Chapter 40

375 47 5
                                    

Alice berjalan menghampiri Mia yang masih terkulai lemas di ranjang. Alice tersenyum menatap Mia namun kakaknya tidak dapat membalas senyuman itu. Justru yang Alice lihat adalah mata berkaca-kaca perempuan itu.

            Alice memegang tangan Mia, memberi kehangatan pada perempuan yang sedang sakit itu. "Ada apa, Mia? Mengapa kau lakukan ini?"

            Mia memalingkan wajah, lalu detik berikutnya ia menangis, membuat Alice panik. "I-Ini tentang Cameron."

            Alice menelan ludahnya. Apa lagi ini?

            "A-Ada apa dengan Cameron?"

            Mia membuka mulutnya, lalu menutupnya lagi. Ia menggeleng dan menangis semakin deras membuat perasaan Alice semakin tidak karuan. Antara sakit hati, ingin menangis, dan juga khawatir. Alice menggenggam tangan Mia erat, seakan memberikan kekuatan pada kakaknya. "Tidak apa-apa Mia kalau kau belum ingin bercerita. Kau lebih baik istirahat saja dulu. Jangan menangis seperti ini." Alice mengusap air mata Mia, sambil menahan air matanya agar tidak jatuh.

            Mia menggeleng lalu mulai menenangkan dirinya. "Hubunganku dan Cameron sudah berakhir."

            Mata Alice membulat. "B-Berakhir? Bagaimana bisa?"

            "Sudah sejak dua hari yang lalu," jawab Mia dengan tatapan kosong. "Ia memutuskan hubungan kami di depan banyak orang, di depan teman-teman kami. Dia mengejek-ngejekku, membuat aku ditertawakan oleh mereka semua." Mia menelan ludahnya, menarik napas panjang. "Ia juga menyuruhku untuk mati."

            Alice memejamkan matanya, seakan yang disakiti adalah dirinya sendiri. Kini ia tahu jelas apa motif bunuh diri Mia. Ini benar-benar menyakitkan. Ia tidak bisa bayangkan kalau Harry mengatakan itu padanya suatu saat nanti.

            "Mia, dengar, jangan biarkan dia membuatmu down seperti ini. Dia hanya lelaki brengsek yang memperlakukan ini padamu untuk menutupi rasa bersalahnya. Dia—"

            "Dia juga sudah pergi bersama wanita baru, Alice," tambah Mia dengan tatapan kosong.

            "Mia, justru kau harus bersyukur. Aku tahu ini tidak mudah karena kau mengalami kekecewaan dan kesedihan yang mendalam. Tapi kau harus bersyukur. Tandanya Tuhan sudah menjauhkanmu dari lelaki brengsek dengan secepat itu, sebelum kau merasakan sakit hati semakin dalam lagi kalau kau semakin lama bersamanya. Kumohon jangan begini."

            Mia menggeleng. "Kau benar Alice, tapi ini sangat tidak mudah. Aku sangat percaya padanya kalau ia tidak akan melakukan ini. Aku tidak pernah membayangkan sebelumnya kalau ditinggal olehnya harus sesakit ini." Mia menghela napas berat. "Selama aku berkencan dengan laki-laki lain, jika hubungan kami harus selesai, mereka akan membicarakannya dengan baik-baik, bukan dengan cara menyakitkan seperti ini." Air mata Mia kembali jatuh. "Dan cara Cameron sangat menyakitkan dan aku masih sangat menyayanginya di saat yang sama."

            "Maafkan aku Mia, aku tidak dapat melindungimu dari orang brengsek seperti itu."

            Mia tersenyum, mengelus tangan Alice. "Tidak, Alice. Aku yang sudah mengenal Cameron jauh darimu, tidak dapat menebak bagaimana sifat aslinya. Apalagi kau." Mia tersenyum. "Kau beruntung memiliki Harry. Percaya padaku, dia tidak akan menyakitimu."

            Alice mematung. Walaupun Mia berkata seperti itu, sebenarnya kepercayaan Alice pada Harry sudah goyah. Tidak ada yang bisa memastikan apa yang akan Harry lakukan pada dirinya ke depan.

            "How's your legs?" tanya Mia sambil memaksa menarik senyuman. Ia tidak ingin terus-terusan berbagi kesedihan, sementara ia tahu kalau Alice sedang bahagia karena kakinya sudah bisa kembali berjalan dengan normal.

An Introvert Man's Love LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang