/ISI HATI/

6 0 0
                                    

"Iya ayank beb! Firdut gak bakal macem macem kok walaupun di sini banyak cowok ganteng berkeringat kesukaan Firdut." ucap Lian tiba tiba dari arah belakang saat aku sedang membalas pesan dari Mas Iki. Aku lantas membalikkan badan diikuti gerakan menyembunyikan ponsel, kemudian mengejar lelaki yang hari itu mengenakan jersey merah liverpool. Ia mengibas ngibaskan handuk kecil berwarna hitam saat aku berniat ingin menarik bajunya dan menghujaninya dengan cubitan.

"Hahahaha. Sorry sist!" ucap Lian setelah berhasil menangkap kedua tanganku dalam genggamannya; membuatku semakin geram namun memutuskan untuk menyudahi adegan ala kucing dan tikus yang kami lakukan.

"Aku gak se alay itu ya! Ayank beb ayank beb mata lu."

"Gak usah nge gas dong, sist." Lian mengikuti langkahku sebelum akhirnya duduk di salah satu bangku penonton; tepat di sebelah Diandra. Ia berbincang sedikit dengan sang kekasih— yang selalu kuanggap boneka cinta Lian— selama beberapa menit, lantas menyenggolku menggunakan pantat botol aqua besar saat aku sedang asyik menikmati dua teman lelakiku melakukan kegiatan oper-operan bola kaki; "Ngapain sih kamu di sini? Gak lagi nemenin pacar juga kan?" ucap Lian dengan nada super menyebalkan, namun aku masih dapat menangkap hawa candaan dari sorot matanya.

Aku mendelikkan bahu. Ucapan Lian barusan ada benarnya juga; Mas Iki berada di pulau Jawa, tidak ada dalam aktivitas bulanan khas Lian berupa futsal, ia juga tidak mengutusku ke sini untuk mengasuh Lian karena.... well, ada kekasihnya yang selalu siap menemani kala bocah lelaki itu melakukan olahraga favoritenya. Lantas apa yang membuatku kemari? Apa yang ada dalam pikiranku saat mengajukan diri di grup kelas untuk ikut dan menonton permainan futsal yang sangat berantakan dari para lelaki penghuni kelas? Jujur, aku sendiri juga tidak paham.

"Suka suka aku dong!" balasku sewot sebelum ditimpa dengan "Jangan gitu, Yan. Bagus kali ada Firda di sini, aku jadi ada temennya." yang dilontarkan Diandra.

Aku menoleh cepat ke arah Diandra; seakan telah menemukan sesuatu yang berbeda dalam nada bicaranya. Ia tersenyum padaku dengan sinar mata yang redup hingga terjadi sebuah momen pertukaran isi hati kami. Canggung, namun terasa seakan perselisihan di antara kami akhirnya musnah dan tergantikan dengan sebuah hubungan baru yang cukup dekat.

"Buruan, Yan!" teriak Rian dari dalam lapangan. Lian menyahut dengan meneriakkan kata "Yo!" lantas menepuk pipi Diandra pelan sebanyak dua kali sebelum akhirnya benar benar pergi meninggalkanku berdua dengan Diandra.

Aku hampir larut dalam permainan futsal para lelaki penghuni kelas, namun dehaman cukup keras yang dikeluarkan Diandra membuyarkan fokusku dan memaksaku untuk menoleh ke arah kanan. "Ada yang mau aku omongin sama kamu." ucapnya membuka pembicaraan diantara kami.

"Okay." balasku; merasa perlu menanggapi kalimat Diandra karena jika tidak begitu, ia tidak akan membocorkan apapun yang ada dalam pikirannya.

"Aku mau putus sama Lian malam ini."

Para lelaki sedang bergembira dengan memperebutkan bola kaki di tengah lapangan sana. Aku hanya mematung. Dan Diandra yang kini menunduk; kurasa sedang menahan air mata agar tidak tumpah.

"Kenapa?"

"Aku tahu soal Amel. Aku bukan cewek bego tapi aku rela dianggap seperti itu oleh Lian. Dan aku rasa, tiga bulan udah cukup buat aku puas dan buat aku bahagia dengan kebersamaan yang nyatanya palsu ini." Diandra mencoba menutupi kesedihannya dengan tersenyum cukup lebar, namun aku masih dapat merasakan besarnya cinta Diandra untuk Lian berbanding lurus dengan besarnya rasa sakit yang harus dibebankan padanya.

"Di, aku minta maaf."

Perempuan di depanku itu mendengus geli; "Bukan kamu yang salah, ngapain minta maaf?"

LEFT UNSAIDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang