BAB 31

8.9K 652 14
                                    

Senyum Divo memudar, digantikan wajah yang tegang. Ayah Arumi menatap Divo lamat-lamat, mengamati ekspresi calon menantunya itu.

"Yah?" Arumi berusaha memecahkan keheningan.

"Tapi...." ayah Arumi kembali mengulang ucapannya, "Apa gak kelamaan kalo nunggu Nias dulu?"

Semua yang ada di ruang tamu membuang nafas lega, mereka kira ayah Arumi berubah pikiran dan malah tidak merestui hubungan Divo dan Arumi.

Senyum kembali terbit di wajah Divo, "Ngagetin aja nih, yah. Divo ampir mati."

"Divo, kamu tuh kalo ngomong yang bener kek. Gampang banget ngomong mati-mati," bunda kesal dengan ucapan anaknya itu.

"Jadi pak, bu, Nias dan pacarnya sudah sepakat akan menikah abis lebaran Idul Fitri, dan saat itu, Divo akan pulang. Karena selain libur panjang, Divo gak bisa pulang ke Indonesia. Dia harus rajin-rajin selama setahun ini, karena di akhir tahun depan, kalo sesuai rencana, Divo dan Arumi akan menikah dan Divo harus mengambil cuti lumayan panjang," kali ini bunda menjelaskan. Ayah dan ibu Arumi mengangguk paham.

"Divo dan Arumi juga mau saling kenal lebih jauh, yah, bu. Karena selama ini Divo ama Arumi kan kepisah jauh dan belum terlalu kenal satu sama lain. Belum tau banyak aib masing-masing," tambah Divo.

"Aibnya gak usah disebutin juga kali, Div," Arumi memperingatkan.

"Biarin, Um. Udah diem aja, lagi serius ini," Divo kemudian melanjutkan ucapannya, "Lagian, insha Allah selama setahun ini Divo akan berusaha keras ngumpulin uang untuk nikahan nanti. Divo gak mau ibu dan ayah juga bunda dan ayah mengeluarkan uang sepeserpun. Detik ketika Divo mengungkapkan keseriusan Divo sama Arumi, detik itu juga Divo bersungguh-sungguh untuk rencana kami kedepannya. Divo akan bertanggungjawab sama Arumi, termasuk dalam materi. Selama Divo jauh dari Arumi, Divo sedikit demi sedikit udah ngumpulin uang dari hasil kerja part time, jadi asisten dosen, dan job sana sini, walaupun enggak sebanyak uang ARB, tapi insha Allah cukup."

Semua yang mendengarkan ucapan Divo tersenyum. Kedua orang tuanya bangga karena Divo sekarang sudah dewasa dan sangat bertanggungjawab, sedangkan Arumi, ia tak kalah bangganya terhadap Divo. Divo yang selama ini terkesan cuek dan menyebalkan ternyata dapat berubah menjadi Divo yang gentle. Setetes air mata jatuh tanpa permisi dari mata Arumi, ia sangat bersyukur bahwa Allah masih memberinya kesempatan untuk dekat dengan Divo, bahkan memilikinya.

"Ya Allah, calon mantu mami," puji ibu. Tak tahu lagi harus berkata apa saat melihat kesungguhan Divo.

"Setelah menikah, kalian mau gimana?" kali ini ayah kembali bertanya.

"Divo mau ngajak Arumi pindah ke Finlandia, yah. Divo udah ada tempat tinggal disana, baru apartemen kecil sih, gak mewah. Tapi layak huni dan insha Allah, kalo anggota keluarga kami nanti nambah, kami akan pindah ke tempat yang lebih luas," kata Divo lagi. Selama 4 tahun ini ia memang sangat berusaha keras untuk membuktikan kepada Arumi, kalau ia sangat layak untuk bersanding dengan wanita itu. Ia sangat yakin jika Arumi adalah jodohnya, walaupun bukan, setidaknya Divo sudah berusaha.

"Div, ayah bangga sama kamu," ayah membuka suara, memuji kemandirian anak bungsunya.

"Makasih, yah. Divo belajar bertanggungjawab dari ayah," jawab Divo lagi.

"Jadi, ayah dan ibu mau kan jagain Arumi untuk Divo? Yang paling utama sih jagain biar dia gak lirik-lirik, senggal-senggol dan tikung sana tikung sini, lebur hati pangeran kalo Arumi kabur lagi," Divo versi menyebalkan kembali muncul.

Arumi memukul pundak Divo, "Enak aja, itu mulut minta di jahit banget!" sungut Arumi.

"Tuh, kalian bisa liat kan siapa yang bakal tertindas?" ujar Divo dengan wajah seolah-olah menderita.

The OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang