15. Make her wait

1K 58 4
                                    

Hari ini ayah benar-benar mengantarku ke sekolah, kali ini maksudku dalam artian 'sekolah' yang sebenarnya, bukan mengantar seperti orang lain hanya sampai ke gerbang sekolah. Tapi yang ini beneran masuk ke sekolah bahkan masuk ke ruang guru untuk menemui Pak Agus dan Zaidan.

"Pak saya datang ke sini dengan maksud ingin meminta tutor Gwen agar ia mau berlajar di rumah saya saja. Jadi daripada belajar di luar, lebih baik mereka belajar di rumah saya saja. Karena ya, saya kurang percaya sama Gwen takunya dia nakal kalo di luar."

"Oh ya tentu boleh lah Pak, itu mungkin lebih baik sekalian membiasakan anak agar betah di rumah."

Aku yang mendengarkan hanya dapat berdoa agar Zaidan menolak keputusan Ayahku itu. Tapi sepertinya tidak akan begitu, ya mungkin kalian taulah bagaimana respons yang akan diberikan oleh murid kepercayaan guru. Tapi tak apalah yang penting aku sudah berusaha lebih dulu, siapa tau doaku tiba-tiba dikabulkan.

"Tapi saya serahkan lagi kepada tutor Gwen sendiri. Bagaimana nak Zaidan?"

Kali ini pak Agus berbicara kepada Zaidan soal keputusannya, yang kulihat Zaidan terlihat biasa saja.

"Kalo saya si dimana saja boleh Pak, asalkan amanah saya dapat terlaksana."

"Baiklah kalau begitu, saya meminta kontak kamu? Nanti saya kirimkan alamat rumah saya." kata Ayahku kepada Zaidan.

Oh tidak, bisa bahaya jika hasilnya begini. Bisa-bisa Zaidan akan lebih mudah mengadu kepada Ayahku bila terjadi sesuatu.

Setelah Zaidan dan Ayahku saling bertukar kontak, kemudian Ayah pamit kembali kepada kami untuk pergi ke kantor. Sebelum pergi, Ayah memberikan wewejang kepadaku.

Tumben banget, batinku.

"Belajar yang bener ya Gwen, Ayah senang kamu sudah mau berbaur kaya gini."

Setelah itu Ayah mengacak gemas rambutku dan kemudian pamit meninggalkanku.

Dan setelah kepergian Ayah ku ke kantor dan Pak Agus ke ruang guru, aku dan Zaidan kembali ke kelas untuk mengikuti pelajaran pagi ini.

Saat di perjalanan Zaidan menyinggungku soal aku yang tidak datang ke kedai arta tadi sore. Ku kira dia sudah lupa, ternyata tidak.

"Hari pertama di kedai arta gak datang. Bener kata bokap lo, lo susah di percaya."

"Lo tau kan kemaren ujan, ya gue lebih milih tidur dari pada ujan-ujanan ke kedai arta. Kalo gue sakit lo mau tanggung jawab?"

"Sakit cuma buat manusia."

"Ya terus lo pikir gue bukan manusia?"

"Bukan!"

Zaidan kemudian mempercepat jalannya, sehingga meninggalkanku dengan kata-katanya yang sukses membuatku kesal.

"Hei Zaidan Azran Geovani!  Awas lo ya!"

Jangan tanya aku tau nama lengkapnya dari mana, yang pasti bukan berarti aku mencari tau akun sosial medianya atupun bertanya kepada teman-temannya. Tapi baru saja aku melihat badgenya yang bertuliskan nama itu.

***

Sebagai ajang balas dendamku kepada Zaidan, saat Zaidan meninggalkan ku tadi pagi, aku tidak mengikutinya sampai ke kelas, yang ada aku berbalik haluan menuju kantin untuk membeli makanan lalu bersembunyi di basecamp untuk menikmati makanan yang sudah ku beli.

Biarkan saja dia di suruh mencari ku kemana-mana, paling dia akan kecapean sendiri karena kan dia tidak tau aku sedang berada di ruangan ini.

Dan menurutku mau bagaimana pun keadaan basecamp nya, ada teman atau tidak ada teman, yang namanya basecamp di sekolah manapun akan membuatku anteng berjam-jam sembunyi di situ.

Saat ini saja aku sudah hampir duabelas jam menyendiri di basecamp, tidak ada Dion, David, Anton, atau pun Randy di sana, tumben kan? Biasanya ketika aku datang ke sini mereka sudah asik dengan asap yang mengepul di udara.

Yang ku harapkan si mereka ada, karena jika ada, aku akan meminta sebatang rokok dari mereka berempat. Kan lumayan empat batang rokok gratis bisa awet hingga dua sampai empat hari kedepan. Karena sejujurnya walaupun kerap kali merokok, tapi aku bukanlah pecandu rokok yang dapat menghabiskan sebungkus dalam sehari. Sama seperti alkohol, aku hanya mengonsumsi rokok jika aku sedang stress saja, selebihnya tidak paling diganti oleh vave.

Ngomong-ngomong soal alkohol, aku jadi rindu clubbing, kapan aku bisa ke tempat itu lagi, seperti nya kemungkinannya akan sulit semenjak Pak Agus memberikan keputusan itu.

Sudah-sudah jangan pikirkan clubbing dulu.

Sepertinya baru saja aku mendengar bunyi sesuatu yang nyaring dari luar sana, saat aku melihat jam tanganku, ternyata benar itu adalah suara nyaring yang di hasilkan pengeras suara yang tandanya jam kepulangan siswa telah tiba.

Huh, akhirnya setelah menunggu duabelas jam lamanya di tempat ini aku dapat keluar menghirup udara dunia yang sempat tertutupi oleh udara gudang yang sedikit pengap.

Aku lalu bergegas menuju kelas yang sudah sepi, ku ambil tas yang terkeletak di atas kursi ku lalu ku ambil jaket yang berada di dalamnya untuk menutupi kulitku yang terasa dingin akibat rintik hujan yang sedang turun.

Setelah selesai, aku pun pergi menuju halte untuk menunggu jemputanku, yaitu si taksi biru yang tak kunjung lewat.

Namun bukannya taksi biru yang lewat di hadapanku, akan tetapi ninja hitam milik Dion yang menyuruhku untuk naik ke boncengannya.

Kemudian Dion bertanya kepada ku, aku akan langsung pulang atau tidak, tapi karena kebetulan cuaca sedang dingin jadi kubilang saja kepadanya bahwa aku akan mampir dulu ke kedai kopi untuk menghangatkan tubuhku.

Akhirnya Dion pun membawaku ke kedai kopi terlebih dahulu seperti apa yang kubilang tadi. Di sana kami banyak mengobrol tentang berbagai hal, lebih tepatnya mengenai kenakalan kami.

Yang berhasil kunilai Dion itu asik untuk di jadikan teman ngobrol, dan seperti yang ku bilang sebelumnya walau Dion nakal, tapi dia dapat bersikap sopan kepada wanita. Selebihnya aku tidak tau bagai mana kelakuan dia di luar sana.

"Tumben banget anak-anak gak ada yang di basecamp."

"Lo gak tau emang kabar-kabarnya?"

"Gue kan di basecamp sendirian dari pagi."

"Pantesan. Tadi pagi kita berempat mau ngecot ke rumah Anton buat nuntasin taruhan PS tadi malem yang belom kelar. Eh tapi pas manjat tembok taunya--"

"Taunya lo semua ketauan kan?"

Aku lantas tertawa, masa ada orang yang akan ngecot ketauan saat sedang manjat, itu artinya skill manjat mereka masih pemula dan belum mahir.

"Ya gitu lah, kita di seret ke BK dan dapet tampara bulak balik di sana."

"Main rapih dong harusnya. Terus kalian kapok?"

Dion kemudian menggeleng dengan santai.

"Enggaklah, masa segitu doang kapok. Sampe babak belurpun kita gak kapok kok."

"Tai lo. Sini gue bikin babak belur tuh muka."

"Mau dong di bikin babak belur sama Gwen."

Akibat ucapan Dion yang terdengar geli, kami berdua pun tertawa. Saat ku lirik jam tangan, tanpa sadar sekarang sudah pukul tujuh lebih. Kemudian aku langsung saja meminta Dion mengantarkan ku ke rumah.

Sesampainya di depan rumah, aku terkejut melihat keberadaan sebuah motor  yang terparkir di depannya dan seseorang yang menunggu tepat di depan gerbang rumah ku.

Tatapan orang itu seketika membuat diriku menelan ludah susah payah.

"Mampus gue." kata ku dengan suara pelan.

Gwen (a story about bad girl)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang