/NYANYIAN PERTAMA LIAN/

12 2 0
                                    

Lian masih berkutik dengan satu soal yang kuberikan sejak belasan menit lalu. Sedangkan, Alena sudah selesai di dua menit awal dan sekarang menatap Lian sembari menikmati brownies cookies buatan kakak perempuannya. Aku duduk diantara keduanya di meja makan berukuran cukup besar milik keluarga Alena; sedikit canggung mengingat posisiku sekarang yang merupakan third wheel dalam pertemanan ini.

Lian bercerita banyak saat sedang menuju rumah Alena satu jam lalu. Untuk ukuran orang yang tidak suka bicara di atas motor karena terganggu angin, ia benar benar detail menceritakan kedekatannya dengan Alena yang sama sekali tidak kuketahui. Seperti Alena yang juga menyukai sate— sama seperti Lian, namun Alena lebih suka jika bumbu kacangnya sangat pedas. Atau mengenai Alena yang lebih banyak menghabiskan waktu sendiri jika berada di rumah karena kedua orang tuanya yang bekerja dan kakak perempuannya yang kuliah. Hal hal seperti itu meyakinkanku bahwa ada banyak sekali cerita yang mereka bagi berdua saja di belakangku tanpa melibatkan sosokku.

Semakin aku menyelami pikiranku sendiri, semakin aku merasa diabaikan. Maksudku, mengapa Alena tidak membagi ceritanya denganku? Mengapa banyak sekali yang tidak kutahu mengenai Alena, juga Lian?

"Dut!"

"Da!" ucap Lian dan Alena bersamaan. Aku menoleh cukup cepat ke kanan dan ke kiri. Lalu "Gak usah ngagetin!"

"Jangan ngelamun, Dut, di sini perumahan angker soalnya." tegur Lian sambil menainkan bolpoinnya. Aku mencari pembelaan dengan menoleh ke arah Alena, mengharapkan perempuan itu akan berkata seperti 'Jangan ngaco deh, Yan.' atau 'Iye, kamu setannya.' namun Alena justru mengangguk yakin.

"Emang angker, Da."

Lian mendekatkan dirinya ke arahku agar dapat terlibat dalam percakapan menyangkut dunia misterius yang selalu ingin kuhindari tersebut. "Alena sering cerita soal hantu hantu gitu." ucapnya lagi yang membuatku semakin gelisah. Jika boleh menuruti kata hatiku, aku ingin meninju wajah Lian, berteriak marah di depan wajahnya karena sudah memberi tahuku sebuah rahasia yang membuatku tak nyaman. Aku jadi terus terusan menganggap bahwa apapun yang Lian ucapkan untuk Alena adalah bentuk perhatian karena tuntutan perasaan, padahal sebelumnya Lian memang peduli pada kami berdua.

"You did it again." ucap Lian sambil berdecak sebal.

Aku menggelengkan kepala untuk mengeluarkan pikiran negatif yang sejak tadi bersemayam di kepalaku, lantas mengambil buku catatan matematika pribadiku untuk membuat soal logaritma berikutnya. Aku baru saja akan mengangkat penaku sebelum Lian menahannya; "Istirahat ya? Lima menit?"

"Gak! 30 menit!" sahut Alena yang disambung dengan "Lapar gak? Aku buatin mie goreng mau?"

Sebagian dari diriku melihat pertanyaan Alena sebagai celah untuk dapat bersikap normal kembali, sebagian lainnya memaksa agar aku tetap berpegang pada ketidak nyamanan dan membenci mereka berdua perlahan lahan.

"Boleh. Aku pake telor ya, Al" jawabku yang sedikit lega karena dapat mengikuti opsi pertama.

"Dut, kan kamu baru makan?"

Aku menoleh ke arah Lian, kemudian memejamkan mata kuat kuat sembari mengutuki diri dalam hati. "Lupa." jawabku singkat.

"Aku bagi dua sama Firdut aja, Len." putus Lian tanpa melepaskan tangannya dari genggaman tanganku yang sebelumnya akan mengambil pena.

Alena berlari ke arah dapur setelah meneriakkan "Cie, so sweet abis kalian berdua!" yang membuatku geram dan memutuskan untuk bersandar di sofa empuk ruang tengah Alena.

Aku memperhatikan Lian yang berjalan menuju softcase gitarnya, mengeluarkan gitar berwarna orange kecokelatan classic— tipikal gitar pasaran yang sudah banyak dimiliki orang, namun ketika melihat ukiran bertuliskan Lian di ujung badan gitarnya, aku tahu bahwa gitar itu adalah milik Lian. Teman lelakiku itu membawa benda tersebut ke ruang tengah. "Aku pengen main gitar buat nyegerin otak. Mau request lagu?" tanya Lian setelah berhasil menepati posisi tepat di sebelah kiriku.

Lian mulai memetik senar gitarnya asal sembari menungguku memutuskan sebuah lagu. Namun bukannya mengeluarkan satu judul lagu dari mulutku, aku justru mengeluarkan "Kamu nyegerin otak dengan main gitar?"

"Yap. Kalo kamu, Dut?"

"Ngerjain sesuatu. Gak diem aja. Itu bisa buat aku lebih relax. I don't know, kalau aku diem, aku malah stress." Lian menegakkan tubuhnya usai aku menceritakan sisi diriku yang belum pernah diketahui orang.

"Kamu sadar kalau kamu aneh gak?"

"No, i'm not."

"Yes, you are. And because you're weird, aku bakal nyanyiin ini...." Lian mulai memainkan gitarnya; diawali kunci A, lantas menyandungkan "30 menit kita di sini tanpa suara."

"Apaan, sih. Gak ada hubungannya sama keanehanku." ucapku ketika sadar lagu apa yang sedang dinyanyikan Lian— lagu yang sama dengan yang sering diputar Abangku ketika tiba waktunya bersih bersih kamar; Jamrud - Pelangi di Matamu

"Bodo amat, aku suka lagu ini." ucap Lian cepat sebelum beralih ke lirik selanjutnya.

Aku menatap Lian cukup dalam; menyerapi kata demi kata yang ia keluarkan dengan nada yang cantik, seakan aku mendengar sebuah lagu baru padahal sudah familiar dengan setiap detail musiknya.

Jam dinding pun tertawa
Karna ku hanya diam dan membisu
Ingin ku maki diriku sendiri
Yang tak berkutik didepanmu

Ada yang lain di senyummu
Yang membuat lidahku gugup tak bergerak
Ada pelangi di bola matamu
Dan memaksa diri untuk bilang aku sayang padamu
Aku sayang padamu

Alena datang bersamaan dengan petikkan gitar Lian yang berhenti. Lian lantas menurunkan gitar kesayangannya itu dari pangkuannya dan membantu Alena dengan mengambil salah satu diantara dua piring yang Alena bawa.

Lian sudah duduk kembali dan menyodorkanku sebuah sendok saat Alena mendapatkan remote dan menyalakan TV besar di ruang tengah; mencari siaran drama korea kesukaan Alena.

"Masih takjub sama suara aku apa gimana nih? Bengong aje." bisik Lian sembari menikmati mie goreng buatan Alena, lengkap dengan telor dadar dan taburan bawang goreng.

Aku melakukan suapan pertama dari piring yang dipegang Lian— makan sepiring berdua dengan Lian membuatku tak nyaman, entah karena apa.

Namun ketika Lian mendekatkan bibirnya ke telingaku saat aku baru akan melakukan suapan kedua, aku paham alasannya; "Lagunya mau aku pake buat nembak Alena, Dut."

Dan yang pertama kali muncul di pikiranku setelah Lian menyelesaikan kalimatnya adalah selamat datang kembali, Firda yang selalu sendiri.[]

LEFT UNSAIDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang