BAB 22

8.9K 682 6
                                    

Sepanjang perjalanan Arumi dan Divo sama-sama diam, tidak ada yang membuka mulut sama sekali hingga mobil yang dikendarai Divo tiba di kediaman Arumi. Jam masih menunjukkan pukul 9.30 malam, masih terlalu 'sore' untuk Arumi. Tetapi pikirannya saat ini sedang melanglang buana, ia merasa karma menghampirinya saat ini. Dahulu ia yang mencampakkan Divo dengan kejam dan memilih pria lain yang sama sekali tidak mencintainya. Sekarang, Arumi merasakan getah dari perbuatannya dulu. Divo memang tidak menyakitinya, bahkan perasaan pria itu masih tetap terjaga untuknya. Tapi penolakan bunda Divo lah yang membuatnya merasa bodoh, bodoh karena dulu sudah menyia-nyiakan Divo.

"Rum," panggilan Divo menyadarkan Arumi dari lamunannya.

"Hm?" jawab Arumi singkat. Ia belum mau turun dari mobil Divo karena masih ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Namun ia tidak tahu dari manakah ia harus memulai pembicaraan ini.

"Masalah yang tadi aku minta maaf," sesal Divo. Bukan seperti ini yang mereka harapkan, meskipun Divo sudah sedikit menduga bahwa bundanya akan bertindak tidak masuk akal.

"Div, aku harus gimana?" tanya Arumi lemas. Ia tidak mau jika kisah cintanya yang baru saja terjalin malah kandas.

"Gak harus gimana-gimana, Rum. Kita tetep usaha ya, sama-sama," ajak Divo. Ia menggenggam tangan Arumi erat saat dilihatnya wanita itu mulai menangis, diciumnya tangan Arumi yang ia genggam. "Jangan nangis, Rum. Ini baru mulai, kita masih punya banyak waktu untuk meyakinkan bunda, jangan nyerah ya."

"Div, kan dalam agama kita, restu orang tua adalah restu Allah. Kalo bunda gak ngerestuin hubungan kita, berarti Allah juga."

"Shh Arumi, udah ya, jangan nyerah dulu sebelum perang. Kamu aja dulu gak tau malu dan pantang menyerah pas ngejar-ngejar Dipta," Divo sedikit mengungkit masalah Dipta.

Arumi mendengus sebal, "Ish, masa lalu itu, Div. Gak usah dibahas."

Divo terkekeh pelan, "Sensi banget sih sayang, kan cuma becanda. Jangan terlalu serius lah hidupnya, nanti mati muda," Divo menggoda dan Arumi langsung menarik lengannya dari genggaman tangan Divo.

"Sana pacaran ama nenek-nenek kalo gitu!" Arumi berkata sebal.

Divo semakin tertawa melihat ekspresi Arumi yang sedang merajuk, "Ini nih yang aku kangenin setengah mati pas di Finlandia, ketawanya kamu, ngambeknya kamu, manjanya kamu, apalagi kalo lagi senewen. Dasar anak pak Rusdi!" Divo menoyor kepala Arumi pelan.

"Eh ini pala di akikahin ya! Ngelunjak kamu."

Divo malah mencubit gemas pipi Arumi sampai tiba-tiba.

Tok tok tok

Seseorang mengetuk kaca mobil Divo dan keduanya langsung menoleh ke asal suara dan terkejut, disana ayah Arumi sudah berdiri dengan muka yang diseram-seramkan. Divo langsung membuka jendela, "Eh, om, hehehe," katanya salah tingkah.

"Untung mobilnya gak kena gempa, om kaget," ayah Arumi sedikit menggoda Arumi dan Divo, Arumi tersipu malu.

"Kalo mau ngobrol malem di rumah aja, gak enak sama tetangga kalo disini," ayah Arumi memperingatkan.

"Divo gak bakal lama kok om awalnya. Tapi Arumi ngerengek-rengek, minta ditemenin katanya masih kangen," Divo memfitnah Arumi.

Arumi tidak terima atas tuduhan Divo dan membela diri, "Enak aja kamu, gak ada yaa aku masih kangen. Aku turun sekarang nih!" ancam Arumi.

"Yaudah sana turun, iya kan, yah?" Divo mencari pembelaan kepada ayah Arumi.

Ayah mengangguk setuju dan membuat Arumi semakin kesal, "Yoi masbro, cewek gede gengsi emang gitu tuh."

The OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang