26. No One Believes

726 55 0
                                    

Tak berapa lama, Pak Yogi kembali datang ke ruang BK membawa Tiara dan Meli. Kami berempat pun kembali di bawa ke ruang sidang.

"Baik Tiara, Meli menurut Zeo saat kejadian penyerangan kalian ada di kamar mandi juga, benar itu?"

"Bener Pak," jawab keduanya kompak.

Mampus, bisa kalah gue kalo trio licik ini bersatu.

"Coba ceritakan dengan jujur bagaimana kejadiannya."

"Jadi gini Pak, abis upacara saya sama Meli mau cuci muka, terus dari pintu luar kita denger suara orang lagi adu mulut, kita yang penasaran berniat ngintip, ternyata di sana Zeo sama Gwen yang terlibat. Awalnya kita kira perdebatan biasa, eh lama kelamaan kita liat Gwen nyerang Zeo gitu Pak, pas pertengkaran makin panas kita teriak di luar kamar mandi pak."

"Bohong Pak, cerita aslinya gak gitu." Sanggahan ku tak terima. Aku menatap sini ke arah mereka berdua. Yang kudapati di wajah mereka tatapan licik yang berkobar.

"Dia yang bohong Pak, udah jelas-jelas luka saya banyak banget, dan mungkin Bapak liat gimana posisi saya pas Bapak datang tadi."

Pak Yogi lantas menatapku lekat, seperti tatapan percaya tak percaya, namun setelahnya ia kembali memarahiku. "Gwen Bapak kira kamu sudah berubah, Bapak kecewa sama kamu Gwen."

"Pak, Gwen udah berubah, Gwen di fitnah Pak." Aku tidak terima atas tuduhan kali ini, jadi usahaku memperbaiki diri selama ini tidak ada apa-apanya hanya karena pemfitnahan ini?

"Tapi perubahan kamu semuanya sia-sia Gwen, kamu melakukan kesalahan lagi kali ini, kapan kamu mau tobat Gwen?"

Apa? Sia-sia? Semuanya tidak sia-sia kalau saja ketika iblis ini tidak mengeluarkan semua omong kosongnya!

Pokoknya aku tak terima atas tuduhan ini, "Pak, Bapak gak bisa ngelihat kasus ini dari satu sisi, Gwen yang diserang pak, Gwen korban Pak."

"Tapi mana bukti mu Gwen? Bapak butuh bukti bukan hanya bualan dari mulutmu Gwen."

"Pak Gwen tidak berbohong, Bapak--"

"Diam! Mulai besok pihak sekolah akan menskors kamu selama seminggu."

Rasa nyeri semakin menusuk rongga dadaku, tuduhan ini seakan membuat tobatku sia-sia. Dengan sekali hentakan aku bangkit. Sebelum pergi meninggalkan ruang penuh kelicikan ini, ku tatap mata Zeo dengan penuh kebencian.

Dasar iblis!

***

Sepanjang perjalanan menuju kelas, semua pandangam tertuju kepadaku. Tatapan sinis yang mereka pancarkan seolah memberitau bahwa kasus ini sudah menyebar ke seantero sekolah. Dan si sinilah aku yang menjadi pelakunya, sehingga tatapan sinis itu bertubi-tubi mengarah kepadaku.

Suasana koridor yang ramai karena bel masuk yang belum berbunyi membuatku seperti seorang pembunuh yang sedang di arak.

Baru kali ini aku merasa malu, pedih dan yang pasti air bening dari mataku sudah luruh dari tempatnya. Rasanya sesak ketika niat baik kita di hancurkan begitu saja oleh sebuah fitnah yang kejam.

Sesampainya di kelas, ku dapati lagi tatapan sinis itu dari penghuninya, namun sebisa mungkin ku abaikan dan ku anggap tiada semua tatapan itu. Lalu sesampainya di bangku ku, aku dapat melihat Zaidan yang sekilas menatap ke arahku lalu kemudian membuang mukanya ke arah lain, seolah ia enggan melihat pemandangan memuakkan di sampingnya.

Yang aku yakini pasti Zaidan juga sudah mendengar kasus ini sehingga untuk melihat kehadiranku saja dia enggan. Padahal ku kira ia tak seperti orang lain, yang hanya menghakimi seseorang dari apa yang mereka dengar, bukan dari penjalasan yang mereka dapatkan.

Setelah mengemasi barang-barangku, aku lantas meninggalkan kelas ini dengan penuh rasa kecewa. Kecewa kepada seluruh penghuninya termasuk Zaidan yang tidak percaya kepadaku sedikitpun.

Saat di gerbang sekolah aku di hadang oleh keberadaan Pak Marno yang menatapku penuh tanya dengan sedikit iba di raut wajahnya itu. Rasa ibanya itu muncul akibat melihat bekas air mata yang mulai mengering di pipiku, mungkin.

"Neng Gwen mau kemana?" tanya nya menyelidik wajahku yang sedikit menunduk.

Tanpa mengangkat wajah ku jawab pertanyaannya dengan singkat. "Pulang."

"Kan bel pulangnya masih lama--"

"Gwen duluan Pak." Tidak mau meluapkan emosiku pada Pak Marno yang tak bersalah ini, aku lantas berlari meninggalkannya, berlari menjauh dari sekolah yang penuh ketidak adilan ini.

Tanpa pikir panjang aku langsung memberhentikan sebuah taksi yang sedang tak sengaja melintas. Setelah taksi itu melaju, tanpa banyak omong aku langsung menyebutkan alamat rumahku, dan setelahnya aku lantas menenggelamkan kepalaku di antara lutut dengan isakan yang terasa sesak.

***

Saat ku buka pintu rumahku, yang ku dapati di sana adalah tampang kecewa sekaligus marah dari wajah Ayahku. Sepertinya pihak sekolah terlalu mandiri, sehingga aku tak perlu repot-repot memberitahukan kasus ini kepada Ayahku.

Niat awalku untuk langsung menuju kamar, lenyap saat suara tegasnya memanggil namaku.

"Gwen."

Aku dengan refleks berhenti dan berbalik menghadapnya dengan kepala menunduk.

"Ayah kira kamu udah banar-benar berubah Gwen." Suaranya terdengar seperti menahan emosi yang sebenarnya ingin diluapkan. Hingga kemudian di kalimat selanjutnya emosinya benar-benar lepas. "Kamu selalu buat Ayah kecewa!"

Tubuhku tidak dapat bergerak, seperti di sambar petir tubuhku seolah langsung kaku akibat bentakkannya itu.

Ayah kemudian bangkit, perlahan mendekati ku yang masih mematung. "Kamu anggap apa Ayah mu ini? Mesin uang? Pembantu? Jawab Gwen!"

Jujur ucapannya barusan membuat dadaku semakin sakit, sumpah demi apapun aku tidak pernah menganggapnya seperti apa yang ia ucapkan tadi.

"Yah Gwen gak pernah nganggep Ayah kayak gitu." Kalimatku luruh bersama air mata yang perlahan mengalir.

"Terus kenapa sekolah kamu bisa sampe skors kamu? Kamu dapat prestasi? Dapat juara?"

"Gwen di fitnah Yah, Gwen di fitnah sama orang yang benci Gwen, tuduhan sekolah itu salah Yah."

"Sekolah gak akan salah Gwen. Kamu yang salah, kamu yang gak pernah berubah, kamu yang selalu kecewain Ayah!" Suara Ayah semakin meninggi hingga menusuk tepat ke dalam telinga lalu mengalirkan nyeri ke dalam dadaku.

Dengan derai air mata yang semakin deras, saat ini aku mencoba mencari pembelaan, mencari sedikit kepercayaan dari Ayahku ketika seluruh orang tidak ada yang mempercayaiku.

"Yah kenapa saat Gwen mulai berubah, gak ada satu orang pun yang percaya sama perubahan Gwen? Kenapa Yah? Berubah itu gak mudah Yah, Gwen udah berusaha. Tapi Gwen kecewa karena gak ada satu orang pun yang menghargai perubahan Gwen. Kalian semua gak pernah liat Gwen yang sekarang, kalian gak pernah berubah liat Gwen di masa lalu." Emosi ku keluar, aku tidak kuat harus menahan semuanya sehingga membuat sesak di dalam dada.

"Sepertinya memang kalian semua gak pernah lihat Gwen yang sekarang." Ujar ku lirih, aku kemudian berlari ke kamar dam mengunci pintunya rapat-rapat.

Hari ini kekecewaan menjadi satu, berbaur dengan rasa lelah karena tak pernah di anggap benar.

Di sela isakkan ku, aku lantas tertawa, "Haha mau sampai kapanpun Gwen memang selalu identik dengan keburukan."

Gwen (a story about bad girl)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang