/JUNI 2015/

11 0 0
                                    

Hari pertunjukan operet angkatan 61 akhirnya tiba. Sekitar satu jam lagi sebelum kami semua benar benar tampil di hadapan penonton dan bukannya di ruang serba guna.

Aku mengenakan coat berwarna cokelat susu yang kupadu dengan jeans hitam; melakukan foto bersama Sir Budi ketika para pemain saling bantu mempersiapkan busana masing masing di ruang make up. Lian duduk di pinggir ruangan selagi mengikat tali sepatunya; lantas menaikkan pandangan dan membalas tatapanku sebelum melempar senyum.

Vania, Sarah dan Alena kembali menyelaraskan langkah untuk salah satu scene dimana mereka akan berjalan bertiga dengan gaya secentil mungkin. Sedangkan beberapa lainnya hanya diam; memanjatkan doa dalam hati agar pertunjukan hari ini dapat membayar lunas semua keringat yang kita buang selama 27 hari terakhir.

"Lian, tanganmu aman?" tegur Sir Budi yang berjalan mendekati Lian, kemudian menyentuh siku kanan Lian yang kemarin— saat hari gladiresik— terbentur aspal.

Yang kuingat hari itu sudah menunjukan pukul 6 sore, menjelang adzan maghrib karena sudah mulai terdengar lantunan tahrim. Sir Budi mendapat telepon dari Rofiq yang mengatakan bahwa Lian kecelakaan di pertigaan sungai ampal saat menuju ke gedung perpisahan sambil membawa spanduk besar berisi poster operet kami. Aku dan Sir Budi langsung meninggalkan area gedung setelah telepon ditutup secara sepihak oleh Sir Budi.

"Jangan aneh aneh dong, Li! Besok kita udah mau tampil nih!" ujarku saat menemui Lian yang duduk di teras warung setelah mengalami kecelakaan lalu lintas.

"Oh jadi lebih kasihan sama operetnya nih daripada sama aku?" rengeknya yang membuat rasa cemasku perlahan memudar karena jika Lian masih dapat bergurau, itu artinya ia masih baik baik saja.

"Aman, Sir. Masih nyeri sedikit tapi bisa dipake joget kok." ucap Lian membalas pertanyaan Sir Budi; sedikit meyakinkan bahwa ia masih dapat menggerakkan tangannya di salah satu scene dimana ia harus menari berdua dengan Sarah.

"Oke, semuanya kita kumpul dulu yuk!" teriak Sir Budi yang membuat kami semua bergerak untuk membentuk lingkaran di sekelilingnya. "Terima kasih buat kerja samanya selama sebulan terakhir. Terima kasih sudah mau susah bareng, makan indomie lima bungkus dibagi rata pas belum dapat uang dari panitia perpisahan, hahaha." Juga saat hujan badai diikuti mati listrik pada pertengahan pukul delapan malam; menghambat sesi recording untuk bagian penting dalam pertunjukan. "Saya atas nama pribadi bangga sama kalian semua yang berdiri di sekeliling saya. Pertunjukan ini bukan buat mereka yang lagi rebutan buat duduk paling depan di luar sana. Pertunjukan ini buat kita! Buat kita yang udah peres energi sebulan penuh pas anak anak lain lagi liburan pasca ujian. 61 BISA??!!"

"61 BISA!!" teriak kami bersama sama sebelum berpelukan dan memanjatkan doa terakhir untuk kelancaran pertunjukan.

Operet angkatan 61 dibuka oleh suaraku yang membaca narasi, disambung kemunculan Wanda dan Zaki di atas panggung yang memicu tepuk tangan riuh dari penonton yang duduk santai di atas lantai.

Rofiq menjadi poin utama dalam operet bertema komedi romantis yang kubuat. Diikuti kisah asmara Wanda dan Zaki yang dibumbui permasalahan remaja pada umumnya.

Aku dan Sir Budi tersenyum puas saat melihat teman teman satu angkatan tertawa ketika menonton pertunjukan yang kami olah; lelah akibat pulang di atas jam 10 malam akhir akhir ini benar benar terbayar lunas.

Jodi memasuki ruang make up dengan melompat lompat girang, "Wohoo!!" teriaknya setelah menyelesaikan scene terakhir bersama Lian. Ia langsung memeluk Sir Budi yang memang berdiri di pintu ruang make up— bertugas memantau keadaan di luar sana. Sementara Lian bergerak mendekatiku, mencubit pipiku sebelum memelukku erat sekali. "Sukses, Dut! Kita sukses!" ucapnya.

"Hahaha, iya, Li!" balasku tak kalah bahagia.

Lian melepaskan pelukan, "Sebentar, sebentar." Aku mengekori gerakannya yang menuju tumpukan tas dan kostum pemain yang sudah dikenakan lebih dulu. Tangannya menarik buket bunga yang sedikit tertimbun.

"Nih."

"Serius nih?"

"Congratulations, ya, naskah pertamanya udah berhasil dipentaskan!" Aku ingin memeluk Lian lagi, namun Vania sudah memasuki ruang make up. Ada banyak perdebatan panjang dalam kepalaku, salah satunya adalah aku yang tidak ingin berurusan dengan Amel lagi, jadi yang dapat kulakukan hanya tersenyum dan mengucapkan terima kasih sebanyak yang kumampu.

Aku tidak menyukai bunga. Namun entah mengapa, hari ini aku ingin terus terusan memeluk buket pemberian Lian ini; menghirup dalam dalam wangi bunganya sebelum benar benar hilang suatu hari nanti.

---

"Dari siapa, Da?" tanya Alena saat aku baru saja duduk di kursi penumpang mobil Mamanya; mengundang lirikan yang dibuat Mama Alena lewat kaca depan.

"Lian."

"Lian.....Lian itu?" tanya Alena dengan nada tak percaya, sama seperti apa yang kupikirkan sebelumnya saat Lian menyerahkanku buket dengan berbagai macam bunga cantik di dalamnya. Mungkin Alena mempunyai pikiran yang sama denganku, bahwa Lian tidak peduli lagi dengan amarah Amel ketika mengetahui hal ini, atau Lian bukan lagi Lian bucin yang selama ini kita gunjingkan.

"Iya, Lian itu."

"Eh ada suratnya tuh." balas Alena sembari menoleh ke belakang; memaksaku untuk mencari sebuah kartu ucapan bercorak bunga yang diselipkan di bagian tepi buket.

Dear Firdut,
(tulisanku jelek jadi maklumi aja ya)

Terima kasih untuk semuanya, bener bener semuanya! Temenan sama kamu kayak lagi temenan sama buku berjalan alias banyak banget ilmu yang aku dapat.

Aku bakal inget semua nasehat yang pernah kamu kasih: Jangan bucin, jangan egois, jangan bandel, inget Allah, dan sayang Ibu selalu.
(duh ini kenapa kertasnya cilik banget ya)

Anywayyyyy, tetap jadi Firdut yang selalu baik sama orang lain, karena itutuh super power mu!

p.s : kasih tau aku kalo nanti ada yang macem macem sama kamu ya! Biar Abang Lian habisin!

p.s.s : Amel kuliah di luar kota, Dut. Kita gak jadi bareng. Doain aku kuat LDR yak.

(( i lov u my chubby little sissy!!! ))

Iya. Sampai kapanpun Lian akan menjadi sahabat yang merangkap sebagai kakak lelakiku, tidak akan pernah lebih.

Aku juga mencintaimu, Lian.[]

LEFT UNSAIDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang