Chapter 22

580 66 4
                                    

Alice tidak dapat tidur dan waktu terus berjalan. Sekarang sudah pukul setengah satu pagi lewat enam menit, dan Alice masih gelisah dengan segalanya yang terjadi hari ini.

            Pihak rumah sakit bisa saja meneleponnya hari ini atau besok, dan bisa saja mereka menyatakan kalau kaki Alice tidak memiliki harapan apapun untuk disembuhkan.

            Apa yang dikatakan Sarah kemarin juga bisa saja benar. Siapa yang tahu isi hati Harry? Dia lelaki pemalu, dan bisa saja ia lebih malu lagi untuk menunjukan Alice sebagai kekasihnya karena keadaannya yang seperti ini.

            Tapi yang diucapkan Jonathan juga benar. Kalau memang Harry malu mengakui Alice sejak awal, Harry tidak akan menjadikan Alice sebagai pacarnya.

            Hal-hal sederhana memang, tapi hal-hal tersebut membuat Alice tidak dapat tidur dan merasa dirinya payah. Ia mengusap wajahnya kasar dan mengacak rambutnya frustasi. Ia tidak bisa seperti ini terus. Ia pun mengikuti kata hatinya untuk mengambil ponselnya, dan menelepon Harry.

            Sementara itu, Harry sudah terlelap di alam mimpinya. Biasanya, laki-laki itu selalu mematikan ponselnya jika sedang tidur. Banyak alasan mengapa ia memilih untuk mematikan ponsel saat tidur. Namun semenjak Harry dan Alice resmi menjadi sepasang kekasih, Harry merasa enggan untuk mematikan ponsel. Ia takut ia tidak bisa membantu Alice jika saja di suatu malam gadis itu membutuhkannya.

            Dan kini mata Harry terbuka dengan berat. Suara ponselnya yang berbunyi membuat ia terkejut. Ia merasa masih sangat mengantuk. Perlahan, ia pun mengambil ponselnya, ingin mematikan alarm, dan—matanya langsung terbuka sempurna begitu melihat nama Alice. Ia pun duduk di kasurnya dan segera mengangkat telepon.

            "Alice?" tanya Harry dengan nada khawatir.

            Yang Harry dengar pertama kali saat itu adalah suara isakan. "H-Harry, aku tidak bisa tidur. Aku memikirkan segalanya, aku merasa insecure, aku benci semua ini." Alice kembali terisak.

            "A-Apa yang kau pikirkan, Alice? Apa yang membuatmu begini?"

            "Aku tidak tahu, but I'm sure these insecurities could eat me alive," jawab Alice sambil terisak. "I need your hug, please."

            Kedua rahang Harry mengeras. "Aku ke sana." Sambungan telepon pun terputus, dan Alice berharap waktu begitu cepat agar Harry segera tiba di sisinya.

            Tidak beberapa lama, jendela Alice terbuka perlahan. Perempuan itu sudah memberitahu Harry trik membuka jendelanya dari luar tanpa harus dibuka oleh Alice dari dalam. Kalau Alice berjalan dengan normal, mungkin ia tidak akan memberitahu hal ini pada Harry.

            Kini Harry dengan kaos putih polos dan celana panjang tidurnya terpampang di kamar Alice. Garis wajah lelaki itu terlihat sangat khawatir. Tak menunggu lama, Harry langsung menghampiri kasur Alice dan memeluk wanita yang sedang duduk itu.

            Alice menenggelamkan wajahnya di dada Harry dan menangis di sana, dan Harry mendekap gadis itu erat sambil mengelus lembut rambut Alice, mencoba menenangkan perempuan kesayangannya.

            "Harry, kumohon kau jujur," ucap Alice di tengah isaknya. "Apa kau malu mengakuiku sebagai pacarmu? Apa kau tidak akan memperkenalkanku di depan teman-temanmu karena kau malu? Kumohon jawab jujur, Harry. Aku tidak apa-apa."

            Alice tahu ini terlalu blak-blakan, tetapi ia butuh jawaban pasti.

            "What are you talking about? That's non-sense. I love you, and if I ashamed of you, I would not take you as my girlfriend, Alice." Alice terdiam, ucapan Harry sama persis dengan ucapan Ayahnya. "Dan aku tidak memiliki alasan apapun untuk malu."

An Introvert Man's Love LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang