BAB 10

667 17 3
                                    

“Kakak?” panggil Key dari balik pintu dan yang terlihat hanya kepalanya.

Davin yang sedang disuntik  menyempatkan diri untuk melihat ke arah jam dinding meskipun wajahnya mengisyaratkan sakit. Key pun berjalan masuk. Setelah selesai menyuntikkan obat ke Davin, dokter beserta seorang perawat berjalan ke luar. Kemudian, Key menarik sebuah kursi dan duduk di sebelah Davin.

“Tumben jam segini udah balik?”

“Dosennya berhalangan hadir!” jalas Key, “Mama mana, Kak?”

“Cari makan!”

“Oh!”

 “Key?” panggil Davin pada Key yang mulai menyibukkan diri dengan ponselnya.

“Iya, Kak!” katanya sembari meletakkan ponsel di atas ranjang Davin.

“Kamu tahu, keinginan terbesar Kakak apa?” Key terdiam lalu menggeleng perlahan. “Kakak pengen liat kamu, ada di tengah-tengah Edelweis lagi. Berada di puncak tertinggi bumi. Seperti dulu.”

Key terdiam berusaha mencerna kalimat Davin. Dan akhirnya, “Maksud Kakak, naik gunung lagi?” tanya Key tak yakin.

Davin pun tersenyum membenarkan. Melihat itu, Key mengulurkan tangan menggaruk tengkuknya. Heran juga dengan keinginan Davin itu. Gunung? Kenapa Kakaknya ingin membuat Key berurusan lagi dengan gunung?

“Key…?” panggil Davin yang membuat Key terperangah dan langsung menoleh padanya. “Kamu mau kan, naik gunung?”

Key terdiam sesaat, “Nggak ada yang lain, ya?” Davin menggeleng.

Key kembali terdiam beberapa saat, “Ya udah, gue pikir-pikir dulu, deh! Sekarang, Kakak istirahat. gue mau ngerjain PR dulu!” Davin pun mengangguk dan tersenyum. Setelah itu, Key pun berjalan ke arah sofa dan duduk.

Waktu terus berlalu, tapi tak satu pun PRnya yang tersentuh. Beberapa buku dibiarkan terbuka tanpa terbaca. Pikirannya tengah melayang mempertimbangkan keinginan Kakaknya itu.

****

Sepanjang jam kuliah berlangsung, Key hanya melamun. Memikirkan apa yang Kakaknya inginkan. Naik gunung, naik gunung, naik gunung! Ish…! Key lelah memikirkan itu.  Begitu jam kuliah berakhir, Key langsung melangkahkan kakinya keluar.

“Pak, Pak! Berhenti Pak!” kata Key meminta sopir taksi menghentikan taksi, di depan sebuah toko yang menyediakan semua kebutuhan mendaki. Key terdiam sejenak mengamati toko itu. Setelah itu, dia serahkan satu lembar uang warna biru dan bergerak keluar.

Begitu sudah turun dari taksi, Key tak langsung masuk. Dilihatnya toko itu sekali lagi. Kemudian, dipejamkan matanya sesaat. Ditanyainya dirinya, apa gue beneran mau naik gunung lagi? Saat Key ingin menjawab dengan penyangkalan, kondisi Davin yang terbaring lemah di rumah sakit dengan wajah pucat muncul dihadapannya. Membuatnya yakin, jika dirinya benar-benar setuju untuk naik gunung.

Begitu masuk,  Key langsung disambut deretan sepatu gunung yang beraneka warna dan beraneka ukuran. Kemudian, Key melangkahkan kakinya lebih jauh lagi dan terhenti pada deretan tas camping yang tergantung di dinding. Saat Key sedang melihat satu persatu tas itu, seseorang datang.

“Key?” panggilnya.

Key pun langsung menoleh ke arah orang itu. Seorang pria dengan rambut atas diikat, sisanya dibiarkan terurai tengah berdiri tegap di hadapannya.

“Kak Riko!” gumamnya.

Riko pun tersenyum, menunjukkan deretan giginya yang tertata rapi. Key pun membalas senyuman itu.

“Tumben kamu kesini? Mau cari apa?” tanyanya lembut.

“Em, enggak kok Kak! Aku Cuma mau liat-liat doang! Kalau Kakak?”

“Oh! Aku lagi mau cari tas. Maklum, tas lama udah jebol!” Key pun tersenyum.

Seraya memilih tas yang cocok dengannya, Riko dan Key cakap-cakap ringan. Setelah basa-basi sebentar, Riko bertanya pada Key tentang suatu hal yang ingin diketahuinya sejak lama, “Key, kenapa sih, kamu nggak pernah naik gunung?” tanya Riko yang membuat dahi Key berkerut, “Maksud gue, Davin begitu terobsesi sama gunung, tapi lo sama sekali enggak?”

Key terdiam, tak sepenuhnya setuju dengan pertanyaan itu. Obsesi Davin terhadap gunung tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan obsesi Key. Tapi itu dulu. Dulu… sekali! Sebelum akhirnya, suatu hal membuat Key memutuskan untuk melupakan hal apapun yang berbau gunung.

Melihat keterdiaman itu Riko tersenyum, berharap bisa mencairkan suasana tegang itu. Kemudian, diputuskannya untuk menceritakan hal menarik tentang gunung. Mungkin saja, setelah mendengar itu, Key akan tertarik pada alam yang disimbolkan dengan segitiga itu.

Ceritanya dimulai dari ujung barat nusantara sampai ujung timur. Dari Rinjani sampai Cartenz. Yang masih aktif atau sudah mati. Lengkap dengan tempat-tempat menarik yang dimilikinya. Rinjani dengan Danau Segara Anak, Gunung Gede dengan Surya Kencana, Semeru dengan Ranu kumbolo, Gunung Prau dengan bukit teletubies, dan masih banyak lagi. Semua itu sudah sering Key dengar, dan diantaranya sudah pernah dia sambangi.

Biasanya, tak peduli siapa orangnya. Setiap kali dengar cerita tentang itu lagi, tanpa berpikir dua kali, Key langsung pergi. Tapi kini semua berbeda. Untuk bisa memenuhi keinginan terbesar Kakaknya, Key harus bisa membuka diri untuk yang namanya gunung lagi. Jadi untuk itu Key mati-matian bertahan, melawan keinginannya untuk pergi dari sana.

Dan dari situlah, Key merasa yakin, jika Riko adalah orang yang tepat. Yang akan dimintainya bantuan dalam mewujudkan keinginan Kakaknya itu.

Melihat Key yang termenung, Riko pun berhenti bercerita. Ditatapnya Key dalam-dalam. “Ada apa?” tanyanya setelah yakin, jika Key memang termenung.

“Eh,” Key terperangah lalu menggeleng.

“Yakin?” tanya Riko masih tak percaya. Key pun mengangguk, meyakinkan. Setelah terdiam beberapa saat, Riko pun yakin jika Key memang baik-baik saja. Kemudian, kembali dilanjutkan ceritanya.

Begitu Riko selesai, Key pun langsung mengajukan pertanyaan. Tanda rencana mulai dijalankan. “Apa gunung memang semenarik itu?”

Key berharap jika pertanyaannya itu tepat, sesuai dengan apa yang baru saja Riko jelaskan. Dengan begitu, Riko tak akan curiga kalau Key tengah memanfaatkannya. Juga, agar Riko tak tahu, kalo Key sama sekali tak memperhatikannya meskipun ekspresi serius menghiasi wajahnya.

“Iyalah!” jawab Riko telak. Fix! Semua berjalan sesuai rencana. Justru lebih dari perkiraan sebelumnya. Karena, “Kalo kamu nggak percaya, kamu buktiin aja. Dalam waktu dekat, Kakak sama anak Mapala mau ke TNGGP. Kemarin kita udah booking untuk delapan orang. Tapi Zul nggak jadi ikut. Jadi kalo kamu ikut, kamu bisa gantiin dia. Sekalian, temen buat Citra.”

Key hampir saja melompat kegirangan mendengar ajakan itu. Tapi setelah ingat ‘sama anak Mapala’ Key jadi ingat Adit. Adit kan anak Mapala juga. Dia yang saat ini jadi ketuanya. Apa mungkin, Adit akan menyetujui ide itu. Mengingat, perseteruan antara mereka masih berlanjut.

“Kamu mikirin Adit, ya?” celetuk Riko. Key yang menunduk pun, langsung mendongak lalu mengangguk. Riko kemudian tersenyum. “Tenang, nanti Kakak bantuin ngomong sama dia.”

****

 

The Climbing Love (Republish)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang