7. Kuah Soto

1.3K 83 0
                                    

Niat awal ingin kabur sepertinya tak bisa, karena pria itu menarik ujung rambut coklat ku dengan kuat.

"Aww, lepasin!"

Dia tidak melepaskan pegangannya, hanya merenggangkannya saja mungkin berjaga-jaga agar aku tidak berusaha kabur lagi.

"Gue tau lo dari mana."

"So tau lo!"

"Gudang sekolah."

"Ngatur amat si hidup lo!"

Aku sontak memundurkan tubuhku saat dia tiba-tiba mendekat ke arahku.

"Bau rokok." katanya dengan datar. "Ikut ke kelas."

Aku di tariknya menuju ruang kelas, namun aku tetap brontak. Aku tidak suka di perlakukan seperti hewan kurban yang akan di potong.

"Lepasin!"

"Ikut, atau gue bilangin ke guru BK."

"Yaudah gak usah megang rambut gue!"

Aku menepis lengannya yang terus memegangi rambutku. Ku ingatkan, aku paling tidak suka ada seseorang yang seenaknya merusak rambut coklat ku ini.

Rasanya kesal, aku bagaikan narapidana yang di buntuti hingga aku benar-benar masuk ke dalam lapas.

Saat jam pelajaran pun, aku terus di awasi oleh teman sebangku ku yang gila itu, sehingga aku benar-benar tidak dapat berkutik sedikitpun.

***

Saat makan malam, aku begitu menikmati makan malam ku bersama Bi Asih. Tidak ada orang selain kita berdua, tidak ada suara selain suara tawa dan obrolan dari aku dan Bi Asih.

Aku masih bisa bersyukur karena dengan adanya Bi Asih, kehidupan ku tidak terlalu kelam dan sendirian, karena selalu ada guyonan Bi Asih yang kerap kali membuatku tertawa.

Di tengah-tengah kenikmatan yang sedang aku rasakan ini, suara sepatu membuat kenikmatannya seakan pudar begitu saja. Padahal jika di lanjutkan, nasi di piringku tersisa beberapa kali suapan lagi, tapi saat mendengar langkah kakinya ku cukupkan saja makan malamnya sampai di sini.

Kemudian aku beranjak berpamitan kepada Bi Asih yang masih setia dengan ayam gorengnya. Namun, sebelum aku sempat kabur, suara itu menahan ku untuk tetap diam di tempatku.

"Gwen, Ayah ingin bicara."

Kemudian, kami berjalan beriringan menuju ruang kerjanya, di sana aku diintrogasi habis-habisan mengenai sekolahku tiga hari kebelakang ini.

"Ayah dapat laporan kamu berangkat siang terus, selalu membolos pelajaran, dan yang terparah baru satu hari sekolah kemarin kamu udah bolos. Benar begitu Gwen?"

Aku menganggukkan kepala, mau berbohong pun sepertinya Ayah tidak akan percaya, aku sedang tidak ingin berhadapan lama dengan Ayah, mangkanya ku iyain saja semua pertanyaannya, agar cepat selesai.

"Kenapa kamu berubah Gwen?"

Aku lihat emosi Ayah mulai terpancing, jika sudah seperti ini suasananya akan menegangkan. Lagian enak sekali dia berkata seperti itu, kemana saja dia selama ini? Apa dia sudah merasa membimbing ku, disaat dia pulang tak menentu bahkan suaranya kerap tidak menyatu di rumah ini.

Saking muaknya akan pertanyaan itu, aku pun lantas bangkit. Tidak baik berada satu ruang dengan Ayah yang sedang emosi, yang ada dadaku akan terasa semakin sesak saja. Sebelum air mataku tumpah di hadapannya, aku lebih memilih meninggalkannya dengan kata-kataku yang menampar, biarkan saja, agar dia sadar akan kehidupan ini.

"Seharusnya aku yang tanya, kenapa kalian berubah? Yang aku butuhkan keluarga Yah, bukan uang yang Ayah kasih."

Bruk

Begitulah suara pintu yang kudorong dengan refleks.

***

Keesokkan paginya, aku dibangunkan oleh Bi Asih, katanya perintah Ayah yang ingin berangkat bareng bersama ku.

Aku pasti menolaknya, masih teringat kejadian semalam yang membuatku enggan untuk menjumpai Ayah.

Aku pun terpaksa mandi karena kasian kepada Bi Asih yang terus-terusan naik turun tangga untuk menyampaikan nego tolakkanku kepada Ayah yang hasilnya memang tak berubah, ingin tetap berangkat bareng katanya.

Namun aku sengaja melambat-lambatkan aktivitas mandiku, agar aku tidak jadi berangkat bersamanya.

Namun sepertinya aku tidak mesti berlama-lama di kamar mandi seperti itu, karena ketika aku turun untuk menemui Ayah, aku mendapatkan pesan yang mencengangkan dari Bi Asih, katanya sepeti ini:

"Non Ayahnya sudah berangkat duluan, katanya ada meeting dadakan."

Aku menghela napas lega, "Syukur deh kalo gitu, Bi."

Untung aku di lahirkan dengan tidak memiliki sikap seperti ayah, tidak teguh pada pendirianya, malah memilih meeting di banding memilih niat awalnya mengantar anak.

***

Hari ini aku tidak berangkat telat, hanya lebih lima menit, anggap saja jam tangan ku yang terlalu kecepetan.

Saat aku melewati koridor, suasananya masih ramai, tidak seperti biasanya aku datang setelah suasana koridor sudah sepi. Lagi lagi, aku menjadi pusat perhatian pagi ini, tapi yang lebih mencuri perhatian dari segala yang ada di tubuhku yaitu si coklat yang ku cepol asal menggunakan jedai alias jepit badai.

Sebelum absen ke kelas, aku terlebih dulu absen ke kantin untuk menyenangkan sang cacing yang mulai meronta. Suasana kantin pun belum sepi sebagaimana mestinya, masih terdapat beberapa anak nakal yang iseng membeli makanan untuk persediaan di kolong mejanya.

Aku begitu bersemangat saat aroma soto menusuk indra penciuman ku, tanpa basa-basi lagi ku pilih semangkuk soto untuk teman sarapanku pagi ini.

Suasana kantin yang kian lama kian sepi membuatku nyaman untuk menyantapnya dengan penuh perasaan. Namun di tengah pergulatanku dengan kuah pedas yang tinggal setengah ini, ancaman datang membuatku terkejut dan refleks bersembunyi di kolong meja kantin bersama sotoku ini.

Siswa lain berlarian saat melihat guru BK itu mulai memasuki area kantin, aku pun sama, namun dengan cara yang berbeda.

Tapi saking refleksnya aku akibat mendengar suara teriakan guru BK itu, saat aku akan bersembunyi di kolong meja kantin, mangkok ku tak sengaja bertubrukan dengan bangkunya, sehingga mangkok tersebut terbalik dan menumpahkan isinya ke seluruh bajuku.

Sialan!, caciku dalam hati.

Dan lebih sialnya aku berhasil di temukan oleh guru tersebut dengan keadaan baju yang basah berwarna kuning.


Pada waktu itu aku di bawa ke ruang BK dengan keadaan baju basah akibat tumpahan air soto.

Di sepanjang perjalanan Pak Yogi terus menceramahi ku sehingga membuat telingaku terasa panas, belum lagi ketika sampai di BK, aku mendapatkan tambahan ceramahan dari guru lain yang membuat telingaku serasa ingin meledak.

Gwen (a story about bad girl)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang