40. Kenapa Perpisahan Selalu Terasa Berat?

1.3K 68 13
                                    

Setelah kurang lebih 30 menit, akhirnya kami berdua sampai di sebuah taman yang sepi, mungkin karena hari semakin sore jadi taman itu semakin jarang di kunjungi. Awalnya ku kira Zulfikar akan mengajak ku ke restoran atau sekerdar kedai, tapi ya tak dapat dipungkiri pilihannya lumayan bagus karena tempat seperti ini yang sebenarnya ku butuhkan jika aku menangis histeris nanti. Dari pada di restoran yang nantinya akan mengecap Zulfikar sebagai cowok jahat yang memutuskan wanitanya secara sepihak, atau cowok bajingan yang menghamili pacarnya, em atau bisa jadi cowok brengsek yang ketahuan selingkuh, dan tuduhan-tuduhan lain yang bukan Zulfikar banget.

Setelah Zulfikar memarkirkan mobilnya, dia lalu mengajakku keluar dan menuntunku mencari tempat untuk mengobrol. Pilihannya jatuh pada sebuah kursi taman yang dinaungi oleh pohon mangga yang cukup rindang, letaknya juga di sudut taman sehingga tidak akan dilihat oleh banyak orang.

Di menit-menit awal kami berdua tak bersuara,  aku sendiri sedang membayangkan kenyataan buruk yang sebentar lagi akan segera terucap dari mulut Zulfikar.

Aku tidak suka perpisahan, kenapa setiap perpisahan selalu menimbulkan air mata bukannya kebahagiaan. Kenapa harus ada pertemuan kalo pada akhirnya tetap akan dipisahkan?

Hingga di menit itu Zulfikar pun mengeluarkan suaranya dengan sangat pelan dan terkesan hati-hati.

"Gwen."

Aku yang semula menunduk kemudia perlahan mengangkan kepala yang terasa berat untuk menghadapi perpisahan yang sudah di depan mata.

"Gue mau pamit sama lo, masa liburan gue di sini udah habis."

Seingat aku sekolah Zulfikar memiliki sistem tersendiri dalam menentukan kegiatannya, jadi mereka tidak mengikuti ketetapan pemerintah.

"Zul jangan pergi ya." Ujarku lirih.

"Rumah gue bukan disini Gwen."

Aku kemudian menggeleng tidak terima, "gimana kalo lo pindah aja Zul? Lo bisa sekolah bareng gue di sini, lo bisa tinggal sama Ibu lo dan Zaidan di sini." setelah mengucapkan kalimat itu, mataku mulai terasa memanas, seperti ada sesuatu yang mendesak ingin keluar dari kedua kelopak mataku.

Tanpa disangka Zulfikar memelukku, dada bidangnya menjadi tempat aku meluapkan air mata saat itu juga.

"Gue gak bisa Gwen, pindah gak semudah itu, dan gue belum bisa ninggalin Bokap gue sendirian disana."

Di tengah tangisanku, aku merasakan sebuah tangan mengelus punggungku. mencoba memberikan ketenangan yang belum ku dapatkan saat ini.

"Gue gak mau pisah sama lo Zul, gue sayang sama lo Zul, please ngertiin gue."

"iya gue udah ngertiin lo, bahkan gue lebih mengerti bahwa yang lebih lo butuhin itu Zaidan, Gwen."

"Gak Zul, yang bener itu gue butuh lo bukan Zaidan." Aku menggeleng kuat dalam pelukannya, mencoba memberitahu kepadanya bahwa aku tidak ingin di tinggalkan.

"Gwen gue bisa liat semua itu dari mata lo Gwen, lo sayang Zaidan bahkan lo butuh dia dibandingkan gue. Walau lo bilang lo benci sama dia,  tapi mata lo gak bisa bohong Gwen, bahkan lo sendiri bingungkan hati lo ada di siapa? Semua terasa rumit cuma gara-gara muka kita mirip."

Aku dibuat berfikir oleh ucapan Zulfikar barusan, aku memang sempat berfikir begitu selama ini. Saat pikiran ku hendak memikirkannya semakin jauh,  suara Zulfikar kembali merenggut kesadaranku.

"jangan buat gue berat buat pulang ke Jogja ya. Jogja Jakarta itu deket Gwen nanti gue bisa liburan lagi ke Jakarta atau mungkin nanti gue ajak lo ke Jogja buat liburan gimana?"

Perlahan tangisan mulai tenang, tidak sekencang diawal. Aku tidak menjawab apapun yng dibicarakan Zulfikar, aku terlalu asik diam menikmati pelukan yang mungkin tidak akan ku rasakan dalam beberapa hari lagi. Iya anggap saja ini pelukan terakhir.

Hingga beberapa menit kemudian Zulfikar menyelesaikan ucapannya,  yang entah bicara apa karena aku hanya memilih menikmati momentnya daripada mendengarkan ucapannya. Dia kemudia melepaskan pelukan kami,  ada perasaan kehilangan saat pelukan itu terlepas, tepatnya perasaan sekaligus kenyataan kehilangan yang sudah di depan mata.

"Gue titip Zaidan ya, jagain dia. Dan jangan lupa satu hal dia sayang sama lo, hati lo sama dia bukan sama gue. Gue ini abang lo Gwen inget itu." Setelah mengucapkan kata-kata itu Zulfikar mengelus pucuk rambutku pelan.

Aku hanya mengangguk patuh seolah-olah dia memang abangku.

"Senyum dong, masa cewek cantik gini cemberut terus, helooo keluarin dong pelangi di wajah mu Gwen."

Ku keluarkan sedikit senyum dari wajahku, senyum kaku yang bukan Gwen sekali.

"Nah gitu dong princess." Ujarnya sembari mencubit kedua pipiku.

"Lo mau apa sebelum gue pulang Gwen? gue bakal turutin semua yang lo mau."

Kesempatan! dia bilang akan menuruti semua yang aku mau kan?  Baiklah. "Gue mau lo pindah ke sini." Ujarku setengah riang.

Zulfikar menggelengkan kepalanya, lalu mengajakku berdiri, "Princess gue masih aja keras kepala ya, kan udah ada Zaidan, muka kita kan sama. Kalo lo kangen gue, lo tinggal temuin Zaidan. Dan kayaknya dia lebih manis daripada gue Gwen."

Zulfikar mengajakku keluar dari taman dan kembali masuk ke dalam mobilnya. Di dalam mobil Zulfikar tak henti-hentinya mengoceh membicarakan ini itu tentng Zaidan. Enthlah apa tujuan dia sebenarnya yang pasti aku hanya menyandarkan tubuhku ke kursi dan fokus pada luar jendela. Aku sudah cukup pasrah dengan perpisahan ini.  Mau bagaimana pun Zulfikar ini tidak akan membatalkan niatnya pulang walaupun aku mengncam sekali pun.

"Kita mau kemana nih Gwen?"

Suaranya kembali mengintrupsi diriku dari lamunan. Aku sedang tidak selera pergi kemana-mana dalam keadaan hati kacau seperti ini. Yang aku ingin kan pulang dan mencurahkan semuanya dikamar.

"Pulang Zul."

"Lo gak mau nikmatin mom--"

"Gue mau pulang." Ujarku lirih.

Setelah itu tidak ada percakapan lagi hingga kami berdua sampai di depan gerbang rumahku.

Aku tidak langsung keluar dari mobil, entahlah rasanya begitu berat seperti ada rantai yang mengikat tubuhku di jok mobil, padahal sabuk saja sudah ku lepaskan. Hingga tak lama Zulfikar kembali mengeluarkan suaranya berbarengan dengan sebuah tangan yang kurasa menggenggam tanganku.

"Gwen, rajin sekolah ya sebentar lagi lo UN terus lo lulus. Gue juga janji bakalan menyelesaikan UN dengan baik."

"Lo juga gak perlu ngerasa sendiri lagi, inget Gwen Zaidan selalu ada buat lo dari dulu,  bahkan sejak orang-orang menjauhi lo Zaidan selalu setia jadi tutor lo kan? Dan sekarang semua orang juga idah liat lo, lo gak akan kesepian. Apalagi kalo sampai clubbing! Gue bisa marah besar sama lo Gwen."

hanya dengan mendengar kata-katanya saja perpisahan itu sudah terasa, hatiku kembali perih dan mataku kembali nemanas.

Perlahan saat air mataku terjatuh perlahan,  kurasakan sebuah tangan  lain mengusap air mata dipipiku tanpa melepaskan tangan satunya yang masih memegangi tanganku.

Usahanya tidak berhasil, setelah tangan itu selesai mengusap air mata di pipiku nampaknya kembali muncul air mata lain yang langsung ku usup oleh tanganku sendiri. Sudahlah aku tidak kuat terus berada di sini, setelah itu aku langsung membuka pintu mobil tanpa menutupnya kembali. Lalu aku berlari ke dalam rumah tanpa menoleh atau bahkan mengucapkan salam perpisahan.



Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 18, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Gwen (a story about bad girl)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang