Dengan kedua mata terarah pada hamparan air yang berkilau, Key termenung. Tangannya yang terluka dibiarkan terbuka tanpa terobati. Angannya melayang memikirkan sikap Adit padanya. Diakuinya, memang sangat sulit sekali meyakinkan cowok itu agar menyetujui keinginannya.
Meski dia mengatakan akan tetap ikut tanpa persetujuan Adit. Tapi sebenarnya Key tak benar-benar bisa dan tak ingin melakukannya. Itu hanya sebuah gertakan. Berharap, setelah mendengarnya, Adit akan menyerah dan memberinya ijin. Tak lebih.
Pasalnya, ini pertama kalinya Key akan kembali naik gunung setelah vakum beberapa tahun. Pergi mendaki sendirian terlalu beresiko. Key tak yakin, jika dirinya masih setangguh dulu.
Dulu, sesulit apapun medannya, Key bisa menaklukannya tanpa terkendala. Karena memang sudah terbiasa. Tapi, setelah bertahan-tahun vakum, masihkah semuanya akan sama?
"Argh…!" Key mengerang kesal. Diedarkan pandangannya ke atas. Awan hitam bergelantung di langit menandakan hujan akan segera turun.
Key pun menelonjorkan kakinya. Menyandarkan punggung dan menengadahkan kepalanya. Siap menerima guyuran hujan yang mulai berjatuhan. Tak sampai 5 menit, Key basah kuyup. Rasa dingin sudah pasti menjalar di seluruh tubuhnya. Sayangnya, hal itu tak lantas membuat otak Key berhenti memikirkan Adit. Padahal, Key sangat menginginkannya.
"Ck!" Key berdecak kesal. Dia pun menggerakkan tubuhnya yang menggigil menuduk dalam-dalam. Tangannya saling memeluk. Menggosok lengan untuk menciptakan sedikit rasa hangat. Anehnya, meski sudah kedinginan dan dingin itu sama sekali tak mengalihkan pikirannya, tapi enggan untuk Key berteduh. Entah pikiran apa lagi yang sekarang hinggap dalam otaknya. Atau mungkin, ini bentuk protesnya terhadap Adit?
Hingga akhirnya, Adit datang. Menyelimutkan jaketnya pada Key.
Key pun mendongak. Tampak jelas warna merah di sepasang matanya. Entah disebabkan oleh apa. Mungkin karena kemasukan air hujan atau bisa juga diam-diam menangis.
"Kenapa hujan-hujanan?" tanya Adit, "Kayak anak kecil aja!" lanjutnya bergeming.
Key terdiam sesaat, "Lo Sendiri?" tanya Key balik, "Kenapa lo juga ikut hujan-hujanan?"
Adit terdiam, menatapnya dalam-dalam. “Mau sampai kapan, lo duduk di sini?” tanyanya kemudian.
Kembali Key tak langsung menjawab. Ditatapnya sepasang mata itu lekat-lekat. Ada sesuatu yang tak dimengertinya. Mungkinkah, ini bentuk kepedulian Adit padanya? Benarkah? Ah, tapi sepertinya itu tak mungkin.
Adit pun tersenyum, kemudian mengambil duduk di samping Key. Masih dengan tersenyum, Adit melambaikan tangannya di depan wajah Key. “Hei!” ucapnya membuyarkan lamunan Key.
Key hanya diam tak menjawab, lalu menangis.
Meski tak bersuara, dan meski air matanya begitu keluar langsung berbaur dengan air hujan, Adit tahu betul jika gadis itu sedang menangis.
"Kok nangis?"
“Kenapa sulit sekali, yakinin lo?” tanya Key dengan suara parau.
Adit terdiam. Ditatapnya lagi, gadis itu semakin dalam. Tak disangkanya, gadis yang kemarin mampu membuat rahangnya lebam, punya sisi rapuh juga.
"Ternyata lo bisa nangis juga, ya?" kelakar Adit.
Key tak menanggapi. Adit tak masalah soal itu. Karena dia sendiri juga sadar, kelakarnya sama sekali tak lucu. Jadi, wajarlah, kalo Key bersikap demikian.
“Ini terlalu mendadak, Key!” ucapnya setelah menghela nafas panjang.
“Gue tahu,” Key menelan ludah. “Tapi gue bisa apa? Kalo aja bisa, gue nggak ingin ada di situasi seperti sekarang. Nangis-nangis di depan lo biar dikasih ijin. Berurusan dengan gunung..., gue nggak ingin lagi!” mereka terdiam. “Gue mohon. Kasih gue satu kesempatan!”

KAMU SEDANG MEMBACA
The Climbing Love (Republish)
Romance#1 dalam Gunung [06-08-2019] #2 dalam Persaudaraan [06-08-2019] Key, gadis cantik yang cuek soal penampilan itu tak bisa tidur karena dia dan orang tuanya akan meninggalkan Surabaya. Kota tempat tinggalnya sejak lima tahun terakhir. Kembali ke Jaka...