30. Keputusan

772 57 0
                                    


Dengan sisa kekecewaan, pagi ini aku turun ke bawah menuju meja makan untuk menemui masakan Bi Asih yang lumayan ku rindukan.

Namun sepertinya nafsu makan ku tiba-tiba hilang di tengah jalan saat ku lihat Ayah yang sedang duduk di meja makan sembari memperhatikanku yang hendak turun menghampiri tempatnya saat ini. Awalnya aku ingin berbalik, namun suaranya lebih dulu membuatku mati di tempat, dan membuat aku menyerahkan diri kepada Ayah.

Sesampainya di hadapan Ayah, aku langsung duduk tanpa menatap matanya. Akhir-akhir ini sikapku agak pemurung, sebagian efek dari masalah yang aku alami kemarin. Semua masalah kemarin seakan membuat moodku hancur.

"Gwen Ayah mau bicara sebentar."

Oke hening untuk beberapa saat, karena Ayah nampaknya sengaja menggantungkan ucapannya.

"Apa kamu benar ingin tinggal dengan ibumu Gwen?"

Sepertinya Ibu sudah meminta izin kepada Ayah perihal permohonanku semalam. Tapi entah kapan Ibu melakukannya, yang pasti secepat itukah Ayah mengetahui permohonanku semalam.

Aku pun menganguk penuh harapan, "tolong izinin Gwen Yah."

"Kenapa kamu mau pindah Gwen? Ayah kurang membiayai kamu? Apa semua fasilitas di sini kurang Gwen?"

Lagi-lagi dada ini terasa sesak, kenapa pandangan Ayah terhadapku selalu negatif? Kenapa semua tentangku hanya di kaitkan dengan uang? Kemewahan? Tidak adakah setitik kasih sayang yang pantas kudapatkan? Apakah Ayah tak mengerti keinginanku?

"Jawab Gwen, kenapa kamu lebih memilih tinggal di Singapur?"

Aku perlahan mengangkat wajahku, memberanikan diri menampakkan mataku yang sudah malai berkaca-kaca. Rasa nya berat menahan untuk tidak menjatuhkan cairan bening itu, tapi apa daya, aku harus bisa menyelesaikan obrolan ini tanpa meneteskannya sedikitpun.

"Yah, semua ini bukan soal materi, bukan soal kemewahan, ataupun fasilitas. Tapi ini soal kasih sayang Yah, soal berapa banyak waktu Ayah buat Gwen, berapa lama kapasitas Ayah bertemu Gwen tiap hari, Gwen butuh itu semua, Gwen butuh sosok pelindung. Tapi di sini Gwen gak mendapatkan semua itu."

Perlahan air mataku kembali turun, semenjak masalah itu, Gwen yang dulu kuat sekarang menjadi cengeng dan sensitif.

"Jadi tolong izinin Gwen tinggal di sana kalo Ayah mau liat Gwen bahagia."

Tidak ingin tangisan ini semakin membanjiri pipi, setelah mengucapkan kata-kata itu aku langsung melarikan diri ke kamar. Di sana aku memilih membenamkan kembali tubuhku ke atas kasur. Ini semua lebih baik, aku lebih memilih berhadapan dengan benda mati yang tak memiliki perasaan sekalipun. Dari pada berhadapan dengan mahluk berperasaan tapi tak pernah menggunakan perasaannya itu.

***

Setelah keadaanku sudah membaik, aku mencari kegiatan yang membuat suntuk ku hilang seketika.

Main handphone, sudah.

Nonton TV, sudah.

Baca novel, juga sudah.

Tapi rasa suntukku tak kunjung menghilang, yang ada rasa suntuk nya malah makin menjadi-jadi.

"Ah sialan banget hidup gue."

Dengan konyolnya aku mondar mandir di sekitar kasur, karena dengan itu aku berharap menemukan sebuah ide yang dapat menghilangkan rasa suntuk ku saat ini.

Aha...

Sepertinya aku tau apa yang harus aku lakukan saat ini.

Gwen (a story about bad girl)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang