/HADIAH DAN KEBENARAN/

7 0 0
                                    

"What?" tanya Lian ketika menyadari bahwa sedari tadi tatapanku terus mengikuti gerak geriknya; mulai dari menelpon Mami yang diakhiri dengan "Okay, Mami Firda, laf yu.", kemudian menyeruput teh hangat, menikmati kerupuk hingga tersisa setengah, sampai mengetikkan sesuatu pada ponselnya.

Lian menumpu dagunya pada punggung tangan untuk balas menatapku; membuatku akhirnya menurunkan pandangan dan ikut menikmati kerupuk yang ia buka.

Aku dan Lian sekarang berada di Sate Bang Kumis pada 15 menit sebelum tengah malam. Lian mati matian ingin mengajakku makan di sini walaupun sebelumnya kami sudah menikmati ayam lalapan dekat mall tempat kami menikmati film. Ia juga mengatakkan dengan jelas pada Mas Iki untuk tidak mengantarku pulang dan menyuruhku untuk menunggu di rumahnya selagi ia mengantar Diandra pulang— well, tentu saja ia mengatakan keduanya padaku dan Mas Iki tanpa didengar oleh Diandra. Dan setelah memesan sate ayam 20 tusuk tanpa lontong, ia menelpon Mami untuk mengabari aku akan pulang telat hari ini.

"Terus aja tatap aku kayak ada sarang lebah di lubang hidungku!" tegur Lian saat meletakkan ponselnya dekat gelas teh hangat miliknya.

Aku tak tahan untuk tidak tersenyum, "Kalau beneran ada gimana?"

"Ya serem lah, bego!"

Bang Kumis datang pada detik berikutnya untuk meletakkan pesanan kami, lantas pergi setelah mengeluarkan candaan yang berkaitan dengan sepak bola pada Lian.

Aku menarik satu tusuk sate dan menikmatinya— perutku seperti akan meledak dalam beberapa menit ke depan kalau aku terus menikmati hidangan di depanku. Lian merogoh saku celananya setelah menikmati dua tusuk sate tanpa jeda, lantas menyodorkan padaku sebuah kotak kecil berwarna cokelat dengan pita silver di atasnya.

Aku menatap Lian dengan penuh tanda tanya. Bukannya mendapat jawaban, aku justru dilempar senyum super manis khas Lian; tipikal senyum saat ia berhasil melakukan sesuatu yang membuat Ibunya bangga.

"Ulang tahun aku masih tujuh bulan lagi, loh." ucapku yang langsung disambut gelengan oleh Lian. "Ini hadiah dari aku karena berhasil menang lomba jurnalistik untuk kategori individu" jelasnya yang justru membuatku tertawa, maksudku, cara dia menambahkan 'kategori individu' untuk mendampingi kata 'menang' yang ia ucapkan dengan hati hati itu berhasil membuatku lupa mengenai kesalahan fatal yang dilakukan Sella di perlombaan final dua hari lalu.

Aku menerima kotak kecil tersebut dan membukanya tepat di hadapan Lian; mendapatkan sebuah kalung dengan bentuk huruf F berbahan batok kelapa. "Oh my god, this is sooo cool. Kamu tau darimana aku pengen banget kalung batok kelapa kayak gini?"

"Alena, of course. Tadinya aku mau beliin kalung beneran—"

"Don't you dare. Aku gak doyan pake perhiasan gituan." potongku yang direspon anggukan oleh Lian, "I know, makannya aku muterin pasar Kebun Sayur bagian kerajinan tangan buat nyari ginian. Aku udah kayak gasing tau gak; muterin tempat itu berkali kali sampe ibu ibu yang jaga pada bosen ngomong 'cari apa mas, liat liat dulu' hahaha"

Aku menatap Lian selagi ia tertawa, yang justru membuat tawanya reda seketika. "Ngomong kali, Dut. Aku gak tau apa yang ada di pikiran kamu."

"Thank you." ucapku diikuti helaan nafas sebagai awal mula tetesan air mata. "Well, the truth is....aku gak tau mau bilang apa selain terima kasih."

Lian mengambil tangan kiriku untuk dibawa dalam genggamannya. "Jangan lebay, deh, Dut. Itu cuma kalung murah."

"No, i mean..... kamu dan Alena yang masih mau temenan sama aku aja udah jadi hadiah paling mewah buat aku."

LEFT UNSAIDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang