/AYAM LALAPAN DI PIRING PERSAHABATAN/

7 0 0
                                    

Aku dan Lian tidak berhasil menemukan Sate Bang Kumis malam itu. Jadi kami memutuskan untuk berhenti di salah satu warung tenda yang menyediakan ayam goreng lalapan. "Ya ikhlas aja kali, mungkin Bang Kumis pensiun jualan sate, mau nyoba bisnis makanan lain." ucapku setelah turun dari motor dan meletakan helm cokelat kesayanganku di atas jok motor Lian.

"Kalau aku nanti ngidam sate terenak sedunia itu gimana?"

"Gimana ceritanya kamu bisa ngidam?"

Lian pergi ke dekat etalase berisikan ayam setengah matang yang siap digoreng, lantas memesan "Ayamnya dua, yang paha, digoreng kering ya. Minumnya es teh dua." kepada seorang wanita berjilbab pink.

"Jadiiii, gimana rasanya jadi assistant director?" tanya Lian setelah mengambil posisi duduk di hadapanku.

"Yaaa.....ribet. Aku kira aku bakal jadi script writer doang, yang kirim naskah, udah. Ternyata harus bagi beban sama Sir Budi yang orangnya lumayan perfeksionis." balasku sembari membalas pesan dari Alena yang menanyakan perihal celana kotak kotak dengan warna mencolok untuk kostum Pak Guru.

Lian berdeham, memaksaku untuk menaikkan pandangan dari layar ponsel, "By the way, Dut. Aku gak jadi kuliah komputer." seperti yang kita janjikan hari itu di kamar Lian setelah menonton serial TV Black Mirror. "Aku mau ambil manajemen—"

"Ngikut Amel?" potongku sebelum Lian sempat memberi tahuku kampus mana yang menjadi tujuannya.

Lian mengangguk kecil. "Ya, gak masalah, sih. Aku tetep ambil komputer." balasku.

"Kenapa? Kamu bisa aja ngambil sastra, Dut."

"Seenggaknya ada satu dari kita yang nepatin janji itu." balasku kelewat cepat.

Lian menatapku tanpa tahu harus merespon apa. Ia sesekali menunduk dan memainkan jemarinya yang saling bertautan tanda gelisah. "Aku minta maaf, Dut."

"Soal?"

"Amel."

Aku ingin bertanya "Amel yang bagian mana?" karena ada banyak hal berkaitan dengan Amel yang merusak hubungan pertemanan kami. Namun yang kukeluarkan hanya "Aku maafin, kok."

"Aku kira kamu fine fine aja karena....well, hubunganku sama Amel juga kan awalnya dorongan dari kamu." ucap Lian, memaksaku untuk mengangguk karena apa yang terkandung dalam kalimat tersebut benar adanya. Aku yang memaksa Lian untuk cepat meresmikan hubungannya dengan Amel agar tidak ada lagi korban akibat perasaan palsu Lian. Namun mengapa rasanya berat ketika hubungan mereka berjalan dengan baik? Apa akan berbeda ceritanya jika kekasih Lian mengizinkanku untuk tetap berteman dengan Lian tanpa batasan sedikitpun?

"Aku seneng kamu bahagia sama Amel, kok, Li. Serius. Yaa....walaupun cara Amel rada ekstrim dengan misahin kamu sama kehidupan lamamu." termasuk aku, Alena, sepak bola, dan banyak hal lainnya yang Lian tinggalkan untuk dapat masuk dalam lingkaran pertemanan Amel. "Tapi inget ya, Li. Jangan mau disetir sama cinta. Peduli sama jadi budak cinta itu bedanya tipis banget."

"Siap!" balas Lian sebelum pesanan kami datang.[]

LEFT UNSAIDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang