16. Gwen & Isi Tasnya

877 58 2
                                    

Setelah aku turun dari motor Dion, Dion lantas berpamitan kepadaku untuk pulang kerumahnya, setelah itu anggap saja urusanku dengan Dion saat ini selesai.

Dan selanjutnya aku harus segera menyelesaikan urusanku dengan orang yang sedang menatapku dengan tatapan garangnya.

Ku hampiri dirinya yang menungguku di depan gerbang. Setelah kami saling berhadapan, dia tiba-tiba mengarahkan jamnya tepat di depan wajahku.

"Setengah jam gue nunggu di sini."

"Siapa suruh gak masuk, bel ada tuh."

Setelah itu aku lantas membuka gerbang yang ada di hadapannku, saat aku membuka gerbang, ku dengar suara helaan nafasnya yang kemudian berganti dengan suara motor yang sedang di naiki.

Saat aku berbalik, aku melihat dia sudah berada di atas motor yang dalam keadaan hidup. Karena merasa bersalah kepadanya akibat telah membuatnya menunggu selama setengah jam sekaligus karena sikapku tadi, akupun menghampirinya kemudian meminta maaf kepadanya.

"Dan, maapin gue. Gue gak mau di ceramahin lagi sama Pak Agus. Plis ajarin gue malam ini."

Sedetik setelah aku melontarkan kata-kata itu, ku lihat ia malah berusaha menahan tawa. Dan aku otomatis kebingungan akan sikapnya itu.

Heyy apakah ada yang lucu di sini??

"Lo pikir, gue mau balik?"

Saking bingungnya, pangkal alisku menjadi bersatu.

"Haha. Orang gue mau markirin motor gue ke dalem rumah lo."

Mendengar jawabannya, aku lantas menggeram kesal. Rasanya bercampur aduk antara kesal, malu, dan gondok.

"Tai lo."

"Beraninya lo bilang gue tai. Lo mau buat gue balik?"

"Bodo amat Dan!"

"Yaudah gue balik."

Awalnya akan ku jawab pergi lo sono!, tapi ku pikir-pikir lagi mengenai ceramah membosankan yang akan menimpa ku esok hari.

"Jangan Dan." kataku dengan malas.

***

Zaidan menungguku di ruang tengah, tepatnya ruang keluarga, karena aku terlebih dulu membersihkan tubuhku yang sudah terasa lengket.

Sebelum aku mandi, aku meminta Bi Asih membuatkan Zaidan minuman hanggat dan menemaninya hingga aku kembali dari mandiku.

Setelah aku menyelesaikan mandiku yang terhitung kurang lebih setengah jam, aku kembali turun ke bawah dengan membawa tas ku. Di ruang tengah aku melihat Bi Asih dan Zaidan yang sedang mengobrol bersama sembari menonton salah satu siaran TV. Setelah kedatanganku, Bi Asih berpamitan kembali ke dapur untuk menyiapkan makan malam. Setelah itu aku mengambil tempat duduk yang semula di duduki Bi Asih, yaitu tepat di samping kanan Zaidan.

"Pinter ya lo ngulur-ngulur waktunya." Sindir Zaidan kepada ku yang baru saja duduk dan sedang asik menyisir rambutku yang masih basah.

Aku yakin ucapan itu ingin ia lontarkan sejak satu jam yang lalu, tepatnya sejak ia menungguku di depan gerbang.

"Yuk mulai."

Tidak mau hari semakin larut karena aku ingin segera tidur. Maka aku tak balas perkataannya barusan, karena jika di balas, entah kapan berakhirnya perdebatan kami.

Kulihat sepertinya dia mengalah, yang dia lakukan hanya mengeluarkan buku matematika dari tasnya.

"Keluarin buku matematika lo."

"Gue gak punya buku matematika. Adanya buku ini." Aku menunjukkan sebuah buku kepadanya, karena mamang hanya itu buku yang aku miliki.

"Buku apa?"

"Buku campuran."

"Gila lo ya, kita anak SMA. Tapi tingkah lo kaya anak STM."

"Bodo, gue kan gak pernah belajar."

"Mulai sekarang, satu buku buat satu pelajaran."

"Ogah ah berat. Tas gue udah berat."

Kemudian Zaidan meraih tasku yang kusimpan di atas meja, saat aku akan mengambilnya, Zaidan buru-buru menghindarkan tasnya dari jangkauanku.

Aku lantas pasrah, kemudian kuperhatikan dia yang mulai membongkar isi tas ku satu-persatu. Dan ekspresinya sedikit terkejut saat mengeluarkan benda-benda itu dari dalam tas ku yang isinya terdapat:

Sisir.

Parfum.

Kaca.

Satu pulpen.

Sampah permen.

Korek.

Dan rokok.

Untuk benda yang terakhir itu, dia langsung membelah dua bungkusnya tepat di depan wajahku. Jika bungkusnya saja langsung terbelah dua, maka isinya pun tidak akan jauh berbeda dengan nasib bungkusnya.

Mataku terbelalak melihat aksinya itu. Aksinya itu sudah seperti guru BK saat sedang merazia. Kejam tanpa perasaan!

"Heh gila lo!"

"Why?"

"Itu rokok gue."

"Emang punya lo."

"Terus kenapa lo patain gitu?!"

"Sengaja." jawabnya santai.

Saat ia menjawab itu dengan santai, ingin rasanya aku memiteskan lehernya saat itu juga, kesal oyy, sangat kesal rasanya!

"Mari kita mulai." sebelum membuka buku catatanya. Ia terlebih dulu memasukkan kembali barang-barang ku ke tempat awalnya, "unfaedah semua!"

Setelah rapih, ia mulai membuka buku catatanya dan mengajariku dari awal. Semuanya ia jelaskan dengan telaten dan serius, tapi masih tetap dengan nada cueknya.

Pada waktu itu aku mencoba memahaminya, tapi rasanya susah. Mungkin itu efek dari aku yang tidak niat, sehingga materi yang di ajarkan menjadi sulit di tangkap oleh otakku. Selain tidak niat, aku pun sedang berusaha menahan kantuk yang terasa berat, jadi boro-boro mencerna apa yang sedang di jelaskan, yang ada pikiranku terus memikirkan keingin untuk segera bergelung di kasur.

Zaidan beberapa kali menegurku, lalu menyuruhku pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka. Tapi sarannya itu mentah-mentah aku tolak, kubilang bahwa aku masih kuat. Padahal kan sebenarnya tidak, mau buktinya? Coba saja berikan aku bantal, tak lama aku pasti sudah tertidur di atasnya.

Aku juga sudah beberapa kali mencoba mengganti posisi agar kantukku menjadi hilang, tapi tetap saja tidak ada posisi enak yang dapat membuat mataku kembali segar. Hingga akhirnya aku memilih pasrah dengan posisi kepala yang kutaruh di atas tumpukkan kedua tanganku.

Kuperhatikan setiap rumus yang tertulis rapih di buku Zaidan, lalu ku dengarkan suara Zaidan yang sedang menjelaskan rumus yang di tunjuk oleh jari telunjuknya.

Tapi bukannya memahami, suara itu malah seakan-akan berubah menjadi lagu nina bobo yang membuat mataku tertutup perlahan-lahan, hingga akhirnya kesadaranku sepenuhnya hilang.

Gwen (a story about bad girl)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang