Chapter 8

763 86 13
                                    

Akhirnya, setelah berjam-jam berada di ruang kelas, Harry terbebas dari ruang kelas, dosen, dan perkuliahan. Sudah sore hari dan yang ia bayangkan adalah menonton TV series di rumahnya, dengan segelas susu panas, dan roti bakar. Harry hanya butuh merilekskan dirinya.

            Perjalanan Harry terhenti begitu melihat Sarah sedang berjalan. Ia masih belum minta maaf atas ketidakhadirannya pada Hari Sabtu di rumah Sarah. Lelaki itu memutuskan untuk bergegas menghampiri Sarah dan segera meminta maaf.

            "Sarah," panggil lelaki itu. Sarah mendongak dengan sebuah buku di pelukannya yang ia pinjam dari perpustakaan.

            "Harry," ucapnya lalu tersenyum cerah. "Ada apa?"

            "Aku ingin minta maaf padamu karena tidak datang ke pesta yang kau adakan dua hari lalu. Aku minta maaf."

            Sarah tersenyum. "Tidak masalah. Walaupun sebenarnya aku ingin sekali kau hadir."

            Harry semakin merasa bersalah melihat senyum Sarah yang tidak sebahagia sebelumnya. Namun demi Alice yang tidak ingin masuk ke rumah Sarah, ia harus menemani Alice. Walau sebenarnya Harry lebih senang berdua saja dengan Alice daripada berada di keramaian di rumah Sarah.

            "Maaf, Sarah. Kau tahu kan kalau itu ... sama sekali bukan duniaku." Harry tidak ingin mengatakan yang sebenarnya kalau ia lebih memilih bersama Alice daripada mendatangi pesta Sarah. Dan Harry tidak tahu kalau Sarah tahu ke mana Harry pergi saat acara di rumahnya sedang diadakan.

            "Iya, tidak apa-apa. Aku paham itu." Namun Sarah lebih memilih untuk berpura-pura tidak tahu dan tidak menginterogasi Harry. Ia tidak ingin Harry menjadi tidak nyaman berada di dekatnya.

            Harry tersenyum. "Terima kasih, Sarah. Kalau begitu, aku pulang duluan, ya."

            "Tunggu," ujar Sarah cepat, menghalangi Harry pergi. "B-Bolehkah aku meminta tolong padamu?"

            Harry mengangguk dan tersenyum. "Sure. What can I do for you?"

            Sarah menelan ludah dan melihat ke arah parkiran kampusnya. "Would you walk beside me through Brandon and his friends?" Harry menoleh ke arah tatapan Sarah, dan ia langsung mendapatkan Brandon bersandar di kap mesin mobilnya sambil dikelilingi teman-temannya. "I'm sorry but, you know, I'm afraid of them."

            Harry terkekeh. "Seharusnya kau tidak perlu takut pada mereka," ucapnya. "Lagipula, kalau aku berjalan di sebelahmu, aku akan sama sekali tidak membantu. Justru mereka bisa membuat kericuhan kalau melihat kau jalan bersamaku."

            "Tapi setidaknya aku merasa aman berada di dekatmu," ucap Sarah terang-terangan dan sukses membuat jantung Harry berdebar. "Ku mohon, tak ada yang bisa menolongku selain kau."

            Harry menghela napas berat. "Baiklah. Yuk," ajak Harry membuat Sarah tersenyum merekah lalu mereka berjalan bersama menuju mobil Sarah terparkir. Harry dan Sarah tetap menatap ke depan selama berjalan dan tidak melirik ke arah Brandon dan kawan-kawan sedikitpun. Namun justru Brandon yang melihat mereka dan gatal ingin membuat keributan.

            "Sarah!" panggil Brandon. Walaupun Sarah tetap berjalan dan tidak menghiraukan Brandon, Brandon justru menghampiri Sarah dan menghalangi Sarah dan Harry berjalan.

            "Apa lagi, Brandon?" tanya Sarah kesal. Harry hanya bisa menghela napas panjang melihat wajah menyebalkan Brandon.

            "Jadi, kau meninggalkanku dengan pria ini?" tanya Brandon berpura-pura tidak percaya lalu menatap Harry remeh. "Aku rasa, aku memiliki segalanya yang lelaki ini tidak punya. Kau tahu, 'milik'ku pastinya jauh lebih besar dari pada dia," ujar Brandon lalu tersenyum miring.

            "Kau benar-benar di luar garis kewarasanmu, Brandon!" bentak Sarah, ia juga malu di depan Harry seperti ini. Walau bukan Sarah yang berucap seperti itu, namun entah mengapa Sarah yang malu dengan kelakuan minus Brandon.

            "Brandon." Kali ini Harry yang bicara, dengan suara tenangnya. "Kau seharusnya menjadi pria yang dapat dihormati wanita karena kesopanan dan kecerdasanmu. Walaupun uangmu banyak, tetap saja sikapmu seperti orang miskin tidak terpelajar."

            Suara tenang Harry membuat Brandon naik pitam. Ia tidak suka dikata miskin, pokoknya, Brandon tidak suka dijelek-jelekin. "Wait a minute, who are you talking like that to me?" tanya Brandon tak percaya. "Kau tahu hampir semua orang dikampus ini menghormatiku!" bentaknya dengan kobar api di jiwanya. Memang benar, hampir semua orang yang mengetahui siapa Brandon itu, akan tunduk dan takut padanya karena Ayahnya memiliki peranan penting di kampus ini.

            "Well, aku bukan salah satu dari mereka," balas Harry tenang. Sarah tersenyum miring mendengar balasan Harry.

            Namun tak disangka ternyata Brandon sudah mencapai emosi tingkat teratas karena merasa direndahkan, dan dia pun langsung menonjok sudut bibir Harry, membuat beberapa perempuan yang melihat itu langsung berteriak, termasuk Sarah.

            "Brandon, stop it!" teriak Sarah lalu membantu Harry kembali berdiri tegak.

            "Kalau kau memang lelaki yang patut untuk dihormati," ucap Brandon, "tunjukan." Lalu ia tersenyum miring.

            Harry menahan kedua rahangnya. "Aku tidak ingin berkelahi dan aku tidak memiliki alasan apapun untuk memukulmu."

            Ucapan Harry membuat Brandon dan teman-temannya terbahak-bahak. Hal itu membuat Brandon merasa semakin memiliki kekuatan penuh dan merasa dirinya setinggi langit. Sarah juga terkejut mendengar balasan Harry. Pasalnya, Sarah ingin Harry memukul Brandon untuknya.

            "Memang benar kan ucapanku, kau ini tidak lebih dari seorang pecundang." Sebutan-sebutan pecundang pun langsung keluar dari mulut teman-teman Brandon pada Harry. Harry hanya dapat menahan sabar, walau ia juga ingin menonjok gigi Brandon sampai patah.

            Pukulan lagi-lagi mendarat di wajah Harry beberapa kali. Bahkan sampai Harry jatuh ke aspal, Brandon masih belum memberi lelaki itu ampun. Ia menarik kerah baju Harry dan menonjok pipi lelaki itu. Sarah benar-benar tidak tahu harus berbuat apa lagi.

            Brandon pun akhirnya menyudahi aksi pukul memukulnya. Karena Harry tidak membalas, semangat Brandon pun juga jadi menurun dan sudah tidak bergairah untuk memukul lelaki pecundang di hadapannya ini. Harry berdiri perlahan, dibantu oleh Sarah, dan membersihkan darah di sudut bibirnya. Kedua rahangnya juga mengeras menatap Brandon.

            "Excuse us," ucap Harry lalu bersama Sarah pergi melalui mereka. Brandon semakin merasa di awang-awang karena teman-temannya yang bersorak-sorai mendukungnya dan ia merasa menang karena ia tidak terpukul sedikitpun.

            Begitu Harry dan Sarah sudah sampai di depan mobil Sarah, gadis itu langsung menahan tangan Harry. "Harry, mengapa kau tidak memukulnya?"

            Harry tidak tahu mau menjawab apa, selain melihat ke aspal dengan kedua rahang mengeras dan menahan kepalan tangannya untuk tidak menonjok apapun di sekitarnya.

            "Kau harusnya menonjoknya, Harry. Jangan jadi pengecut!"

            Harry menatap Sarah dengan perasaan kecewa, dan Sarah tanggap akan hal itu, membuatnya menyesal telah berucap seperti itu. Harry mengeraskan kedua rahangnya. "Percayalah, aku ingin sekali memukul wajahnya." Harry pun langsung meninggalkan Sarah.

            "Harry!" panggil Sarah, membuat lelaki itu berhenti melangkah, lalu menoleh. "A-Aku minta maaf, aku ... tidak bermaksud mengatakan itu padamu. Menurutku, kau tidak pantas menerima ini, tetapi dia yang pantas."

            Harry tersenyum. "Tidak apa-apa." Lelaki bermata biru itu kembali melanjutkan perjalannya, meninggalkan Sarah dengan perasaan bersalah.

****

minta comment-nya yah hehehehe

An Introvert Man's Love LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang