Bab 25

116 4 0
                                    

Riko membeku saat melihat bibir Adit mengecup lembut kening Key. Kejadiannya memang tak berlangsung lama, tapi efeknya...?

Riko berusaha mengenyahkan peristiwa itu. Tapi semakin dia berusaha, semakin terpatri ingatan itu dalam otaknya. Dia kesal. Tapi kesal pada siapa? Pada Adit yang telah memanfaatkan kelengahan Key? Atau pada Key yang hanya diam dapat perlakuan itu?

Riko menggeram. Tangannya mengepal. Dia ingin marah, tapi marah untuk alasan apa? Toh, dia juga bukan apa-apanya Key. Setelah beberapa saat bertahan di sana dan tak memberikan perbedaan apapun pada dirinya, Riko memilih pergi. Mungkin itu jauh lebih baik. Bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk Key yang masih termangu di tempatnya.

Riko mencari tempat teduh untuk menenangkan diri. Beberapa kali bibirnya mengumpat. Berharap amarahnya lebur.

Setelah dapat, Riko menurunkan tasnya lalu dia berbaring dan termenung. Berusaha mencari tahu apa yang salah dengan dirinya.

Kenapa pikirannya kali ini sangat kacau. Benar-benar kacau. Riko menghela napasnya dalam-dalam. Matanya bergerak menatap langit biru. Dia sadar, memikirkan ini tak ubahnya mengurai benang kusut. Butuh proses lama dan kesabaran yang lebih.

Lalu Riko menoleh. Tak jauh dari tempatnya, bunga edelweis mekar. Dia menghela napas. Bertanya dalam pikirannya. Apa gue beneran jatuh cinta sama Key? Karena sebab itulah, setelah termenung beberapa saat, dia melenggang pergi.

*

Kebekuan Key perlahan mulai mencair. Semu merah di pipinya perlahan mulai hilang. Key menatap punggung yang makin menjauh. Yang beberapa saat lalu membuat seluruh tubuhnya kian kaku.

Key menghela napas dalam-dalam. Lalu berbaring di atas rerumputan dengan ransel sebagai bantal.

Adit! pikirnya. Entah ada apa dengan orang itu. Kadang memberikan warna dalam hidupnya, kadang juga membuat naik emosinya. Kadang tingkahnya menggemaskan, kadang juga minta ampun. Memikirkan itu semua kadang membuat senyum di bibirnya mengembang tanpa sadar.

Kemudian Key menoleh ke samping. Kilasan tentang wajah kakaknya yang pucat muncul. Melenyapkan senyumnya hingga tak bersisa. Kini kegelisahan yang lebih mendominasi.

Gimana keadaan Kak Davin sekarang? batinnya. Kakak, Key udah ada di tengah-tengah edelweis lagi. Key harap, Kakak lekas sembuh. Sehat seperti sedia kala.

"Key!" Perlahan Key membuka matanya yang sempat tertutup.

"Kak Riko," gumam Key seraya bergerak duduk.

Riko pun tersenyum, "Kakak ganggu?" tanyanya lembut.

Key menggeleng.

Kembali Riko tersenyum lalu duduk di sebelah Key. "Ada yang lagi kamu pikirin?" tanyanya kemudian.

Key menarik napasnya dalam-dalam, "Kak Davin," gumamnya kemudian.

Riko pun tersenyum, berusaha menenangkan. "Jangan sedih, semua pasti akan baik-baik aja!"

Key menoleh menatap Riko dalam-dalam.

"Kenapa?" tanya Riko.

"Makasih ya, Kak!"

"Buat?"

"Semuanya. Kalau bukan karena bantuan Kakak, mungkin sekarang aku nggak akan ada di sini."

"Serius?"

Key mengangguk cepat.

Riko terkekeh, "Kamu terlalu berlebihan."

"Enggak, kok."

"Yakin?"

"Kok pertanyaan Kak Riko aneh? Kan kita sama-sama tahu, kalo aku bisa kesini karena bantuan Kak Riko."

"Semua juga tahu, kalo kamu ke sini tuh jalan sendiri, bukan karena Kakak."

Key terdiam sejenak, berusaha mencerna kalimat Riko, "Iiih, Kak Riko!" sebalnya setelah mengerti maksud Riko.

"Hahaha...!"

"Maksud aku bukan itu. Bukan masalah jalannya, tapi prosesnya dapat izin buat sampai sini!"

"Iya, iya. Kakak ngerti. Abis dari tadi kamu serius mulu, makanya Kakak plesetin!"

"Kak Riko ngeselin!"

"Ya udah, kalo gitu kita ganti topik aja. Gimana?"

"Emm, oke! Tapi apa?"

"Em, kamu tahu nggak, mitos di balik bunga edelweis ini?"

"Yang aku tahu sih, edelweis itu bunga abadi karena meskipun dipetik, bunganya nggak akan layu. Padahal mah, yang tetep mekar itu bukan bunganya. Tapi kelopaknya!"

Riko tersenyum, "Orang bilang, kalo kasih bunga ini ke pasangannya, cinta mereka akan abadi," ucapnya seraya menatap kagum bunga di depannya.

"Kakak percaya?"

"Ya enggak lah. Percaya sama edelweis, jadi musyrik Kakak!" jawabnya seraya tertawa.

"Iiih..., Kak Riko nyebelin!"

"Hahaha..., kalo percaya kenapa emangnya?"

"Ya kalo percaya, kenapa Kakak nggak petik satu buat pacar Kakak?"

"Emang pacar Kakak siapa?"

Key mengangkat bahunya tak tahu.

"Setelah putus dua bulan lalu, Kakak belum punya pacar lagi. Lagian kan, nggak semua cewek percaya mitos begituan. Kalo menurut Kakak sih, kebanyakan cewek sekarang itu lebih suka bunga bank daripada bunga ginian."

"Enggak juga!"

"Emang kamu enggak?"

Key menoleh lalu tersenyum, "Aku lebih suka bunga edelweis daripada bunga bank. Memang sih, bunga bank lebih menjanjikan. Tapi edelweis, justru memberi banyak pelajaran."

"Sikap edelweis yang mampu bertahan hidup di tempat gersang, minim air dan zat hara, bikin aku salut. Dia nggak pernah ngeluh. Gimanapun keadaannya, dia tetap berusaha memberikan penampilannya yang terbaik. Yang bisa jadi obat penawar untuk rasa lelah setelah melakukan  perjalanan panjang dan berat."

Riko menatap takjub. Tak menyangka jika Key bisa mengambil banyak pelajaran dari edelweis. Bunga endemik yang saat ini mulai terancam punah.

"Kamu suka edelweis?" tanya Riko meyakinkan.

Key mengangguk.

Lalu Riko bangkit dan jalan mendekat ke salah satu edelweis.

"Kak Riko ngapain?" tanya Key karena tak bisa melihat aktivitas Riko.

Riko tak menjawab dan terus sibuk mencari edelweis yang sudah kering dan tua.

"Give me time and I'll give you edelweis."

"Ha?!"

Riko hanya tersenyum lalu mengacak rambut Key pelan. "Eh, itu Citra dan yang lainnya udah datang," ujarnya setelah tanpa sengaja melihat keberadaan mereka.

Key menoleh ke tempat yang Riko maksud, tapi kemudian segera berpaling, karena Adit ada di antara mereka.

*

The Climbing Love (Republish)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang