/AMARAH DAN PERPECAHAN/

8 2 0
                                    

Aku menatap dress yang diberikan Bu Dyah di malam sebelum perlombaan. Lantas bangkit ke depan lemari pakaian untuk mencari baju dalam guna menutupi bagian tubuhku yang terlihat akibat potongan pendek lengan dress.

Bu Dyah memang sudah menanyakan apakah di luar sekolah aku mengenakan jilbab atau tidak, dan saat itu— di tengah himpitan deadline dan ulangan semester, hingga tidak memikirkan keputusan memakai jilbab— aku menjawab tidak. Namun dua hari lalu aku sudah mulai membuat satu keputusan besar dalam hidupku; aku tidak ingin merubah gaya rambut lagi— hanya akan memotong sendiri tiap beberapa bulan sekali— dan menutupinya dengan kain hijab. Jadi aku tidak mungkin tampil di depan umum tanpa menggunakan jilbab; tidak setelah Lian menyaksikanku memakainya.

Aku menarik kaos hitam lengan panjang dengan gambar tanda seru di bagian belakang, lantas mengenakan kaos tersebut untuk nantinya ditimpa dengan dress batik yang dibuatkan Bu Dyah untukku.

"Mi, aku besok tampil lomba begini gak apa-apa, kan, ya?" tanyaku ketika Mami sedang mengecek ketersediaan makan burung jenis love bird peliharaannya.

"Yakin? Tapi aneh gitu. Mau make jilbab ya? Tapi ntar gak kelihatan loh hiasan batiknya." ucap Mami selagi meneliti detail dress yang hanya sepanjang betis sembari merapikan kerah motif batik yang belum rapi.

"Jadi? Gak usah pake nih?"

"Ya terserah. Tapi bagusan enggak. Potongan dress nya juga nanggung."

Aku menatap Mami terus menerus tanpa sekalipun melepaskannya ketika ia harus berjalan menuju ruang tamu; aku ingin mendengarnya mengatakan bahwa aku harus memakai jilbab, atau paling tidak membantuku meminjam baju dalaman dengan kain tipis nan elastis kepunyaan salah satu sepupuku yang memang mengenakan hijab dalam kesehariannya. Namun, daripada mengatakan sesuatu yang ku dambakan, Mami justru mengeluarkan "Di kepang aja rambutnya besok. Biar Mami yang kepangin."

---

Bu Dyah duduk di sampingku sejak pembukaan lomba hingga nomor urut 3— yang saat ini berada di atas panggung— membuka presentasinya dengan cerita singkat perihal ibu-ibu yang boros air.

Kali ini Bu Dyah menawarkan jajanan pasar yang terdiri dari getuk dan sosis solo setelah sebelumnya menawarkan air minum, permen, dan banyak lainnya yang kutolak dengan halus. Entahlah, perasaan gugup ketika mengetahui bahwa setelah ini diriku akan naik panggung sudah cukup membuatku kenyang.

"Relax. You got this, Firda. Kamu siswa paling penuh persiapan dari semua murid yang pernah ibu bimbing lomba." ungkap Bu Dyah; sedikit bisa mengikis rasa gugup yang bersarang di perutku.

Sedetik setelahnya, aku melihat seseorang yang familiar masuk lewat pintu B; pintu khusus tamu undangan yang akan duduk di lantai dua. Aku buru buru pergi meninggalkan Bu Dyah untuk mendatangi Lian.

"Hai. Kirain gak datang." sapaku sembari menyentuh pundak kanannya saat ia memunggungiku. Lian menoleh, lantas membuat ekspresi yang seratus delapan puluh derajat berbeda dari saat ia melangkah masuk dalam ruangan ini; "Kamu.....kamu..." Lian mengatur nafasnya entah untuk apa.

"Aku kira kamu bakalan pake kerudung or hijab or jilbab, whatever." nilai Lian setelah menatapku dari kepala hingga kaki.

Aku mencoba tersenyum di depannya walau pikiranku mulai kacau dan dadaku panas— mungkin terjadi ledakan rasa gugup di sana karena sudah mencapai kapasitas maksimum, entahlah. "Yang penting materinya ada dalam kepala, Li."

"Oh jadi gitu arti jilbab buat kamu? Menyumbat materi yang bakal kamu presentasiin?"

"Apaan sih kamu malah marah marah gara gara jilbab?" protesku cukup cepat dengan nada tak kalah sewot dari Lian.

"Aku kira kamu udah bener bener berjilbab tanpa pernah lepas lagi."

"Ini karena dress yang dikasih Bu—"

"Ternyata kamu sama buruknya sama Vania and the gang yang pake jilbab cuma buat main main."

Aku terdiam. Lantas menatapnya dengan tatapan penuh emosi yang juga bertanya tanya mengapa Lian bersikap seperti ini— adakah yang menyakitinya berkaitan dengan jilbab atau memang aku melakukan kesalahan sebesar itu.

"Kamu sadar kalau kamu sekarang bersikap kasar ke aku, kan, Li?"

Lian tidak menjawab dan bahkan mengalihkan tatapannya pada seseorang bernama Nurliya yang berada di atas panggung. Jadilah aku berdiri di hadapannya; cukup dekat untuk mengucapkan "Aku bisa jadi orang baik tanpa identitas hijab sekalipun." dengan penuh penekanan.

Aku kembali ke kursi peserta untuk menyiapkan bahan presentasi, mengangkat maket kampung air yang kubuat bersama Bapakku beberapa minggu lalu. Lantas menunggu di belakang panggung tanpa perasaan gugup sama sekali, melainkan perasaan siap tempur dan ingin menampar Lian dengan kemenangan.

"Nomor urut 4. Firda Shakina Putri." panggil pembawa acara.

Inhale untuk kemenangan lomba ini dan kesuksesan lainnya di dunia tulis, exhale untuk si bangsat Lian di hari ini, batinku.[]

LEFT UNSAIDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang