Tanpa perundingan, tanpa kesepakatan. Key dan Adit berjalan dengan tangan saling berpegangan. Tak ada sedikit pun keinginan untuk saling melepaskan. Bibir mereka juga sama-sama bungkam. Hanya bergerak sesekali, saat menghela nafas panjang dan mengeluarkannya perlahan dari mulut.
Sepanjang jalur yang mereka lalui, mereka tak berpapasan dengan seorang pendaki pun. Mungkin karena jalurnya yang sulit, mereka memilih berangkat pagi. Setidaknya itu yang Adit simpulkan. Tapi berbanding terbalik dengan apa yang Key saksikan.
Saat Adit sibuk menyimpulkan hal tersebut, tiba-tiba saja Key menariknya untuk minggir. Adit yang terkejut tentu saja bergerak menepi mengikuti tarikan tangan Key. Meski akhirnya dahinya pun mengernyit heran. “Kenapa?” tanya Adit kemudian.
Key tak langsung menjawab. Hanya menoleh sesaat, menggeleng pelan, dan kemudian berpaling. Diarahkan pandangannya pada dua orang pendaki yang turun itu. Dua pendaki dengan tas super besar di punggung, dan senter kepala yang mulai meredup. Anehnya, hal itu tak menghalangi langkah mereka. Seakan, mereka bisa berjalan meski kedua matanya terpejam. Ya, mungkin saja mereka sudah hafal dengan medan ini. Tapi…
Key enggan meladeni opini-opini yang berjejal di otaknya. Dia lebih memilih menyapa mereka dari pada terus bergelut dengan hal yang bisa membuatnya gila. Selain itu, mereka juga semakin dekat. Tak ada salahnya bukan, jika sesama pendaki saling menyapa satu sama lain. Kali saja, mereka bisa jadi teman. Atau juga, salah satu dari mereka adalah jodoh yang Tuhan kirimkan.
Memikirkan hal itu membuat Key tanpa sadar senyum-senyum sendiri. Ingin rasanya dia teriak histeris. Tapi cepat-cepat dia sadar. Di mana dia sekarang dan dengan siapa dia di sini.
Sementara Adit mulai di serang rasa was-was melihat Key senyum-senyum sendiri. Berulang kali tangannya melambai di depan Key, tapi sama sekali tak ada respon dari gadis itu.
“Key? Key? Key?!” panggilnya berulang kali tapi sama sekali tak ada tanggapan dari yang bersangkutan.
Key justru mengangkat tangannya, melambaikan sebentar, dan menyapa, “Hai…!” pada kegelapan malam.
Adit gelagapan menghadapi situasi tersebut. Sebisanya dia menyadarkan Key dari ilusi yang menyeruak di alam bawah sadarnya. Dengan kedua tangannya, Adit mengguncang tubuh Key kuat-kuat. Tapi hal itu tak membuahkan apapun. Key masih terbuai dengan ilusi yang menguasai. Bahkan, fokus matanya teralihkan oleh suatu hal yang tak kasat mata. Adit bisa tahu hal itu karena Key memaksakan diri untuk menoleh ke belakang. Padahal kemampuan lehernya menoleh sudah maksimal.
Key masih saja menatap dua pendaki itu. Sekalipun mereka sudah melewatinya. Tak peduli apa saja yang bisa terjadi padanya karena terus saja memaksakan menoleh, meski pun dia sadar, dia tak bisa lagi menoleh. Sampai kemudian dia merasakan kepalanya seperti terhimpit. Semakin lama semakin kuat dan kuat, lalu…
“Aaa…‼” Key berteriak sekerasnya.
Teriakan Key membuat Adit semakin kuat memegangi kedua pipi Key. Sampai akhirnya dia merasa tulang keringnya ditendang sedemikian kerasnya. Hingga dia tak mampu lagi menahan sakitnya dan otomatis pegangannya pada kedua pipi Key terlepas.
“Aw…‼” rintihnya seraya memegangi tulang keringnya.
“Rasain lo!” seru Key seraya memegangi pipinya yang sakit.
Seketika Adit berhenti mengerang, mendongak sesaat, kemudian menegakkan tubuhnya.
“Lo udah sadar?” tanya Adit yang justru disambut kernyitan di dahi Key. Bibir Adit tersenyum lebar dan tanpa basa-basi langsung mendekap tubuh Key erat. “Jangan bikin gue takut lagi!” bisik Adit yang entah terdengar oleh Key atau tidak karena saking pelannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Climbing Love (Republish)
Storie d'amore#1 dalam Gunung [06-08-2019] #2 dalam Persaudaraan [06-08-2019] Key, gadis cantik yang cuek soal penampilan itu tak bisa tidur karena dia dan orang tuanya akan meninggalkan Surabaya. Kota tempat tinggalnya sejak lima tahun terakhir. Kembali ke Jaka...