BAB 15

678 21 3
                                    

Pagi-pagi sekali, sebelum berangkat mendaki, Key menyempatkan diri untuk mampir ke rumah sakit. Menengok Davin yang terbaring lemah di atas ranjang. Dengan sangat perlahan, Key mendekat ke tempat itu. Bukan karena takut kakaknya terbangun. Melainkan karena kegusaran yang timbul di hatinya. Kembali perasaan sedih berbaur takut menguasai dirinya. Terlebih, melihat alat-alat medis yang semakin banyak saja melekat di tubuh kakaknya.

Beberapa langkah sebelum sampai di samping ranjang, Key berhenti. Berusaha menenangkan dirinya. Bagaimana pun caranya.

Dua belas, tiga belas, empat belas..., dalam diam, Key menghitung buku jarinya sesuai dengan detik jarum jam. Dan setelah merasa dirinya siap, kegusarannya berkurang, dia kembali berjalan lalu berdiri di samping ranjang. Davin masih belum sadar. Sepasang mata dan bibir pucatnya tertutup rapat.

Kemudian Key mendongak. Berusaha meredam tangis yang hampir meledak. Pertahanan yang tadi dia bangun dalam waktu belasan detik rupanya sama sekali tak berguna. Karena tak sampai satu menit, kegusaran itu kembali. Hatinya gamang. Haruskah dia pergi disaat kondisi Davin seperti sekarang. Tapi, jika tak pergi sekarang, kapan dia bisa mewujudkan keinginan terbesar kakaknya itu.

Key mundur beberapa langkah hingga tubuhnya menyentuh dinding. Tangisnya pecah tanpa suara. Hanya air mata yang meleleh di pipinya karena kedua tangannya membungkam bibirnya.

Setelah beberapa saat, Key menegakkan tubuhnya lalu mengusap air matanya. Kembali dia dekati kakaknya lalu membungkuk. “Key berangkat, Kak!” bisiknya lalu mencium lembut kening Davin cukup lama.

Setelah itu, Key bergerak menjauh dari kakaknya, dan hilang di balik pintu. Dihampiri Ratna yang duduk di ruang tunggu bersama papanya.

“Kamu yakin, mau berangkat sekarang?” tanya Ratna begitu Key sampai di hadapannya.

Key terdiam tak langsung menjawab. Diam-diam dia hela nafas panjang, kemudian perlahan mengangguk. Mengiyakan pertanyaan mamanya itu.

Ratna pun bisa menerima keputusan anaknya itu. Meski sebenarnya dia merasa berat harus membiarkan putrinya naik gunung lagi.

Setelah pamitan dengan orang tuanya, Key pun bergegas ke tempat yang kemarin sudah disepakati tim.

****

Semua sudah berkumpul di tempat yang kemarin sudah disepakati. Kecuali Key yang memang masih dalam perjalanan. Sebelum teman-temannya masuk ke dalam bus, Adit sebagai ketua tim sementara, menggantikan Davin yang sakit, meminta semua rombongan berkumpul dulu karena ada hal yang harus dia sampaikan.

“Ok. Seperti yang kita rencanakan sebelumnya, hari ini kita mendaki ke TNGGP untuk yang keempat kalinya. Sebelumnya, kita sudah mendaki melalui jalur Cibodas dan Gunung Putri. Jadi, sekarang kita ambil jalur yang beda. Kita ambil jalur Selabintana. Karena jaraknya cukup jauh dan jalurnya lebih sulit dari yang sebelumnya, jadi kita tidak akan mendaki hari ini juga. Kita akan bermalam di sana dan akan mulai mendaki besok. Apa ada yang ditanyakan?”

“Tidak!” jawab mereka serempak.

“Sekarang kalian boleh masuk!” ujar Adit.

Dan satu persatu dari mereka pun bergerak masuk. Hingga tiba giliran Riko. Tepat di tangga pertama dia berhenti. Heran melihat Adit masih berada di posisinya sebelumnya, bersandar di badan bus. “Dit, lo nggak masuk?” tanya Riko.

“Lo duluan aja, gue masih nunggu yang belum datang.” Riko pun mengangguk mengerti lalu masuk ke dalam bus.

15 menit kemudian, mobil yang membawa Key datang. Key pun segera turun, begitu juga sopirnya karena harus mengeluarkan ransel Key dari dalam bagasi. Dengan kedua mata ditajamkan, Adit melihat Key yang berjalan ke arah bagasi. Matanya sembab, dan kantung matanya menghitam. Adit yakin jika semalam Key tak tidur dan baru saja menangis. Segera dia hampiri Key. Diambilnya ransel yang akan Key angkat.

The Climbing Love (Republish)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang