27. Kembali menjadi Gwen

754 52 1
                                    


Malamnya setelah kupastikan ayah tidak ada di rumah, aku lantas pergi ke luar. Mencari ketenangan sekaligus mencari kebenaran.

Mobil yang ku kendarai maju di jalanan kota Jakarta yang masih ramai akan penggunanya, padahal dua jam lagi hari sudah akan tepat pada tengah malam.

Sudah satu jam mobil ini ku ajak berputar tanpa arah, tanpa tujuan. Masa bodo yang terpenting aku tidak berada di dalam rumah itu dulu, karena pikiranku tidak bisa tenang saat aku masih berada di dalamnya. Setiap kalimat yang di lontar kan Ayah tadi sore seakan mengiang di telingaku selama aku berada di dalamnya.

Hingga malam semalin larut, dan rasanya sudah bosan berada di dalam mobil ini, tempat tujuan yang terlintas di pikiranku hanya satu. Tempat yang awalnya berniat aku jauhi sejak aku mulai berubah, tempat terlarang yang tak menarik minat saat minatku berpindah haluan ke rumah Zaidan.

Tapi nampaknya Gwen kan tidak pernah berubah, dianggap  berubah pun tidak pernah, jadi kenapa tidak aku datang lagi ke tempat itu, toh aku selalu di pandang buruk kan?

***

Setelah memarkirkan mobil ku di parkiran yang nampak penuh ini, aku kemudian berjalan menuju pintu masuk gedung itu. Tanpa ragu aku melangkahkan kaki kembali ke tempat ini, dengan senyum licik ku, aku seolah menemukan jati diri ku kembali di tempat ini.

Saat pintu masuk ku lewati, yang pertama menyambutku adalah suara dentumah musik yang terdengar merdu di telingaku. Akupun dengan riangnya menghampiri meja bar untuk terlebih dulu menghilangkan kekeringan yang terjadi di tenggorokanku.

"Hai Gwen, udah lama lo gak ke sini?" Sapa seoarang pria bartender ke araku. Di tengah kegelapan lampu yang berkedip-kedip aku masih mengenal jelas siapa pria bertender itu.

"Lagi mumet, banyak pikiran. Gue minta yang biasa segelas dulu ya." pria itupun mengangguk. Kemudian sibuk membuat pesananku.

Di balik tempat dudukku, kuperhatikan setiap botol yang berjejer manis di dalam rak kaca itu. Sudah lama aku tak merasakan cairan itu mengalir di tenggorokkanku, dan kini aku kesenangan karena bisa merasakannya kembali.

Setelah selesai dengan pesananku bertender itu menyodorkan segelas minuman berwarna caramel kesukaanku. Setelah gelasnya berpindah ke tanganku, ku berikan bayaran sekaligus uang tips untuk dirinya yang langsung di balas dengan senyuman.

Ku tatapi cairan yang berada di dalam gelas itu, lalu ku acungka gelasnya ke udara, "untuk kekecewaan dan perjalanan panjang malam ini." perlahan cairan itu mulai terasa panas mengalir di tenggorokkanku, namun setelah panasnya hilang, rasa itu di gantikan dengan rasa melayang yang menghilangkan semua beban pikiranku.

"Let's party Gwen."

Ku simpan kembali gelas itu di atas meja bar, dengan kesadaran yang tersisa dan rasa melayang yang menenangkan aku berjalan sempoyongan ke arah dance floor, suara lagu DJ itu seakan menyemangati tubuhku untuk berjoged dengan riang.

Sepetinya malamku ini akan ku habiskan di area itu.

***

Setengah jam kemudian, setelah rasa capek mulai terasa aku kembali ke meja bar untuk meminta beberapa gelas minuman penuntas dahaga, dari kejauhan bartender tadi sepertinya sadar akan kehadiaran ku, ia kemudian buru-buru menyediakan segelas minuman kesukaanku.

"Udah capek Gwen? Butuh ini kan?" Dia menyodorkan gelas yang sudah terisi minuman favorite ku, aku pun langsung mengambilnya dan kemudian meminumnya tanpa sisa.

"Tambah lagi, gue masih butuh." aku kembali menyerahkan gelas kosong itu kepadanya. Dan dia pun tanpa sungkan menuruti perintahku.

Sepertinya hanya suasana ini yang dapat membuat lupa akan masalahku seharian tadi. Masa bodo dengan Ayah, ataupun Zaidan dan orang-orang lain.

Aku kembali menyodorkan gelas kosong kepadanya, tapi untuk kali ini dia dengan ragu menerimannya, tidak patuh seperti awal tadi.

"Gwen udah ya, lo udah abis satu botol." katanya.

"Bodo amat!  Gue mau lagi, jangan larang gue, gue bayar semuanya!"

Bartender itu pun kembali memberikan minuman itu kepadaku. Hingga habis botol kedua ia tak mau memberikannya lagi kepada ku, aku pun dengan penuh emosi keluar dari club itu setelah kubayar semua minuman yang ku habiskan tadi.

Dengan langkah sempoyongan, aku mencoba berjalan dengan tenaga yang tersisa di bantu oleh segala benda yang menjadi penopang tubuhku. Langkahku terasa berat, kepalaku rasanya sakit dan ingin pecah, yang kubutuhkan saat ini adalah kasur empuk dan selimbut, namun nampaknya dari tadi aku belum berhasil menemukan benda itu.

Saat setelah keluar dari pintu masuk, ku tekan alarm mobilku, suara alarmnya seakan menjadi petunjuk dimana keberadaan mobil yang tadi ku parkir. Sesampainya di depan mobil tubuhku rasanya malah terasa semakin berat, kalau bisa aku ingin tiduran saja langsung di sini, mataku sudah tak dapat melihat dengan baik lagi, dan kaki ku pun sudah benar-benar lemas seperti jelly.

Namun sedikit kesadaranku mengatakan lebih baik aku masuk dulu ke dalam mobil, dan tidur di sana. Dengan susah payah ku gerakkan tubuhku menuju pintu mobil, tapi baru beberapa langkah tubuhku langsung oleng dan bersiap jatuh ke aspal yang keras itu.

Tapi setelah kurasa tak ada tenaga lagi dalam tubuhku, yang kuarasakan setelahnya bukanlah aspal yang keras dan menyakitkan, tetapi lengan seseorang yang langsung menahan tubuhku dan menggendong tubuhku.

Berada di dalam gendongan orang itu terasa nyaman, hingga perlahan kesadaranku pun mulai menghilang, digantikan rasa nyaman sekaligus sisa pening yang melanda.

Gwen (a story about bad girl)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang