/JADIAN/

10 2 0
                                    

Pelajaran Biologi baru saja berakhir, namun Bu Dyah masih berada dalam kelas untuk mengobrol denganku saat setengah penghuni kelasku mulai berhamburan keluar kelas untuk beristirahat.

"Tiap senin dan kamis di perpus ya, Firda." ucap Bu Dyah mengulang informasi pentingnya sekali lagi sebelum bangkit dan meninggalkan kelas.

Aku baru akan kembali ke meja ku untuk mengambil dompet dan menjelajahi kantin bersama Alena ketika seseorang berkata, "Eh Lian, kamu jadian sama siapa?"

Diandra dan Edo berlari menuju meja Lian; ingin mengorek informasi lebih dalam mengenai perubahan status Lian dari sebelumnya lajang menjadi menjalin status. Sementara aku hanya berdiri mematung dekat mejaku, menatap Alena dengan tatapan menuduh hingga Alena balas menatapku, "Whoa whoa! Kenapa kamu ngeliatin aku kayak gitu?" ucap Alena sebelum berdiri dan menarikku menjauhi kerumunan fans Lian.

"Emang iya Lian jadian? Cepet amat lu, bro. Baru juga sebulanan masuk sekolah."

"Iya, cuy. Temen aku, anak kelas sebelah, nembak Lian, trus ditolak karena katanya Lian udah jadian."

"Ngeri juga temanmu, Di. Eh btw, seriusan, Yan? Dari kapan? Kok diem-diem aja lu."

"Udah semingguan sih katanya" balas Diandra yang membuatku semakin yakin bahwa kekasih Lian yang dimaksud Diandra adalah Alena.

Alena menimbang antara roti isi cokelat, kopi, atau cokelat-keju, lantas mengambil dua diantaranya, yakni cokelat dan cokelat-keju sebelum mengajakku ke gazebo dekat kantin; tempat biasa kami menghabiskan waktu istirahat pertama untuk menikmati kudapan ringan atau hanya sekadar mengobrol.

"Mau?"

Aku menggeleng. Sebelumnya aku tidak pernah menolak roti isian cokelat, namun hari ini perutku terasa penuh hanya dengan mendengar ucapan Diandra beberapa menit lalu. "Kenapa kamu ngira aku yang jadi pacarnya Lian?"

"Karena aku tahu dia suka sama kamu."

"You what?!"

"Kalian beneran jadian?"

Kalimatku dan kalimat Alena saling menimpa; membuatnya terdengar seperti debat dan bukannya pembicaraan biasa antar dua orang. Aku tidak paham mengapa status hubungan Lian dan Alena menjadi penting saat ini, aku sama sekali tidak mengerti mengapa seluruh elemen dalam diriku menginginkan Alena untuk segera memberikan jawaban berupa iya atau tidak, dan hal hal yang tak kumengerti itu membuat dadaku panas.

Alena mengigit roti isian cokelat-keju dengan potongan cukup besar, mengunyahnya perlahan yang justru membuatku semakin ingin meneriakinya. Namun setelah ia menelan kunyahannya, menarik nafas, dan menghembuskannya lewat mulut, aku tahu bahwa hal yang kutunggu akan segera hadir.

"Kalau kamu tanya, apakah aku jadian sama Lian? jawabannya tidak. Tapi kalau kamu tanya apakah kami suka satu sama lain? jawabannya iya. Dan aku juga baru tau hari ini kalau dia udah jadian sama yang lain— don't ask me who's the lucky girl cause i don't know dan gak mau tahu juga."

Apaan apaan maksudnya? Bukankah dua insan yang sedang dimabuk cinta menginginkan ikatan? Mengapa Alena justru dengan santainya melepas Lian?

Dari sekian banyak respon yang dapat kukeluarkan, aku justru memilih kata "Kenapa?"

"Karena aku sama Lian punya kamu, Da. Aku juga mikir kalau aku sama Lian pacaran, kamu pasti bakal ngerasa aneh dan kembali lagi jadi Firda yang sangat sangat tertutup. Aku gak mau kamu trauma karena pernah punya temen yang ninggalin kamu, jadi aku lebih baik ngelepas Lian daripada ngelepas seorang Firda. Girls understand each other, kan?"

LEFT UNSAIDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang