Chapter 35

445 49 5
                                    

Harry memasuki kamar mandinya dan mendapati bathub-nya penuh dengan busa dan terdapat Alice di sana. Wanita itu terkekeh geli saat melihat Harry masuk ke kamar mandi. Harry tersenyum melihat bahu Alice yang terpampang dengan kulitnya yang putih juga rambut panjangnya yang diikat asal dan tampak sedikit berantakan, namun membuatnya terlihat semakin cantik. Jantung Harry berdebar cepat hanya dengan melihat Alice seperti itu dan asyik bermain dengan busa.

            "Ayo Harry, untuk apa kau melamun di sana?"

            Harry tersadar dari lamunannya lalu terkekeh. Ia melepas seluruh pakaiannya lalu memasuki bathub dan duduk di belakang Alice. Air hangat dan juga tawa Alice membuat pikiran Harry tenang seketika. Alice pun bersandar di tubuh Harry dan Harry langsung memeluk Alice dari belakang, memainkan rambut wanita itu yang sedikit basah.

            "Harry, kau itu bagaikan cupcake's cream bagiku."

            Harry tertawa. "Kenapa?"

            "Karena kau sangat manis dan juga berwarna di saat yang sama. Kau juga selalu membuatku bahagia, sama seperti yang cupcake lakukan padaku."

            Harry tergelak, lalu mencubit pelan hidung Alice. "Dan kau ... kau adalah kangguru bagiku."

            Alice terkekeh. "Kenapa?"

            "Karena ... itu adalah hewan kesukaanku."

            Alice terbahak lalu mencium lembut pipi Harry. "Kau aneh, tapi aku suka."

            "Aku lebih suka kamu." Mereka pun terkekeh, lalu menyatukan kening dan hidung mereka.

--

"Anak Ibu sudah pulang," ujar Martha menyambut kehadiran Alice yang sehabis di antar Harry pulang. Semenjak ia menjadi kekasih Harry, Alice lebih jarang berada di rumah. Tetapi bukan berarti Martha sedih, justru ia senang. Karena ia tahu Alice sangat bahagia jika menghabiskan waktunya bersama Harry.

            Senyum Alice mengembang. "Hi Mom." Tepat setelah ia berucap, ponsel yang berada di tas selempangnya berbunyi. Alice pun berjalan menuju sofa dan duduk di sana. Ia membuka tas selempangnya, mengambil ponsel, dan senyumnya merekah melihat nama Laura terpampang di ponselnya. Dengan senyum merekah, ia pun mengangkat telepon itu.

            "Lauraaa. Aku tahu kau sudah sangat merindukanku." Alice terkekeh.

            Namun sambutan Laura di luar ekspektasi Alice. Senyum Alice dengan cepat memudar begitu mendengar suara isakan di seberang sana. "A-Alice ... b-bisakah kau ke sini?"

            "Ada apa Laura? Apa kau sakit?" tanya Alice panik.

            Laura masih terisak, dan Alice menunggu sabar sahabatnya menjawab pertanyaannya. "D-Datang saja, Alice. Aku sangat membutuhkanmu."

            "B-Baiklah. Di mana kamu sekarang?"

            "Aku di rumah." Laura sesenggukan. "Apa kau bisa datang?"

            "Tentu. Aku akan datang sekarang, tunggu sebentar ya."

            "Terima kasih Alice."

            Sambungan telepon pun terputus. Kini Martha juga sudah menatap Alice dengan tatapan tanda tanya dan juga khawatir di saat bersamaan. "Bu, bolehkah aku pergi ke rumah Laura malam ini? Ia tampak sedang tidak baik-baik saja."

            "T-Tentu saja. Biarkan Ayah yang mengantarmu."

            Alice mengangguk. "Aku rasa aku lebih baik tinggal di sana selama satu malam, untuk memastikan Laura baik-baik saja. Boleh?"

            Martha tersenyum dan mengangguk. "Tentu saja. Sekarang bereskan barangmu dan aku akan bicara pada Ayahmu."

            "Terima kasih, Bu." Alice tersenyum singkat lalu bergegas membereskan keperluannya yang seadanya. Pikirannya benar-benar kacau. Alice jarang bahkan hampir tidak pernah melihat Laura sedih dan menangis sampai sesenggukan seperti ini. Ini benar-benar membuat Alice khawatir setengah mati dan tidak bisa berpikir dengan jernih.

--

Akhirnya, Alice dan Jonathan tiba di depan rumah Laura. Jantung Alice berdegup kencang dan ia berharap kalau keadaan Laura tidak seburuk yang ia bayangkan. Ia menggigit bibirnya, menatap rumah itu yang sudah lama tidak ia singgahi.

            "Besok Ayah akan menjemputmu pagi-pagi." Lamunan Alice buyar dan kini ia mencoba untuk fokus apa yang Ayahnya katakan. "Jangan lupa, besok kau ada jadwal terapi."

            "B-Baik, Yah. Terima kasih banyak sudah mengantarku."

            Jonathan tersenyum. "Sama-sama. Aku harap Laura akan baik-baik saja."

            "Aku juga berharap hal yang sama." Alice menunduk, menggigit bibirnya. "Baiklah, aku harus segera menghampiri Laura. Dadah Ayah."

            "Dadah." Alice mencium pipi Ayahnya lalu keluar dari mobil. Jonathan juga keluar, membantu Alice mengeluarkan tongkat dan tasnya. Setelah itu, Alice pun berjalan memasuki rumah Laura.

            Alice menekan bel rumah Laura. Ia masih menggigit bibirnya dan terus berdoa kalau Laura baik-baik saja. Tidak perlu menunggu waktu lama, pintu pun terbuka dan Ibu Laura terpampang dengan senyumnya, namun Alice dapat melihat raut khawatir di wajah wanita paruh baya itu.

            "Selamat malam. A-Aku diminta Laura untuk menemuinya."

            "Iya, Alice. Silakan masuk." Alice menggerakan tongkat dan kakinya memasuki rumah Laura. Ia memandang sekeliling rumah itu dan tidak banyak perubahan di sana. Rumah Laura membawa Alice bernostalgia saat mereka dan teman-temannya yang lain masih berteman dekat dan bermain di sini.

            "Sebenarnya, apa yang terjadi pada Laura?"

            "Kau bisa melihatnya sendiri di kamarnya," jawab Ibu Laura. "Ia benar-benar hancur."

            Mendengar ucapan Ibu Laura membuat hati Alice hancur, ia benar-benar khawatir. "B-Baiklah."

            Perlahan, Alice menaiki tangga dengan bantuan kedua tongkatnya. Ibu Laura sudah menawari pertolongan namun Alice dengan halus menolak. Ia sudah biasa naik tangga dengan keadaan seperti ini saat ia ingin menuju kamar Harry.

            Alice pun sampai di depan pintu kamar Laura yang tertutup. Matanya membulat lebar mendengar teriakan Laura yang histeris dan terdengar wanita itu menangis hebat. Jantung Alice berdebar tak karuan, segera ia membuka pintu kamar itu.

            Ternyata keadaan Laura jauh lebih buruk dari yang Alice kira, membuat Alice ingin menangis. Ia melihat Laura tampak seperti orang tidak waras, wajahnya memerah dan basah karena air mata, matanya juga merah, dan Laura sedang mencoba untuk mematahkan giginya dengan membuka botol wine menggunakan giginya. Alice benar-benar syok melihat Laura seperti ini.

            Laura berhenti begitu melihat Alice berdiri di ambang pintunya. Detik berikutnya, Laura kembali menangis deras, menatap Alice dengan tatapan hancur. Alice dengan cepat menghampiri Laura, menjatuhkan tongkatnya sembarang, dan segera berlutut dan memeluk Laura erat ke dalam dekapannya.

Laura menangis hebat di pelukan dan dada Alice, membuat Alice semakin mengeratkan pelukannya. Alice meletakan pipinya di puncak kepala Laura.

"Ada apa Laura? Apa yang membuatmu seperti ini?" tanya Alice sambil mengelus halus rambut Laura.

Laura tak berkata apa-apa dan justru semakin terisak hebat, sukses menyayat hati Alice. Alice pun juga diam, namun semakin memeluk sahabatnya erat.

****

vomment-nya yah! terimakasih:)

An Introvert Man's Love LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang