BAB 19

8.5K 748 14
                                    

Sinar mentari pagi yang masuk melalui celah-celah gorden membuat Arumi mau tak mau membuka matanya. Sebenarnya ia masih sangat lelah, badannya terasa remuk tak karuan dan hatinya luluh lantah, tetapi sinar itu seolah mengejeknya yang sedang tidak berdaya, juga perutnya yang berkonspirasi dengan matahari dan meraung-raung tanpa henti agar diselamatkan. Kilas balik kejadian-kejadian selama 24 jam terakhir perputar tanpa henti di benaknya, seperti mengolok-olok kebodohan Arumi yang tidak bisa diselamatkan. Beberapa waktu yang lalu ia memang terlalu naïf, sampai-sampai ia tidak menyadari bahwa ia sedang tenggelam dalam kebodohannya secara perlahan.

Satu hal yang melintas di benak Arumi dan membuat gadis itu langsung mencari ponselnya. Berharap ada sebuah pemberitahuan dari seseorang yang ia inginkan. Langsung setelah ia menemukan ponselnya, ia menghidupkan data seluler ponselnya. Tetapi kosong, sesuatu yang ia tunggu tidak ada. Membuang nafas kasar, ia kembali menelungkupkan tubuhnya dan menenggelamkan diri di singgahsananya, tempat tidurnya.

***

Kehidupan Arumi semakin terasa menyedihkan. Setelah ia tidak lagi dapat bertemu Dipta di kampus karena pria itu sudah lulus, Arumi juga harus menerima kenyataan pahit saat ia tidak dapat menemukan Divo dimanapun. Sudah 2 minggu sejak terakhir kali ia bertemu Divo, tetapi pria itu sama sekali tidak memperlihatkan diri setitikpun. Respon teman-teman Divo juga tak jauh buruknya, mereka berbalik memunggungi Arumi saat ia berusaha menanyakan informasi mengenai Divo. Sudah jatuh, tertimpa tangga, tersiram air panas pula. Menyedihkan sekali.

Arumi mengutuk kebodohannya selama ini, ia terlalu terobsesi pada seseorang, sampai ia buta jika ada seseorang yang akan menyelamatkannya saat ia jatuh terjerembab.

Saat ini, ia duduk di taman di depan fakultasnya, tidak ada lagi yang berteriak memanggil namanya atau sekedar bersiul padanya, "Divo, kamu dimana sih?" tanya Arumi pada kucing yang sedang menggeliat di sampingnya.

***

Usaha Arumi mencari Divo terasa sia-sia. Berbulan-bulan sudah ia mencari tahu dimana Divo tetapi hasilnya nihil. Ia hanya ingin meminta maaf pada Divo, lalu jika ia sedikit beruntung, ia ingin Divo menerimanya dan mencoba saling memahami. Ia tahu, Divo sudah memahami dan memperjuangkannya sejak setahun lalu, tapi ia juga ingin memahami Divo dan segala yang ada pada dirinya. Tetapi sayang, rencananya tak semulus pipi Adriana Lima dan seterang mata Bella Hadid.

Akun Facebook dan Instagram-nya hilang, Line dan WhatsApp-nya pun tidak dapat dihubungi. Arumi berkali-kali bersumpah serapah mengutuki kebodohannya, tapi hal itu tidak mengubah apapun yang terjadi.

Beberapa waktu lalu, Arumi mendapat kabar bahwa Juwita sudah melahirkan. Dengan lapang dada, ia datang menjenguk Juwita dan bayinya. Saat itu untungnya Arumi tidak bertemu dengan Dipta. Hal lain yang baru ia ketahui, Dipta sudah bekerja di bagian HRD sebuah perusahaan swasta, walaupun jabatannya belum tinggi tapi penghasilannya sudah cukup untuk menanggung semua kebutuhan keluarga.

Arumi tersenyum miris, lagi-lagi ingin menertawakan kebodohannya. Sebenarnya ia masih sakit hati saat mengingat perbuatan Dipta, tapi perasaan itu rasanya terlalu egois karena ia juga menyakiti Divo.

Divo.

'Dimana dia sekarang?' pertanyaan yang sudah jutaan kali Arumi tanyakan, pada diri sendiri tentunya.

"Rum, gimana kuliah kamu?" pertanyaan pertama yang berhubungan dengan Arumi, karena sejak tadi Arumi dan Juwita sibuk membicarakan Prata, anak Juwita dan Dipta.

"Baik, mbak. Udah mulai stress kuliahnya, hehehe," kata Arumi sambil memamerkan cengiran menjijikanya.

"Wajar kok, kuliah kan gak kayak SMA. Menurut mbak sih puncaknya itu ya pas tahun-tahun terakhir," Juwita duduk tenang di sofa sambil menyusui Prata.

The OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang