Sesuai janjinya, Arumi membangunkan Divo tepat pukul setengah 5 sore. Pria itu langsung mengambil air wudhu dan menunaikan shalat ashar. Setelahnya, ia menghampiri Arumi yang sedang memotong pudding buatannya.
"Seger nih keliatannya," Arumi memalingkan wajahnya sebentar ke arah Divo, pria itu tersenyum.
"Iya, tadi kayaknya aku pules banget ya tidurnya? Tau-tau udah dibangunin aja sama kamu," tangan Divo tanpa izin mengambil pudding yang tersedia di atas meja makan.
'Divo denger gak ya omongan aku tadi?' tanya Arumi dalam hati. Ia malu jika ternyata Divo mendengar tetapi pura-pura tidak tahu.
"Enak nih pudding-nya, aku boleh bawa ke rumah gak?" Divo bertanya pada Arumi, mulutnya penuh dengan pudding. Jika tak salah hitung, itu adalah potongan keempat.
"Boleh, nanti aku masukin wadah dulu. Aku emang sengaja bikin buat kamu kok, tadi pagi tiba-tiba kepikiran bikin pudding," Arumi kemudian membuka rak dimana tersimpan wadah beraneka macam warna, ukuran dan bentuk.
Divo kembali tersenyum melihat koleksi tersebut, "Kenapa sih ibu-ibu zaman sekarang suka banget ngoleksi gituan? Di rumah, bunda lebih sayang sama barang-barang itu daripada sama anaknya. Jahat gak tuh?"
Arumi tertawa, memang benar, ibunya juga sangat menyayangi wadah-wadah itu daripada anaknya sendiri, "Gak tau, Div. Ibu aku bakal ngomel panjang banget kalo aku atau ayah lupa nyimpen wadah itu, padahal kan kalo lupa mau diapain lagi ya," ucapnya di sela-sela tawanya.
"Nanti kalo kita udah nikah, kamu mau ngoleksi apaan? Lipstick? Makeup? Tas? Dompet? Sepatu?" tebak Divo.
"Gak tau, novel mungkin?" jawab Arumi tidak yakin.
Divo menyeringai, "Aha! Aku ada ide!"
Arumi mengernyit, "Ide apaan?"
"Ide yang bakal kamu koleksi," senyum jahil dan menyebalkannya kembali muncul.
'Duh, senyum ngangenin Divo,' ujar Arumi dalam hati. "Emang koleksi apaan?"
"Anak kita," kata Divo sambil menaikturunkan kedua alisnya, ekspresi wajahnya sangat menyebalkan.
Refleks Arumi melemparkan tutup wadah yang sedang ia pegang, "Divo ih rese banget coba!" Arumi tersenyum malu, sudah dapat ia pastikan bahwa pipinya semerah kepiting rebus.
"Hahaha liat itu muka kamu, pake blush on semuka ya?" goda Divo, "Blush on alami! Hahaha" lanjutnya lagi. Arumi langsung membalikkan tubuhnya, ia memunggungi Divo sehingga pria itu tidak dapat melihat wajahnya yang semakin memerah.
Divo merasa sangat gemas, didekatinya Arumi yang sedang berdiri menghadap lemari. Ide untuk menggoda Arumi muncul di otak jahilnya, ia semakin mendekat ke arah Arumi hingga ketika ia berjarak hanya beberapa sentimeter dari Arumi, ia menghentikan langkahnya sedangkan Arumi semakin grogi. Kemudian ia sedikit menundukkan wajahnya, mendekatkan mulutnya ke telinga Arumi dan berbisik dengan suara sangat menggoda, "Ke–" ucapan Divo terpotong oleh suara panggilan dari arah teras depan, suara ibu Arumi.
"Rum!"
"Yaelah maaaaak," umpat Divo sebal. Arumi yang sudah berhasil menetralkan detak jantungnya berbalik ke arah Divo, menjulurkan lidahnya lalu berlari menuju teras, tempat dimana ibunya berada.
***
Setelah pamit kepada Arumi dan ibunya, Divo bergegas kembali ke rumahnya. Ia memperkirakan akan tiba di rumah sebelum adzan maghrib karena hari ini ia mengendarai motor. Lebih cepat dan praktis dibanding mobil, apalagi di jam pulang kantor seperti sekarang.
"Bun, ada kertas sama pulpen gak?" tanya Divo saat ia memasuki rumahnya dan melihat sang bunda sedang menonton tv.
"Tuh di laci sebelah kanan," tunjuk bunda pada lemari pajangan foto yang ada di ruang keluarga.
KAMU SEDANG MEMBACA
The One
ChickLit-COMPLETED- Setiap orang memiliki kriteria masing-masing dalam memilih pasangan. Entah itu penampilan, perilaku, sifat, dan yang akhir-akhir ini selalu dijadikan kriteria paling utama adalah kekayaan. Bagi Arumi, tipe kekasih dan pendamping hidup i...