/JARAK/

4 0 0
                                    

Tidak ada komunikasi yang terjalin antara aku dengan Lian setelah malam itu, baik di dunia nyata maupun di dunia maya.

Aku juga tidak begitu paham. Apa saat itu aku membuat kesalahan? kurasa tidak. Kami bercengkrama hingga pukul setengah empat pagi ditemani sate Bang Kumis dan teh hangat yang kubuat seadanya; menceritakan keseharian masing masing yang belum sempat tersampaikan. "Eh, Babe marah gak sih kita ribut di teras gini?" tanya Lian saat itu. Ia memang memanggil Bapakku dengan sebutan Babe, katanya lebih cocok seperti itu.

Aku menggeleng, "Enggak. Katanya, kalo kamu ngantuk dan males pulang, naik aja ke kamar Mas Yudhis, bobo berdua, deh. Jangan naik motor kalo ngantuk." jawabku.

"Serius? Emang kapan Babe bilangnya? Dia ada bangun?"

"Ada, pas aku lagi buat teh. Dikiranya aku tikus."

Selebihnya aku hanya menjadi telinga untuk cerita cerita Lian perihal hubungannya dengan Amel. Ia terlihat sangat bahagia saat menceritakan kekasihnya yang justru membuat dadaku sesak. Namun semua terbayar lunas saat kami akan berpisah— Lian berniat untuk pergi ke kamar Mas Yudhis yang memang berbeda bangunan dari rumahku, sedangkan aku ingin kembali merebahkan badan di atas kasurku. Setelah bangkit dari posisi duduk, Lian menarik lenganku agar aku dapat berdiri lebih dekat dengannya, ia lantas membisikkan "Jangan sedih lagi ya, Dut. Kalau ada apa apa tuh cerita!" sebelum mendaratkan sebuah kecupan di dahiku.

Hingga adzan subuh berkumandang, aku berulang kali meyakinkan hati bahwa Lian sudah setengah sadar hingga tak dapat membedakan diriku dengan Amel. Tapi ia juga menyebutkan panggilan Dut dengan cukup jelas hingga membuat jantungku berdebar tak karuan. Alhasil, aku tidur pukul 7 pagi saat semua orang rumah sudah membuka mata.

"Ngelamunin apaan sih?" tegur Alena setelah kembali dari membeli nasi campur ayam kecap. Ia menyesap es teh nya sebelum mulai menyendokkan santapan siangnya itu ke dalam mulut. "Al, Lian kenapa gak teguran lagi ya sama kita?"

"Ohhhh, ngelamunin Abang Lian ternyata!!"

"Jangan nyaring nyaring, dong. Ntar orang ngiranya aku demen sama Lian." padahal memang seperti itu kenyatannya, tambahku dalam hati.

Alena mengeluarkan tawa kecil, "Kan emang Lian sejak pacaran sama Amel udah jarang nongkrong sama kita. Dia jadi condong ke gengnya Vania." balas Alena lengkap dengan nada jutek yang selalu ia gunakan jika sudah bersangkutan dengan genk Vania, entahlah, Alena seperti mempunyai masalah pribadi yang tiada habisnya dengan perkumpulan itu.

"Kamu suka sama Lian, Da?" tanya Alena tiba tiba; terlalu mendadak sampai aku hampir mengeluarkan susu ultra yang baru saja masuk dalam mulutku.

"Kenapa mikir gitu?"

"Gak ada alasan khusus, sih. Aku cuma seneng aja liat kalian berdua kalo lagi ngobrol kayak punya dunia sendiri. Aku kira kalian bakal end up together, tapi si Lian malah belok ke Amel." jelas Alena selagi mengunyah kerupuk koin sebagai menu pelengkap.

Aku tak memberi respon apapun atas pertanyaan Amel; membiarkan kalimat itu mengambang di udara tanpa kepastian, karena memang aku sendiri pun tak tahu apa arti perasaan ini.

---

"Firda." panggil seseorang yang membuatku sontak menoleh. Amel berjalan mendekat ke arahku selagi aku memutar badan agar dapat berhadapan dengannya. "Ya?" balasku.

Amel tersenyum ke arahku; senyum manis yang tak dapat kuartikan maknanya. "Lagi sibuk gak?"

"Enggak terlalu sih. Aku lagi nyiapin bahan buat materi lomba jurnalis bulan depan."

"Oh, sebentar lagi mau ngumpul?"

Aku hanya mengangguk. Ada waktu sekitar empat puluh menit sebelum tim jurnalis yang hanya berisi tujuh orang siswa itu datang menemuiku di perpustakaan sekolah. Dalam hati aku berdoa sekencang kencangnya agar salah satu dari mereka datang lebih cepat supaya aku mempunyai alasan untuk keluar dari percakapan yang akan mengarah pada Lian ini.

"Hahaha." Jujur saja, tawanya memang manis, namun entah mengapa terasa tidak nyaman di telingaku. "Aku gak pinter basa basi, Fir. Jadi aku cuma mau bilang, kan kita sesama perempuan, pasti ngerti lah gimana perasaanku pas tau Lian tidur di rumahmu minggu lalu."

Memangnya ada yang salah? Lian memang sering tidur di rumahku— di kamar Mas Yudhis lebih tepatnya. Aku juga sering menyelinap masuk ke kamar Lian di tengah hari hanya untuk menganggu mode hibernasinya.

"Lian emang baik banget sih dengan jujur ke aku kalo dia numpang tidur di rumahmu. Tapi.....ya kamu paham kan maksudku?"

Ahhh, ya. Semua kebiasaanku dengan Lian menjadi salah karena ikatan baru yang terjalin antara Lian dengan perempuan yang sekarang masih tersenyum di hadapanku. Sekarang aku tahu apa arti senyum manis milik Amel; tipikal senyum licik yang mencoba mendorongku pergi dari kehidupan Lian.

"Lebih baik kamu ngomong ke Lian kalau ada hal yang kamu gak suka. Lian lebih menghargai itu daripada kamu nyuruh aku untuk jauhin Lian." balasku yang membuat senyum di wajah manis Amel menghilang secara tiba tiba.

"Kesannya jahat banget ya aku udah ngelarang kamu deket deket Lian...." Memang sejak tadi ia sengaja bersikap superior, kan? "....Okedeh. I'll try ngomong ke dia. Kita lihat Lian lebih sayang sama siapa."

Amel pergi meninggalkanku dalam keadaan mematung; berharap cemas Lian masih memiliki akal sehat untuk tidak menjauhiku.[]

LEFT UNSAIDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang