Sudah lewat tengah malam dan aku masih terjaga ditemani obrolan beberapa orang perawat yang sedang berdiskusi dengan seorang dokter spesialis penyakit dalam via telepon. Aku menatap tetesan infus yang jatuh sedikit demi sedikit, lantas terbayang sosok Lian yang mungkin sudah tidur di pukul 2 lewat 14 dini hari.
Jemariku menarik ponsel yang sejak tadi kuletakan di sisi kanan tubuhku, lantas mencari kontak Lian dan menelponnya. Aku sebenarnya tidak berharap ia akan mengangkat teleponku pagi ini, karena mungkin ia sudah terlelap akibat kelelahan bermain basket di jam olahraga tadi. Namun sekitar tujuh detik setelah aku menekan tombol call, panggilan tersebut mulai terhubung dan terdengar kalimat "Yo?"
"Halo. Lian? Kok belum tidur? Atau kebangun gara gara aku?" balasku bersamaan dengan Mami yang masuk dalam bilik yang berisikan satu kasur tempatku terbaring.
"Aku lagi nonton bola, Dut. Kenapa? Jangan bilang jam segini laper trus minta temenin McD."
Mami keluar lagi dari bilik ruanganku setelah dipanggil oleh seorang perawat. Aku mencuri dengar percakapan keduanya; mengenai persetujuan rawat inap. "Oy, Dut. Kenapa? Kamu dimana sih? Kok kedengerannya rame banget."
"Umm....Aku di...." Kalimat Diandra mengenai kepedulian Lian padaku kembali terputar dalam pikiranku. Ada perasaan gelisah jika aku mengatakan posisiku sekarang pada Lian; takut jika ia menganggapku bercanda dan melanjutkan kegiatannya menonton bola seakan tak terjadi apa apa padaku. Namun aku lebih takut jika Lian bergegas menuju rumah sakit tempatku dirawat tanpa memikirkan waktu dan kondisi yang sedang hujan malam ini— entahlah, hatiku mulai merasakan sesuatu yang lain sejak cerita Diandra malam itu, dan tindakan Lian setelah ini sepertinya akan memastikan apa yang selama ini kuanggap tidak penting.
"Iya, dimana?" tanya Lian sekali lagi.
"Aku di IGD, Li. Maag lagi." balasku. Lian menanyakan aku berada di rumah sakit apa, sudah berapa lama terbaring di sini, dan bersama siapa. Aku menjawab setiap pertanyaannya dengan cepat karena ia juga menanyakan semuanya secara panik. Lian lantas memutuskan panggilan secara sepihak, tepat sebelum seorang perawat masuk bersama Mami dan Bapak.
"Rawat inap ya, neng." ucap perawat yang berjaga di IGD pagi itu.
"Lagi?" responku yang disambut senyum pasrah disertai anggukan dari perawat yang kuketahui bernama Andin. Suster Andin lantas memberiku gelang pasien, dan mengajak kedua orang tuaku pergi ke luar untuk melengkapi berkas administrasi.
Sebelum aku dipindahkan ke ruangan baru, Lian datang dituntun oleh Bapak. Ia yang saat itu mengenakan kaos putih berlapis jaket hitam langsung menyerbuku dengan "Kenapa lagi sih? Minum kopi lagi? Stop nyakitin diri kamu sendiri lah, Dut." dan kalimat kalimat lainnya yang bermakna sama.
Aku tersenyum selagi mendengarkan ocehan Lian. Benar apa yang dikatakan Diandra, Lian sangat peduli padaku; bahkan hampir menyamai kadar kepedulian orang tuaku sendiri. Detik itu— saat Lian duduk di tepi kasurku dengan amarah yang meledak ledak— aku merasa penting; aku merasa dibutuhkan oleh Lian, karena jika tidak begitu, ia tidak mungkin berada di sini— pada pukul 3 dini hari dengan setelan tidur kebanggaannya hanya untuk menasehatiku.
---
"Tidur dah buruan." tegur Lian saat aku memperhatikannya sedang memainkan ponsel. Iya, Lian masih bersamaku saat aku dipindah ke ruangan. Ia diminta untuk menjagaku sebentar selagi Mami dan Bapak mengambil barang barang yang sekiranya dibutuhkan selama masa rawat inapku.
Lian mengamatiku untuk beberapa saat, lantas kembali menundukkan kepala ke arah layar ponsel. "Bukan salahmu kok, Li." ucapku sangat pelan; bahkan dapat dikategorikan sebagai bisikan alih alih ucapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
LEFT UNSAID
Romantizm"Selamat tinggal." -Firda Shakina Putri "Kita bisa ketemu lagi, gak?" -Lian Semesta