/ASING/

6 2 0
                                    

Terhitung satu bulan sudah sejak terakhir kali aku berbicara dengan Lian. Sudah lewat dua minggu dari libur semester yang diberikan sekolah; dimana harusnya aku lebih banyak menghabiskan waktu bersama Lian dan Alena, entah hanya untuk menonton film, bermalas malasan di rumah Alena, atau bahkan berjalan jalan ke pantai dan membuat banyak foto kenangan. Namun semua itu tiba tiba saja batal.

Lian tidak lagi mau terlibat percakapan denganku, ia enggan menegurku, juga menolak untuk melakukan kontak mata denganku. Bahkan saat hampir seisi kelas menyelamatiku karena berhasil memenangkan lomba karya tulis— walau hanya berada di posisi dua— Lian tidak sekalipun melontarkan ucapan selamat.

Alena sudah bertanya ribuan kali mengenai permasalahan yang tercipta diantara aku dan Lian; namun aku selalu enggan menjawab dengan benar, hanya mengatakan bahwa Lian kesal karena aku muncul di hadapannya tanpa mengenakan jilbab.

Ada banyak hal yang harus kusimpan sendiri, seperti nada ucapan merendahkan Lian hari itu hingga aku harus menahan tanganku untuk tidak terkepal ketika mengingatnya, atau juga ketika aku masih melihatnya duduk di kursi tamu undangan bersebelahan dengan orang tuaku ketika aku menaiki panggung untuk menerima medali, piagam, serta berbagai hadiah lainnya. Aku tak bisa membagi hal semacam itu pada Alena karena hubungan yang tak dapat kujelaskan antara aku dan Lian; saling peduli hingga menembus standar kepedulian antar sesama teman, bahkan antar pasangan kekasih. Sederhananya, aku belum siap menerima pertanyaan "Kamu suka sama Lian, ya?" Jawabannya bukan tidak, bukan juga iya, ini lebih dari rasa suka, lebih dari cinta bahkan; ada ikatan yang tidak akan masuk dalam label manapun antara aku dengan Lian.

"Kita bawa bekal aja besok kalau kamu murung terus pas makan siang di kantin." usul Alena ditengah kegiatannya menyantap mie ayam— cuma Alena dan beberapa orang aneh yang menikmati mie ayam panas ditengah teriknya cuaca hari itu.

"Aku gak apa-apa, kok."

Alena menurunkan sendoknya, kemudian menyentuh tanganku hingga aku menaikkan pandangan, "Lian juga temen aku, Da. Yang kehilangan Lian gak cuma kamu. Aku juga kehilangan dia." Wrong. Aku masih memergoki Lian dan Alena sedang bercengkrama sesekali yang membuatnya cukup beruntung dibanding diriku. "Jadi stop sedih sedih atau mikirin soal jilbab lagi karena....well, dia gak dengerin penjelasanmu sama sekali, jadi dia hanya bersikap konyol."

Benar. Lian tidak pernah sekalipun mendengar penjelasannya. Namun aku merasa, meskipun Lian tau kebenarannya, ia akan tetap menyalahkanku; seperti ada luka yang belum kering dalam hati Lian, kejadian itu seperti menuangkan air garam di atasnya. Dan luka itu yang ingin aku cari tau, luka itu yang ingin aku sembuhkan dan ku rawat sampai benar benar mati. Namun bagaimana caranya ketika Lian menganggapku asing?

"See? You're over thinking again!" tegur Alena yang membuatku bangkit dan membeli susu ultra tanpa perlu merespon pernyataannya, lantas menikmati minuman favoriteku yang sudah lama tidak ku nikmati selagi melewati meja yang diisi oleh Vania dan kawan kawan.

Oh iya, satu hal yang belum kuceritakan tentang Lian versi baru adalah sekarang ia menjadi kawanan Vania; ia lebih banyak menghabiskan waktu dengan Edo yang merupakan kekasih Vania, dan dari apa yang kudengar, Lian juga ikut menikmati malam tahun baru di rumah megah milik Vania. Rooftop, fireworks, BBQ, laugh, fun, dan banyak sekali jepretan foto adalah hal yang tidak bisa Lian dapatkan jika masih berteman denganku dan Alena. Malam tahun baru versiku dan Alena? hanya bakar jagung, dan beberapa potong ayam di halaman depan rumah Alena sembari menikmati kembang api milik tetangga.

"Balik ke kelas yuk." ajakku yang ditujukan pada Alena ketika ia sedang menikmati tegukan terakhir air mineralnya.

Alena mengangguk, lalu "Yuk." balasnya bersamaan dengan tatapannya yang terjatuh pada meja Vania and the gang. Kurasa ia merasakan hal yang sama denganku; perasaan muak dan jijik mengingat betapa bencinya Lian pada pertemanan palsu semacam itu, sekaligus sedih karena tidak ada yang dapat kami lakukan untuk menarik Lian kembali. Apa? Mencoba untuk meminta maaf dan berdamai dengan Lian? sudah kulakukan di malam setelah perlombaan.

Satu bulan setelahnya masih sama dengan segala kebekuan pertemanan kami, juga bulan bulan berikutnya hingga tiba saatnya kenaikan kelas yang artinya aku mempunyai harapan untuk berpisah kelas dengan Lian.

Aku mulai menaiki tangga di gedung baru bersama Alena yang melilitkan lengannya pada lenganku. Ia berbicara terlalu banyak mengenai perjanjian yang kita buat jikalau kami harus berpisah kelas; ia terus terusan mengungkit masalah makan siang bersama jika sempat, dan menghabiskan waktu bersama setelah jam ekskul berakhir di hari Sabtu.

Kami sesekali berhenti di salah satu ruang kelas untuk melihat daftar siswa yang masuk dalam kelas tersebut. "Ini namamu, Al." ucapku ketika menemukan nama Alena berada di urutan ke lima.

"Ada namamu gak, Da?"

"Gak ada." balasku dengan nada sedih saat menghadapnya. "Misah kita huhu."

Aku baru saja akan melanjutkan perjalanan mencari kelas baru ketika Alena menarik tas punggungku hanya untuk mengatakan "Mau ku temenin cari kelas baru, gak?"

"Gak usah. Ntar kamu sedih lagi kalo aku sekelas sama gebetanmu."

"Apaan sih, Da! Gak ada gebetan gebetan!" tanggap Alena malu malu sembari melepaskan kepergianku menuju lantai tiga. Well, namaku pasti ada di salah satu dari dua ruang kelas di lantai tiga nantinya, kalau tidak yaa.....mana mungkin.

Sedetik setelah menemukan namaku, seseorang membisikkan "Duduk sama aku aja kalau gak ada temen duduk."

Aku menoleh, mendapati Lian berdiri di belakangku dengan posisi tas yang tersampir di salah satu bahunya. Harusnya aku menjawab 'Iya' atau apapun yang dapat menciptakan terjadinya sebuah percakapan, namun aku justru mematung sembari mengamati gerak geriknya hingga ia masuk kelas.

Apakah aku memutuskan untuk duduk dengan Lian? jawabannya tidak. Aku tidak ingin terjebak dalam penjara hening yang Lian ciptakan untukku. Sudah cukup enam bulan ke belakang ia berhenti menjadi kawanku, dan aku harus memulai hidup baru sebagai Firda yang berani; berani dalam artian tidak lagi bergantung pada Alena, Lian, atau siapapun yang mencoba membantuku.

Lian menatapku ketika aku memilih tempat duduk di dua paling depan; di sebelah seseorang yang kukenal karena pernah satu sekolah denganku, Amel namanya.

Dan dengan aku menolak ajakannya, berarti aku juga sudah mengibarkan bendera perang.

Dear Lian, aku hanya melanjutkan apa yang sudah kamu mulai. Aku pernah berharap untuk menghentikkan perang dingin di antara kita, namun aku lebih berharap kamu lah yang menyudahinya.

Aku harap kamu mengerti. Aku harap kamu sadar.[]

LEFT UNSAIDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang