1 | Reno Hampir Mati

397 34 2
                                    

G E M A | Reno Hampir Mati

(Part 1)

■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■

Latar belakang terwujudnya cerita ini berawal dari candaanku bersama teman-teman semasa SMA. Waktu itu sebenarnya belum ada niat sama sekali untuk mencoba membuat satu cerita yang di dalamnya mengisahkan bagaimana tokoh utama bertahan hidup dari penyakitnya.

Lalu aku berfikir, kenapa aku tidak mencobanya. Dan jadilah GEMA ini.

Sebenarnya cerita ini sudah ku awali sejak 2017 lalu. Namun banyak sekali halangan muncul sehingga menghambatku melanjutkan cerita ini lagi.

Tahun 2020 ini perlahan aku mulai membenahinya kembali. Karna kupikir aku harus belajar menyelesaikan sesuatu yang sudah aku mulai.

Sekaligus aku mau mengucapkan terimakasih untuk teman-temanku semasa SMA yang sudah jadi pembaca pertama cerita ini waktu itu. Hingga sampai perasaan malas itu muncul. Hahaha. Ya begitulah manusia.

Tidak ada perubahan yang signifikan sebenarnya dari cerita ini. Hanya saja mungkin ada beberapa bagian yang aku hapus tapi ada yang masih tetap aku pertahankan.

Di sini kalian akan mengetahui tentang kisah Keysa yang berusaha memadamkan perasaan cinta yang dia pendam sejak lama pada sahabatnya, Reno. Hingga sampai Reno tau bagaimana perasaan Keysa namun berbagai pikiran-pikiran datang menghantuinya.

Hubungan mereka rumit. Reno tidak tau apakah dia juga mencintai Keysa.









"Semakin aku berusaha menyembunyikan rasa sakit ini, aku semakin tidak berdaya. Dan aku hampir saja terbunuh oleh rasa sakit itu"

Reno Aditya, 2017


Suasana berubah, seorang wanita paruh baya di depan ICU mencoba tegar meski air mata berulangkali dihapus. Namanya Lisa Wulandari, usianya lebih muda lima tahun dari suaminya yaitu Bramastyo Aditya pemilik perusahaan Cexo, salah satu perusahaan software yang sejenis dengan Symantec di Malang. Dan yang dia tunggu saat itu adalah Reno Aditya Bramastyo, putranya. Entah apa yang terjadi.

Sewaktu kecil Reno pernah tinggal bersama dengan kakeknya, sementara kedua orangtuanya bekerja untuk mengembangkan bisnis keluarga. Masa kecilnya di Malang penuh dengan keceriaan, perumahan yang luas membuat tempat tinggalnya jadi sangat strategis.

Namun kebahagiaan itu seolah berakhir sampai kakeknya meninggal ketika usianya tujuh tahun. Sulit untuk mengembalikan bahagianya saat itu, tapi tidak lama dia larut dengan kesedihan. Mungkin karena waktu itu dia masih anak kecil, kawan mainnya banyak, diajak main sepakbola pun pasti sudah tertawa lagi. Tapi mulai saat itu dia harus terbiasa berada di rumah sendiri ketika orang tuanya pergi bekerja. Ya sudahlah terima saja menurutnya.

"Bagaimana kondisi anak saya dok?"

Wanita itu sudah lumayan lama menunggu Reno dengan harap tidak terjadi apapun. Duduknya sejak tadi sangat gelisah sesekali berdiri mengecek apa yang ada di balik ruang ICU meski isinya ya sama saja.

"Silahkan ikut ke ruangan saya sekarang nyonya." Dokter Ari tampak lesu, kedua tangannya terlihat masuk ke saku jas warna putih. Dia berjalan melewati wanita itu dan melangkah menuju ruangannya.

"Apa kata dokter ma?" Laki-laki berjas hitam dengan koper digenggaman tangannya tiba-tiba datang. Sepertinya dia hampir kehabisan nafas setelah berlarian menuju ruang ICU. Namun tak sepatah katapun terbalas, wanita itu seolah mengacuhkan suaminya dan terus berjalan mengikuti Dokter Ari yang berjalan lebih dulu melangkah menuju ruangannya.

"Silahkan duduk" Dokter Ari mempersilahkan dua orang tua yang terlihat cemas tadi lalu menarik kursi untuknya sendiri. Dia menghela nafas panjang kemudian sedikit mengulas senyum.

"Bagaimana dok?" tanya wanita itu sembari mengatur tempat duduknya.

"Begini pak, bu. Mungkin memang sudah saatnya saya memberitahukan ini semua. Reno perlu penanganan lebih lanjut dan hal ini butuh izin dari orang tuanya. Sudah lama Reno menderita kanker otak. Kondisinya saat ini memang sangat drop, tetapi saya kagum akan kemauan kerasnya untuk bertahan hidup," jelas Dokter Ari.

"Bagaimana mungkin, Reno terlihat baik-baik saja." Pernyataan Dokter Ari seperti menghujam kantung air mata wanita di hadapannya. Seketika tangis sudah tidak terbendung lagi. Untung suaminya datang tepat waktu tadi. Coba saja wanita itu mendengar diagnosa dokter sendirian. Dokter Ari pasti sudah bingung bagaimana cara menenangkannya.

"Dok?"

"Iya pak, menurut hasil lab memang seperti itu."

"Maksud dokter?"

"Sekitar sebulan lalu Reno sudah melakukan tes lab dan hasilnya positif. Tapi dia meminta saya untuk merahasiakan ini semua."

Ayah Reno mengusap pundak istrinya, "Reno pasti kuat ma," ucap Ayah Reno yang berusaha meredam tangis istrinya itu. Setelah menghela nafas panjang dan menyeka air mata yang kesekian kalinya, wanita berambut pirang yang diikat rapi itu berusaha menegapkan badannya menghadap Dokter Ari lagi.

"Lalu apa yang harus kami lakukan agar Reno segera pulih dok?" ungkap Ibu Reno sedikit lirih.

"Reno seharusnya dari dulu sudah mendapat perawatan namun dia tidak menginginkannya. Dia sering ke sini tapi hanya untuk check up dan minta obat untuk rawat jalan. Hingga dia bisa bertahan sampai sekarang ini. Saya butuh persetujuan dari orang tua atau keluarga juga untuk penanganan lebih lanjut."

"Iya, tentu dok tentu. Lakukan, lakukan dok supaya anak saya bisa sembuh, lakukan. Saya tidak peduli berapapun biayanya," balas Ayah Reno.

"Oh iya, saya mohon pak, bu. Setelah ini jangan menangis di hadapan Reno, sebab itu akan membuatnya sedih sehingga dapat berdampak pada sistem imunnya. Dia sudah bilang ke saya kalau tidak mau membuat orang tuanya sedih. Saya percaya, semangatnya untuk hidup sangat luar biasa."



Bersambung...


***

Haihai!!

Cerita baru nih, diusahakan selalu update.

Hope you like it :)

GEMA (PROSES REVISI) - Bacaen sampai page 21 duluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang