/HASIL/

14 2 0
                                    

"Firda." panggil Bu Nirma— guru matematika yang sedang membagikan hasil ulangan harian dadakan seminggu lalu. Aku terdiam untuk beberapa detik sebelum memutuskan untuk berdiri dan mengambil lembar kerja tersebut di depan kelas.

Bu Nirma tersenyum selagi aku melirik nilai ulangan pertamaku di sekolah ini dengan perasaan campur aduk. Maksudku, aku bukannya gelisah karena takut mendapat nilai jelek atau semacamnya, karena beberapa menit lalu Bu Nirma menjelaskan akan memanggil nama murid untuk mengambil lembar kerja masing masing diurutkan dari peraih nilai tertinggi hingga terendah. Jadi, ketika namaku disebut pertama kali, sudah jelas nilaiku akan bagus, kan?

Aku melihat nilai 97,5 di pojok kanan atas. Hampir sempurna, batinku. Aku menggumamkan terima kasih sebelum kembali duduk di antara Alena dan Lian. "Kamu pake ilmu hitam ya?" bisik Lian setelah menyolek lenganku.

"Gak usah ngaco, deh!" sahutku sinis. Lian bertukar tatap dengan Alena; membuatku harus memutar otak apa arti dari tatapan mereka.

Aku tertawa kecil di dua menit setelahnya ketika Lian menghembuskan nafas pasrah bersamaan dengan namanya yang dipanggil Bu Nirma sebagai golongan penerima nilai seadanya alias berada di penghujung acara pembagian hasil ulangan.

"Diem lu, gak usah ketawa!"

"Marah ya?" tanyaku yang mengikuti gerak gerik Lian ketika berjalan menuju tempat duduknya, "Sorry." kemudian tertawa kembali.

---

"Susu ultra atau es teh manis manis manis banget?! Pilih buruan!" tanya Lian yang hanya ditujukan untukku ketika sampai di meja makan yang berisikan aku, Alena, Yuni, Diandra, Tirta, dan Edo.

"Susu—"

"Es teh! Oke!"

"Apaan sih, Li! Aku udah puasa susu ultra semingguan nih!" teriakku di tengah keramaian kantin siang itu; ditambah teriknya matahari di pertengahan bulan Agustus yang membuat mulut sebagian perempuan penghuni kantin semakin lantih dari biasanya karena mengeluh mengenai udara panasnya.

Lian berdiri susah payah karena terhimpit oleh Edo dan perempuan yang kuketahui adalah seorang kakak kelas jika dilihat dari logo yang berada di lengan kirinya. Aku mengekori Lian yang menuju warung Pak Surya; menembus keramaian hanya untuk meneriakkan pesanan berupa dua gelas es teh dan satu aqua— untuk Alena tentu saja.

"Firda, nanti sore pulang sekolah mau ikut ke rumah Vania gak?" tanya Diandra tiba tiba, membuatku sedikit tersedak karena belum pernah yang menawarkan ajakan semacam itu selain Alena ataupun Lian— yang bahkan keduanya saja kutolak mentah mentah.

"Ada acara apaan? Vania gak ngundang aku, sih."

"Mau belajar metik buat remed besok. Kan cuma kamu sama Alvi yang gak remed. Siapa tau kamu mau ajarin kita kita yang fakir ilmu metik karena Bu Nirma ngajarinnya gak jelas." balas Diandra yang disambut anggukan dari Yuni di sebelahnya.

Aku menatap Alena yang juga menatapku antusias. Aku sudah membulatkan jawaban sebenarnya, kalau tubuhku bisa menjawabnya, akan ada tulisan TIDAK dengan huruf besar dan tebal di keningku. Namun melihat Alena yang senang karena akhirnya aku mempunyai teman bicara selain dirinya dan Lian membuatku sedikit ragu.

"Di kasih makan kok, tenang aja." ucap Yuni setelah menghabiskan seporsi nasi pecelnya dan meneguk air mineral dingin ukuran kecil.

Aku kembali pada putusan ku yang pertama, tidak peduli terhadap mata berbinar cantik milik Alena.

Kalau mau tahu mengapa, inilah yang membuatku gelisah ketika mendapatkan nilai lebih tinggi dari yang lain; munculnya teman teman yang memanfaatkanku tanpa benar benar ingin menjalin hubungan pertemanan denganku. Selain itu, aku tidak suka cara Diandra menyalahkan cara ajar Bu Nirma dan bukannya ketidak lengkapan fasilitas ajar di ruang serba guna. Ditambah, Yuni yang menyogokku dengan makanan yang akan disediakan di rumah Vania.

Maaf, aku memang gemuk, tapi aku tidak rakus, batinku.

"Enggak—"

"Loh, Dut? Kita jadi ke rumah Alena kan hari ini? Kamu kan udah janji mau ngajarin kita." ucap Lian tiba tiba yang sontak membuatku menghembuskan nafas lega diikuti tatapan bingung Alena.

"Ah, ya! Gak bisa, Di, sorry. Aku mau ngajarin Alena sama Lian nanti sore." terangku yang membuat Diandra tersenyum kecut dan kemudian pergi lebih dulu bersama Yuni.

"Kita balik duluan, Yan."

"Lah udah pada kelar makan?"

"Kamu kelamaan."

"Aku beli minum nih buat si nyonya nyonya pemalas ini!" Alena mencubit lengan Lian cukup keras hingga membuatnya meringis kesakitan dan kemudian tertawa konyol selagi aku mengucapkan "Kan gak ada yang nyuruh! Kamu aja kerajinan!"

Tirta dan Edo bangkit setelah ikut tertawa selama beberapa detik dan pergi ke arah lapangan; ingin bermain bola sebelum bel tanda istirahat berakhir mungkin?

"Kenapa cowok kalo istirahat pasti main bola?" tanyaku setelah menghabiskan makan siang, menikmati es teh, dan mencoba mengigit es batu seperti yang selalu dilakukan Alena.

Lian menikmati mie ayamnya, lalu "Siapa yang main bola?"

"Edo sama Tirta. Kamu juga biasanya join mere— AW apaan sih, Al!" teriakku ketika mendapat cubitan dari Alena. Astaga apa ini cubitan yang sama dengan yang ia layangkan untuk Lian? Lalu bagaimana caranya seorang Lian dapat menahan serangan seperti ini dan bahkan dapat tertawa setelahnya? Sakti.

"Apaannnnn?!!" marahku yang justru mengudang tawa dari pihak Lian. Sebahagia itu kah anak ini?

"Len, robek loh ntar lemaknya kalo kamu cubit sekuat itu. Kasian tuh Firdut mau nangis!" ucap Lian dengan masih menikmati makan siangnya.

"Makan dulu sono lu yang bener! Jadi ke rumah aku, kan? Please please please! Aku bodok banget metik...." Alena menatap kedua mataku. "....dan di rumahku banyak makanan."

Aku, Alena, dan Lian bersama sama tertawa sedetik setelah Alena menyelesaikan kalimatnya. Entahlah, tidak ada kata sakit hati di kamus hidupku jika berkaitan dengan kedua orang ini. Lian berkali kali bersikap menyebalkan dan Alena selalu saja mendorongku untuk sesekali keluar kandang; namun aku tidak pernah bisa marah pada keduanya.

"Maleman aja yak, Len. Aku ada les gitar dulu. Nanti aku jemput Firdut abis itu baru ke rumahmu."

"Huh?" tanggapku setelah mendengar penjelasan Lian. "Jemput? Naik apa? Kamu kan—"

"Aku bisa naik motor, Dut. Gak pernah dibawa ke sekolah karena sekolah ini gak ngijinin muridnya bawa motor." potongnya, kemudian bangkit dari kursi dengan menggenggam gelas es teh dan menikmatinya lewat sedotan.

"Aku main bola dulu mumpung belum masukan." pamit Lian.

Baru sekitar lima langkah Lian menjauhiku dan Alena, ia menoleh, "Aku jemput jam 8 yak!"

Es batu yang sebelumnya hanya kuemut itu tiba tiba saja tergigit, membuatku sontak meringis ngilu. Yap, this isn't my thing— i mean, gigitin es batu.....ugh, i can't.[]

LEFT UNSAIDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang