, inget sama omonganmu sendiri kan?" jelas Alena yang membuatku semakin frustasi. Aku hanya ingin sebulan tanpa Lian, dilanjutkan selama lamanya setelah keluar dari sekolah ini. Hanya itu, apa tidak bisa?

"Sebentar, sebentar..." Aku dan Alena serentak menoleh ke arah Reno yang sedang duduk di atas sound system. "Kenapa Firda gak mau banget Lian join operet?" tanyanya.

Kali ini giliranku yang diserang tatapan dari Reno juga Alena. Aku bisa saja mengeluarkan seluruh alasan perihal ketidaksukaanku terhadap Lian, tapi semuanya terdengar tidak masuk akal jadi aku hanya menjawabnya dengan "Kerjaannya dia cuma pacaran mulu, apa yang bisa diharepin dari seorang bucin buat project mepet kayak gini?"[]

LEFT UNSAIDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang