"Seriusan, Dok?" tanya Key tak percaya.
Perlahan dokter itu mengangguk. Membuat air mata Key tak terbendung lagi. Harapan sebuah penyangkalan untuk pertanyaannya tadi sirna sudah. Tubuhnya menjadi lemas. Bahkan, untuk berdiri saja, dia harus berpegangan kuat pada kursi. Dengan langkah limbung, Key bergerak ke arah pintu keluar.
Untuk bisa kembali ke tempat kakaknya dirawat, Key harus berjalan merayap pada dinding. Kedua kakinya bergetar, seakan-akan tak mampu menahan berat tubuhnya. Sampai akhirnya, dia tak mampu lagi berjalan dan bersimpuh di lantai.
Kepalanya tertunduk dalam-dalam. Butiran air mata semakin deras terjatuh. Kenyataan itu, membelenggu dirinya. Menciptakan rasa sesak yang memenuhi dadanya.
"Key...? Key...?" Berulang kali Ratna memanggil anak bungsunya itu dengan mengguncang lengannya.Sayangnya, tindakkan Ratna tak membuahkan apa-apa. Key terus saja menangis dengan tertunduk. Bahkan tubuhnya sampai terguncang karena terisak, membuat Ratna semakin khawatir. Ratna pun menoleh ke arah suaminya. Irfan tahu apa maksud istrinya dan segera membungkuk, menarik anaknya yang terkulai lemas itu sampai berdiri.
"Mama, Kakak!" hanya kata itu yang kadang terdengar di sela isak tangis Key.
Ratna dan Irfan tak mengerti apa maksud Key itu. Entah apa yang terjadi pada putranya sampai membuat putrinya seperti ini.
"Maaf!"
Irfan dan Ratna yang ingin membawa Key pergi, langsung menoleh ke belakang. Seorang dokter muda berdiri di sana.
"Iya!" sahut Ratna yang memegangi lengan Key.
"Apa Bapak sama Ibu ini, orang tua Davin?"
Irfan dan Ratna pun saling pandang sesaat, "Iya Dok! Kami orang tua Davin!" jawab Irfan masih memegangi Key.
Dokter muda itu, mengulurkan tangannya pada mereka, "Saya dr. Ilham. Saya yang menangani anak Ibu dan Bapak."
"Oh!" Dengan sedikit kesusahan, Irfan menjabat uluran tangan.
"Gimana kondisi anak saya, Dok?" tanya Ratna cemas.
Dr. Ilham tak langsung menjawab. Dilihatnya dua orang itu bergantian. "Bisa ikut saya?" katanya kemudian.
Lagi-lagi Ratna dan Irfan saling pandang sebelum akhirnya mengangguk. Dibawanya Key ke kursi tunggu tak jauh dari mereka. Didudukkannya gadis itu di sana, baru kemudian mereka berjalan mengikuti dr. Ilham ke ruangannya.
Seteleh mempersilahkan duduk dan basa-basi sebentar, dr. Ilham mengatakan apa yang terjadi pada Davin saat ini.
"Kanker otak Davin, masuk stadium 3."
Untuk yang kedua kalinya, dr. Ilham melihat pemandangan yang sama. Sama seperti Key, orang tua Davin juga langsung syok mendengar itu. Bahkan, Ratna sempat pingsan.
Dr. Ilham bisa paham dengan itu. Dia sendiri juga sedih dengan kondisi Davin sekarang.
Tapi bagi keluarga Davin, ini lebih dari sekedar menyedihkan. Ini juga mengejutkan. Bagaiamana tidak, mereka tidak pernah tahu jika Davin mengidap kanker. Selama ini, Davin tak pernah mengatakan apa pun. Baik ke adiknya mau pun orang tuanya. Dan sekarang, begitu mereka tahu semuanya, mereka sudah sedikit terlambat.
****
Hari demi hari terus terlewati. Tak terasa sudah satu minggu Davin dirawat di rumah sakit. Ratna dan Irfan sudah mulai bisa menerima semuanya. Mereka sadar, tak baik lama-lama larut dalam kesedihan. Mereka harus bangkit. Merawat Davin dan terus mengusahakan kesembuhan untuknya.
Berbeda dengan orang tuanya, Key masih belum bisa menerima itu. Dia masih terlalu kecewa atas semua yang terjadi. Sejak Davin sadar, Key sama sekali belum menemuinya. Membuat Davin sedih dan mengira jika Key masih belum memaafkannya atas kejadian kemarin.
Dengan kepala tertunduk, Key menyusuri koridor kampusnya. Tak seperti biasanya, Key selalu mengikat satu rambutnya, hari ini dia membiarkan rambut panjangnya terurai. Menutupi wajahnya yang sedih tiap kali tertiup angin.
"Key?" panggil Riko dari dalam ruang Mapala.
Key pun berhenti. Ditolehnya Riko yang berjalan mendekat sesaat.
"Ada apa?" tanya Key datar.
"Gimana kondisi, Davin?"
"Mana gue tahu!" jawab Key cuek. Sukses Membuat Riko tertegun dan membuat Adit yang duduk di atas meja angkat bicara.
"Hoe...?! Adik macam apa lo...,"
"BUKUN URUSAN LO?!" potong Key dengan nada tinggi. Ditatapnya dua orang dengan sorot penuh amarah. Setelah itu, Key pun pergi. Dia tak ingin emosinya meledak di sana dan menarik perhatian seluruh penghuni kampus.
****
Sementara itu, di rumah sakit Ratna terus meminta Davin untuk tidur. Berulang kali, Davin mencoba memejamkan matanya. Tapi satu menit kemudian dia bangun. Pikirannya terus saja melayang mencari keberadaan adiknya dan sama sekali tak mau diajak istirahat. Setelah sepuluh kali mencoba tapi terus gagal, Davin menyerah.
"Ma, dimana Key?"
Entah sudah berapa kali pertanyaan yang serupa terulang. Yang Ratna ingat, hari ini sudah lebih dari lima kali Davin menanyakan hal itu padanya. Ada rasa sakit sendiri di hati tiap kali Davin menanyakan keberadaan adiknya itu. Yang lebih membuatnya heran, kenapa Key sama sekali tak pernah mau datang menemui kakaknya.
Perdebatan selalu tak terelakkan tiap kali dirinya meminta Key menemui kakaknya. Tapi kali ini hal itu tak ingin dia ulang. Dia harus bisa membawa Key ke rumah sakit bagaimanapun caranya.
Begitu sampai di rumah, langsung diarahkan kakinya menuju kamar Key. Sayang, tak ada siapa-siapa di sana.
Apa Key belum pulang?
Dilihatnya lebih jeli kamar itu. Tas Key yang selalu dipakai ke kampus tergeletak di lantai. Itu berarti dia sudah pulang. Tapi kemana dia? Ratna pun masuk ke dalam kamar putrinya itu. Di pungutnya tas itu lalu diletakkan ke atas meja belajar.
"Key...? Key...?" Tak ada sahutan. Diarahkannya kakinya ke arah kamar mandi, tak ada siapa-siapa di sana. Kemudian dia pergi ke balkon. Tapi tetap saja dia tak ada di sana. Saat Ratna hendak kembali masuk ke dalam, dia berhenti.
Dia melihat, anaknya duduk di kursi taman dengan tangan saling bertaut, melingkari kakinya yang dinaikkan di atas kursi. Ratna tahu ada hal yang saat ini tengah Key pikirkan. Key terlihat begitu kusut dengan pandangan kosong.
Tanpa menunggu lagi, Ratna langsung melangkahkan kakinya ke taman. Begitu sampai, diulurkan tangannya mengelus kepala Key. Seketika, Key tersadar dari lamunannya. Segera digerakkan kepalanya menoleh ke belakang. "Mama!" gumamnya.
Ratna hanya tersenyum, kemudian mencium lembut puncak kepala Key. "Udah makan?" tanyanya lembut. Key menggeleng. "Kalo gitu, ikut Mama yuk?" ajaknya dengan suara tercekat menahan tangis.
"Kemana?"
"Kita cari makan." Key menggeleng. "Kenapa?"
"Key nggak laper, Ma!"
"Jangan tambah beban Mama, Sayang!" Mendengar itu, Key langsung mendongak. Menatap Mamanya yang sekarang menangis. "Cukup Kak Davin yang sakit. Kamu jangan!"
Melihat Mamanya menangis, Key juga ikutan menangis lalu memeluk Mamanya. Dia tahu betul, Mamanya sama saja seperti dirinya. Dibalik sikap tegarnya, Mama sebenarnya rapuh.
Setelah selesai makan, Ratna meminta Key menemui Davin. Seperti kemarin-kemarin, Key selalu menolaknya. Ratna tahu hal itu akan terjadi. Seperti rencana awal, kali ini tak ada lagi perdebatan. Kemudian, Ratna meraih tangan Key. Di genggamnya lembut tangan putrinya itu.
"Mama mohon Key, temui Kak Davin. Anggap ini jadi permintaan terakhir Mama," ucap Ratna dengan berkaca-kaca.
Rupanya, tindakkan Ratna menancap tepat di titik lemah anaknya itu. Membuat Key tak bisa menolak meski dia ingin.
****

KAMU SEDANG MEMBACA
The Climbing Love (Republish)
Romance#1 dalam Gunung [06-08-2019] #2 dalam Persaudaraan [06-08-2019] Key, gadis cantik yang cuek soal penampilan itu tak bisa tidur karena dia dan orang tuanya akan meninggalkan Surabaya. Kota tempat tinggalnya sejak lima tahun terakhir. Kembali ke Jaka...