/HALO, LIAN?/

6 0 0
                                    

"Firdut!!!" teriak Lian di seberang telepon; membuatku sedikit menjauhkan ponsel dari telinga kanan.

"Apaan sih?!"

"Are you okay?"

Aku menoleh ke arah Alena yang sedang duduk bersila di atas kasurnya; membolak balik modul matematika yang sepertinya akan keluar pada ujian senin nanti. Alena membalas tatapanku sembari menanyakan "Siapa?" tanpa suara.

"Lian." jawabku yang juga tanpa suara.

"Hello, aku bertanya, apa kau baik baik saja? Gimana sih ceritanya?! Kok kamu gak bilang bilang?" paksa Lian setelah aku menyalakan mode speaker dan meletakan ponsel di atas kasur agar Alena dapat mendengar percakapanku dengan Lian.

"Gimana mau cerita kalo kamunya sibuk pacaran sama yayank Amel." balasku yang membuat Alena tertawa.

"Ya tapi kan—"

"Tapi....tapi....tapi...." potongku selagi menirukan nada gagap Lian saat dikomentari perihal kegiatan hariannya yang didominasi oleh Amel. Aku kerap kali menyaksikan Lian dan Amel yang menikmati makan siang berdua saja di pojok kantin; tertawa bersama setelah Lian melontarkan beberapa lelucon yang entahlah apa, aku sudah jarang mendengarnya bercerita mengenai hal hal lucu yang terjadi di sekelilingnya. Aku juga pernah tak sengaja memergoki keduanya di kedai kopi favoriteku dan Lian. Harusnya aku dan Alena mengerjakan tugas prakarya di sana, namun batal karena Alena membenci Lian dalam mode budak cinta seperti itu.

"Bucin banget!" sahut Alena yang membuat Lian menggerutu "Diem aja deh, Len. Biarkan Firdut cerita kenapa dia bisa putus sama Mas Iki."

Alena menatapku secara tiba tiba, "Hah?!!!" ucapnya tak kalah kencang dari teriakan Lian sebelumnya.

"Alena beneran kaget tuh apa akting doang?"

Yang ditanya sama sekali tak menggubris, Alena justru mendekatiku dan menangkap kedua pipiku menggunakan kedua telapak tangannya. "Kamu kenapa gak cerita sih, Da?!! Kamu tuh kalo ada apa apa cerita dong!" ucapnya dengan nada suara tinggi yang disambung dengan kalimat tanda setuju dari Lian.

"Kenapa dipendem sih, Da? Kamu ada masalah apa?" lanjutnya.

Sejujurnya, tidak ada masalah serius yang terjadi di antara hubunganku dan Mas Iki. Hubungan itu harus berakhir karena Mas Iki yang terlalu banyak memberikan cinta padaku hingga aku tidak dapat lagi membendungnya. Klise? kurasa tidak. Aku sudah terlalu banyak menyakitinya dengan tidak membalas perasaannya yang begitu tulus.

"Karena.....gak ada yang penting dari cerita itu?" responku yang membuat kedua sahabatku— baik Alena yang berada di hadapanku, dan Lian di seberang telepon— mengeram sebal. Bukan sekali dua kali aku menutupi sesuatu dari mereka, terlalu sering hingga mereka khawatir lambat laun aku akan punya gangguan kejiwaan akibat terlalu sering memendam. Namun sebenarnya, aku tidak menemukan sesuatu yang baik dari menceritakan sesuatu yang dianggap orang menyedihkan— seperti kasus putus cinta ini— pada Alena maupun Lian.

"Dut, ntar malem aku jemput ya. Sate Bang Kumis." ucap Lian tiba tiba yang membuatku diam sebentar sebelum akhirnya mengangguk, kemudian membalas "Oke." ketika sadar Lian tak akan bisa melihat anggukanku.

"Have fun, kalian! Aku mau ikutan tapi gak tahan sama kekalongan kalian, sooo..... Lian, please ceritain ke aku semuanya besok! Karena ngarepin Firda cerita tuh kayak ngarepin tangan nangkep angin, gak akan pernah terjadi." ucap Alena sebelum Lian memutuskan panggilan secara sepihak disertai kalimat "Siap, Bos!"

---

"Halo, Lian?" sapaku setelah ponselku berdering dan menampilkan nama Lian di atas layarnya. Telingaku menangkap suara keramaian yang berada di sekitar Lian, juga suara beberapa perempuan yang sedang bercengkrama diikuti gelak tawa cukup keras. Tanpa perlu bertanya pun aku tahu Lian sedang berada di luar.

"Dut, aku baru kelar nonton nih sama Amel, Vania, rame lah pokoknya. Sate Bang Kumis nya agak maleman gak apa-apa?" tanya Lian yang memaksaku untuk melirik jam dinding yang terletak di atas pintu kamar; pukul setengah 12, mau semalam apa lagi yang dimaksud Lian?

Aku menggeleng, "Gak usah. Kamu anter Amel pulang aja. Sekarang, ya, Li. Gak baik ngajak cewek keluar trus jam segini belum balik." balasku.

Lian sepertinya sedang menjauhkan ponsel dari wajahnya tanpa memutuskan panggilan hingga aku dapat mencuri percakapan yang sedang terjadi di sana. Aku tidak dapat menebak semua sosok di balik suara yang berada di sekeliling Lian. Yang ku tahu, Lian mengajak Amel untuk pulang sesuai apa yang kuperintahkan, namun disambut "Yaelah, masih jam segini. Kita McD aja dulu, aku laper nih" oleh suara perempuan yang mungkin adalah Vania.

"Dut?" panggil Lian yang langsung kurespon dengan "Iya. Have fun, ya." tanpa perlu mendengar apa yang ingin disampaikan Lian sebelum memutuskan panggilan.

Aku duduk di tepi tempat tidurku sembari menatap jarum detik jam dinding yang terus bergerak dengan semangatnya menuju waktu tengah malam. Kemudian, beralih menatap cermin besar di depan tempat tidurku; mengamati refleksi diri yang sudah rapi dengan kaos hijau army dengan kantong kecil di dada kiri, lengkap dengan jilbab warna biru yang hampir senada dengan jeans biru laut di kakiku. Bodohnya aku, batinku.

Aku bahkan menolak makan malam yang ditawarkan Mami jam delapan malam tadi hanya untuk menikmati sate ternikmat versiku dan Lian. Juga menghabiskan dua episode drama korea sembari menunggu panggilan dari Lian yang kuharap akan berkata "Aku udah di depan, nyet." dan kubalas dengan "Gila lu jam karet banget! Hampir beuban aku nungguin!"

Namun yang terjadi justru jauh dari apa yang sudah kususun dalam otakku. Lian tidak memberi kabar bahwa ia akan pergi bersama Amel dan teman temannya hingga membuatku menunggu cukup lama. Lagipula apa yang sebenarnya kuharapkan? Lian yang datang selepas isya dan menenangkanku karena sudah rewel akibat lapar seperti yang biasa ia lakukan sebelum menjadi kekasih Amel? tidak mungkin. Terlebih, ini adalah malam minggu; malam yang memang dikhususkan untuk Amel walaupun malam malam sebelumnya memang sudah dikhususkan untuk wanitanya itu.

Lian berubah.

Hubungan kami berubah.

---

Ponselku berdering cukup nyaring di tengah tidur pulasku. Membuatku tersentak sebelum mencari benda segi empat tersebut dengan pandangan yang masih kabur. Aku mengusap layarnya ke atas tanpa melihat caller ID, "Ya?"

"Halo, Dut? Aku di depan, nih."

"Siapa nih?"

"Lian." Kesadaranku terkumpul sepenuhnya setelah mendengar nama itu; membuatku bangkit dari posisi tidur dan melihat jam yang menunjukan pukul dua malam sebelum berlari menuju pintu depan.

Lian berdiri di samping motornya dengan masih menempelkan ponsel di samping telinga kanan. "Selamat subuh? Hahaha. Mau sate?" ucap Lian sembari meletakkan ponsel dan mengangkat tangan kirinya yang sedang mengenggam plastik hitam berisikan sate kesayangan kami.

Aku membuat langkah besar agar cepat sampai di dekatnya, lantas memberanikan diri untuk memeluk Lian dan menyandarkan kepala di dadanya. Jujur saja, ini bukan ciri khas seorang Firda. Aku takut beberapa orang mungkin melihat adegan ini dan melapor pada Bapak esok pagi, atau teman dekat Amel tanpa sengaja lewat dan memberi tahu Amel detik itu juga. Namun aku tak peduli, aku terlalu egois untuk membagi Lian dengan perempuan lain, bahkan Alena. Aku belum terbiasa menjadi si nomor dua setelah selama ini Lian memperlakukanku dengan sangat baik.

"Hey, it's okay. Nanti dapet yang lebih baik dari Mas Iki, kok." ucap Lian sembari membalas peluk dan mengusap puncak kepalaku.

Aku meneteskan air mata; membiarkan Lian berpikir aku sedang berduka karena kehilangan Mas Iki walau yang terjadi sebenarnya adalah aku belum siap untuk kehilangan sosok Lian.[]

LEFT UNSAIDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang