Chapter 32

409 50 0
                                    

Alice dan Laura sangat menikmati quality time antar mereka berdua. Walau hanya di kamar Alice, berdua, dan makan es krim, mereka berbagi cerita tentang apa yang mereka alami selama mereka tidak bertemu. Terutama Alice menceritakan bagaimana pertemuannya dengan Harry dan juga terapi kaki yang sedang ia jalani sekarang ini.

            "Lalu, bagaimana hubunganmu dengan David?" kini Alice bertanya. Laura dan David merupakan sepasang kekasih semenjak mereka masih SMA hingga sekarang. Dan bahkan hingga detik ini, setiap ada yang membahas David, pipi Laura akan memerah. Ya, seperti sekarang ini.

            "Kita masih bersama. Aku tidak menyangka hubungan kami akan sekuat ini." Laura terkekeh, begitu juga dengan Alice. "Walaupun kami sering bertengkar, tapi kami akan kembali lagi, dan akan terus begitu."

            "Berarti sekarang sudah tiga tahun, ya? Atau empat?"

            "Februari tahun depan kami resmi menjalani hubungan selama empat tahun."

            "Valentine?" Laura mengangguk. "Aku sangat iri padamu."

            "Aku yakin kau dan Harry juga bisa mencapai titik ini bersama." Alice tersenyum. "Oh ya, aku tidak bisa berlama-lama lagi di sini, Alice," ucap Laura tiba-tiba lalu beranjak dari tempatnya. "Ada rapat organisasi yang harus kudatangi di kampus. Terima kasih sudah memanggilku ke sini. Aku sangat senang bisa berbagi waktu denganmu lagi. Sampai berjumpa nanti, Alice!"

            "Sampai bertemu nanti juga, Laura. Hati-hati."

            "Sampaikan salamku pada Harry," ujar Laura tersenyum. "Bye!" Laura pun menghilang dari pandangan Alice. Alice tersenyum menatap Laura yang selalu bahagia.

            "Love is so beautiful."

***

"Yes!" seru Harry saat ia melempar batu ke sungai dan lemparan tersebut merupakan lemparan terjauh yang pernah ia lakukan. Alice tersenyum menatap Harry dari belakang, yang sedari tadi sibuk dengan lemparan batunya.

            Hari sudah gelap, namun bukan menjadi penghalang bagi Harry untuk tetap bersama dengan Alice. Merasa sudah lelah, Harry kembali kepada Alice, lalu duduk di kursi panjang bersama wanita itu.

            "Already sleepy yet, my baby girl?" tanya Harry lalu memegang tangan Alice.

            Alice tersenyum lalu menggeleng, senyumannya kembali hilang dengan cepat.

            "Kau baik-baik saja?" tanya Harry halus dan semakin mengeratkan genggamannya pada tangan Alice.

            Alice mengangguk cepat dan tersenyum. "Aku baik-baik saja."

            Harry tersenyum, namun senyumnya juga dengan cepat memudar. "Aku tahu kalau kau tidak baik-baik saja." Harry menatap Alice, namun perempuan itu tidak menatapnya balik, melainkan menunduk. "Bisakah kau beritahu aku ada apa sebenarnya? A-Apakah kau bosan?"

            "Tidak, tidak," jawab Alice cepat, kini ia memandang Harry. "Ada yang ingin kutanyakan padamu. Tapi kumohon kau tolong jawab pertanyaan ini dengan jujur, Harry."

            "Baiklah. Apa yang ingin kau tanyakan?"

            Alice menelan ludahnya, bersiap menerima jawaban apapun dari Harry. "Apa benar, k-kau dikucilkan di kampus karena berpacaran denganku?" dahi Harry langsung berkerut. "Teman-temanmu juga meninggalkanmu karena kau berpacaran denganku?"

            "A-Apa yang kau bicarakan, Alice? Ini sangat tidak masuk akal."

            "Jawab saja, apakah itu benar atau tidak," balas Alice. "Kumohon jawab jujur."

            Harry menggeleng. "Itu sama sekali tidak benar, Alice." Kedua tangan Harry memegang tangan kiri Alice. "Bukankah aku sudah katakan padamu kalau aku tidak begitu memiliki banyak teman di kampus? Aku hanya memiliki satu sampai dua teman di sana, dan mereka tidak peduli tentang siapa yang aku kencani, Alice." Alice menatap Harry. "Dan mereka juga tidak memiliki alasan untuk mengkucilkanku hanya karena aku mengencani seorang gadis lumpuh. Itu tidak benar dan sangat tidak masuk akal."

            "T-Tapi—"

            "Apakah kau percaya padaku?" Alice menatap mata biru Harry.

            "Aku hanya berharap kalau kau tidak membohongiku hanya untuk tidak menyakitiku."

            "Tidak. Ini memang faktanya, kalau apa yang kau katakan barusan itu sama sekali tidak nyata. Kuharap kau percaya."

            Alice mengangguk, merasa lega dan percaya dengan ucapan Harry. "Maafkan aku telah meragukanmu."

            "Tidak apa-apa," ucap Harry lalu mengelus pelan pipi lembut milik Alice. "Aku sudah menjawab pertanyaanmu dengan jujur, dan sekarang giliranmu untuk menjawab pertanyaanku dengan jujur." Alice menatap Harry dengan bertanya-tanya. "Siapa yang berkata ini padamu? Tidak mungkin kau memiliki pertanyaan seperti ini tanpa ada yang mengatakan hal ini sebelumnya padamu. Siapa, Alice?"

            "T-Tidak ada. Aku hanya memikirkannya saja sendiri." Maafkan aku, Harry.

            Harry menggeleng, wajahnya tampak serius. "Beritahu aku, siapa yang membuatmu memiliki pikiran seperti ini. Ini tidak mungkin muncul di kepalamu secara tiba-tiba."

            "Mungkin saja, Harry."

            Harry melepas genggaman tangannya dan sedikit menjauh dari Alice. "Kau berbohong."

            Alice menghela napas panjang dan menelan ludahnya. "Tapi, kau harus berjanji padaku untuk tidak memusuhi orang yang telah memberitahukan hal ini padaku, oke? Aku tidak ingin kalian jadi salah paham dan bertengkar hanya karena masalah sepele ini."

            Harry menoleh ke arah Alice. "Siapa dia?"

            "Temanmu. S-Sarah."

            Kedua rahang Harry mengeras, ia langsung memalingkan wajahnya dari Alice. Ia benar-benar tidak mengerti apa mau Sarah terhadap hubungan ia dan Alice. Apakah sebegitunya Sarah ingin memisahkan mereka berdua? Bagaimana kalau Alice mudah dihasut dan pergi meninggalkannya karena hal konyol seperti ini? Ia benar-benar tidak mengerti Sarah.

            "Harry?" panggil Alice. "A-Apakah kau marah?"

            Harry menoleh cepat seraya tersenyum. "No." Harry kembali mendekatkan duduknya dengan Alice, lalu memegang tangannya. "Alice, dengar, aku tidak ingin kau mendengar omongan orang-orang yang ingin memisahkan kita. Kau harus selalu berpikir positif dan tidak mudah dihasut, karena aku tidak ingin kehilanganmu hanya karena hal konyol seperti ini, oke?" Harry mengeratkan genggaman tangannya pada Alice. "Kita harus berjuang bersama melewati ini semua, oke Alice?"

            Alice mengangguk cepat. "A-Aku minta maaf, Harry."

            Harry tersenyum. "Tidak apa-apa." Harry memegang dagu Alice sehingga mata mereka saling mengunci satu sama lain. "I can't bare the thought of losing you."

            Alice menatap bibir Harry lalu menempelkan bibirnya dengan pria itu. Alice melumat bibir Harry dengan intens, tampak tidak ingin membiarkan lelaki itu pergi dari kehidupannya. Ia pun melepas tautan bibir mereka, kening mereka beradu satu sama lain. "I don't want to lose you too, Harry."

            Alice langsung memeluk Harry, begitu juga dengan pria itu. Harry mencium kepala Alice beberapa kali sambil menghirup dalam-dalam aroma dari rambut Alice. Harry benar-benar jatuh cinta, jatuh cinta dengan apapun yang ada dalam diri Alice. Her perfection and imperfection.

****

An Introvert Man's Love LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang