Chapter 6

934 104 20
                                    

Sebuah pohon besar dan indah karena dihias oleh lampu-lampu, dan juga rumput yang dihias dengan indah oleh lampu-lampu berwarna emas, membuat mata Alice memandang tempat ini dengan takjub. Harry juga senang melihat ekspresi Alice yang sepertinya terkesima dengan apa yang diperlihatkannya.

            "Harry, taman ini cantik sekali," ucap Alice dengan senyum lebarnya. "Bahkan mataku sampai berkaca-kaca."

            Harry cepat-cepat melihat wajah Alice, memang benar, di kedua mata Alice terdapat air mata yang menggenang. Harry terkekeh, begitu juga Alice. "Kau tidak apa-apa, kan?"

            "Aku baik-baik saja," balas Alice cepat. "Bagaimana bisa kau menemukan tempat ini?"

            "Memangnya kau tidak tahu tempat ini?" Alice menggeleng. "Aku pertama kali menemukan taman ini bersama Ibuku." Harry tersenyum, seketika mengingat saat pertama kali ia dan Emily datang ke tempat ini.

            Tiba-tiba selang air yang memancur untuk menyiram rumput, memancurkan airnya, sempat membuat Alice terkejut sedikit. Sepertinya memang sekarang jamnya untuk menyiram rumput-rumput ini.

            Harry tersenyum jahil, lalu menggendong Alice dari kursi rodanya dengan gaya bridal dan membawa gadis itu ke dekat selang air yang memancur. Alice berteriak-teriak namun juga tertawa, meminta Harry untuk menurunkannya. Namun Harry tidak peduli, ia tetap menghampiri pancuran air yang menyebar kemana-mana itu, dan berputar-putar di dekat sana sambil menggendong tubuh Alice.

            "Harry, stop," ujar Alice namun gadis itu juga terkekeh geli seiring air yang menyiprat wajah dan bajunya. "Ini dingin sekali, Harry, dan kau juga membuat make up ku luntur!"

            Harry tetap tertawa dan tidak peduli. Bagi Harry, bukan masalah besar kalau Alice sampai kehilangan make up dari wajahnya. Harry lebih suka melihat Alice tanpa make up, hanya saja lelaki itu tidak berani mengutarakannya.

            Merasa sudah cukup, Harry berhenti berputar dan menjauh sedikit dari sana, sehingga mereka tidak begitu terciprat air. Mereka sama-sama tertawa, mengatur napas mereka, dan saling menatap satu sama lain dengan jarak yang cukup dekat.

            Tak dapat dipungkiri, Alice sedari tadi melirik-lirik ke bibir Harry. Sesuai buku yang Harry baca, jika seorang gadis menatap bibir lelaki, tandanya ia ingin dicium. Sebenarnya, Harry ingin sekali mencium bibir Alice detik ini juga. Namun keberanian dan kepercayaan dirinya tidak sehebat itu. Walaupun wajah Harry sedikit-sedikit maju, namun lelaki itu masih belum berani melakukannya.

            Akhirnya lelaki itu tertawa lalu berjalan menghampiri kursi roda Alice dan menurunkan Alice di sana. Mereka sedikit basah dan sedikit kedinginan, namun kebahagiaan mereka malam ini cukup besar.

--

Claire memasuki rumah Sarah yang sudah ramai akan orang dan juga dentuman musik. Hal ini merupakan hal biasa bagi Claire yang notabenenya merupakan sahabat terbaik Sarah. Mereka sangat cocok bersahabat karena dunia seperti inilah yang mereka sama-sama suka.

            "Sarah," sapa Claire lalu menerima senyuman hangat dari Sarah. Namun Claire tahu ada sesuatu yang mengganjal dari Sarah. Gadis itu tampak sedang menunggu seseorang dan tidak begitu menikmati pesta yang ia adakan di rumahnya, dan Claire tidak tahu siapa yang Sarah tunggu selain dirinya. "Kau sedang menunggu seseorang."

            Ucapan yang lebih ke pernyataan itu membuat Sarah menghela napas berat. "Iya."

            "Siapa?"

            Sarah menatap Claire dengan tatapan kecewanya. "Harry."

            Claire terdiam sejenak. "Harry ... Evans?" Sarah mengangguk. "Jadi ... kau mulai tertarik dengan anak pendiam itu?" tanya Claire sambil senyum-senyum.

An Introvert Man's Love LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang