Chapter 13

621 75 10
                                    

Satu buah mangkuk dan satu sendok makan sudah berada di tangan Sarah. Sebelum kembali memasuki kamar Harry, ia berusaha mati-matian untuk menutupi senyum yang mengembang di wajahnya. Ia tidak menyangka sebelumnya kalau ia akan berdua bersama Harry saja di rumah lelaki itu.

            "Aku datang," ucap Sarah membuat Harry membuka matanya. Kini Sarah berdiri di sebelahnya, menuangkan sup krim yang ia bawa untuk Harry.

            "Maaf membuatmu repot."

            "Tidak. Tidak sama sekali," balas Sarah. "Oh ya, Ibumu tadi bilang kalau ia pergi sebentar ke super market karena ada sesuatu yang mau ia beli, jadi dia menyuruhku untuk menjagamu. Tapi dia tidak akan lama, kok."

            "Baiklah."

            Sup sudah dihidangkan. Kini Sarah duduk di tepi kasur dengan semangkuk sup krim di tangannya. Wajah Harry tampak tenang, sedangkan jantung Sarah berdegup tidak karuan. Ia sudah beberapa kali berada di dekat Harry, tapi ia belum pernah segugup ini.

            Sarah menyendokan sup ke dalam mulut Harry. Kedua alis Harry terangkat dan ia sedikit bergumam, tandanya ia suka dengan rasa sup itu. "Enak sekali. Ini kau yang masak?"

            Sarah terdiam sejenak, lalu cepat-cepat ia menjawab, "i-iya, aku yang masak." Ia menyengir lebar.

            Harry mengangguk. Padahal seingat Harry, tadi Sarah bilang kalau dari kampus ia langsung ke rumah Harry. Tidak mungkin kan ia masak sup ini di kantin kampus atau di mobilnya?

            Ah, ya sudahlah.

--

Harry terlelap setelah sup sudah dihabiskan. Sarah tersenyum menatap wajah tenang Harry saat lelaki itu terlelap. Ia memperhatikan bibir pucat Harry. Walaupun bibirnya pucat, tetap saja Sarah tidak kehilangan gairah untuk ingin mencium lelaki itu. Ia menyentuh bibir Harry dengan telunjuknya.

            "Apakah bibir ini sudah mencium seseorang? Dan siapakan gadis beruntung itu?" Sarah mendekatkan wajahnya dengan Harry di mana lelaki itu sudah berada di bawah alam sadar. Namun suara pintu utama yang terbuka dan suara Emily yang berteriak memanggil nama Sarah, membuat tindakan gadis itu berhenti. Ia memejamkan matanya erat karena menahan kesal. Tapi Sarah tidak terlalu memikirkannya dan segera keluar dari kamar Harry.

            Sarah menuruni anak tangga dan menghampiri Emily di dapur dengan beberapa kantong kresek di meja dapur. "Bagaimana anakku?" tanya Emily sambil mengeluarkan beberapa barang yang ia beli dari super market.

            "He fell asleep," jawab Sarah. "Aku harap ia cepat membaik."

            "Semoga," balas Emily. "Oh ya, aku membelikanmu makanan untuk kau makan di atas bersama Harry. Ini, ambil." Emily tersenyum sambil memberikan kantong plastik berisi beberapa cemilan dan jus kemasan di sana.

            "Ah, kau tidak perlu repot-repot. Lagipula aku ingin pulang sekarang karena Harry sudah tidur. Terima kasih banyak atas perhatianmu."

            "Ya sudah, kau bawa pulang saja untuk kau makan selama perjalanan. Ayo ambil, aku membelikan ini khusus untukmu." Dengan ragu, Sarah pun mengambil makanan pemberian Emily.

            "Terima kasih banyak, Emily. Kalau begitu, aku pulang, ya."

            "Baiklah. Terima kasih banyak juga sudah meluangkan waktu untuk menengok Harry."

            "Bukan masalah. Bye Emily, titipkan salamku untuk Harry."

            "Pastinya. Hati-hati ya, Sarah." Sarah tersenyum lalu berjalan meninggalkan Emily dan rumahnya dengan penuh rasa gembira. Walau hari ini ia tidak begitu banyak berbincang dengan Harry karena lelaki itu sakit, tapi setidaknya Sarah sudah cukup mengenal Ibunya Harry.

***

"Halo, Harr—" senyum dan ucapan Riley terputus begitu yang membuka pintu rumah bukanlah Harry, melainkan Emily. Tapi Riley cepat-cepat kembali menarik senyum tiga jari khas miliknya.

            "Halo, ingin mencari siapa?"

            "Hi, I'm Riley," ucap Riley memperkenalkan diri dengan riang. "Aku mencari Harry. Apakah dia di rumah?"

            Emily menghela napas berat. "Iya, dia di sini. Tetapi, dia sedang sakit, jadi sekarang ia sedang istirahat."

            Riley menganga lebar, seketika ia ingin sekali melihat Harry. "S-Sakit? Sakit apa dia? Apa aku bisa menemuinya sekarang?"

            "Dia demam, tapi semoga saja sebentar lagi ia sembuh. Sayangnya, kau tidak bisa bertemu dengannya saat ini karena ia sedang tidur. Mungkin besok kau bisa menemuinya lagi." Emily tersenyum. Sebenarnya ini permintaan Harry pada Ibunya untuk menolak siapapun yang ingin bertemu dengannya hari ini. Walau Harry tidak tidur dan hanya menonton televisi di kamar seharian, tapi ia benar-benar butuh istirahat.

            "B-Baiklah." Raut wajah Riley tampak sedih dan kecewa. "Kalau begitu, aku pulang dulu. Sampaikan salamku pada Harry, semoga ia cepat sembuh."

            "Terima kasih, Riley."

            Riley melemparkan senyum singkat lalu meninggalkan rumah Harry. Pantas saja dari kemarin Harry tidak membalas SMS Riley, ternyata Harry sakit. Riley pikir, Harry sudah memiliki pacar baru sehingga tidak berniat membalas SMS darinya.

--

Keluarga Kent sedang makan malam bersama, tetapi tidak ada Riley di sana. Mereka tertawa mendengar cerita Mia tentang apa yang ia alami hari ini saat sedang melakukan riset ke sebuah perusahaan untuk skripsinya. Mia seakan-akan memiliki sifat bipolar. Terkadang ia menjadi gadis yang lucu dan ramah, tetapi ia bisa saja berubah menjadi gadis menjengkelkan di dunia ini kalau jutek dan galaknya sudah keluar.

            Tawa mereka mereda saat melihat Riley turun dari kamarnya dengan pakaian yang sudah siap untuk pergi, menghabiskan malam ini di luar bersama teman-temannya.

            "Mom, Dad, I want to go to my friend's party right now. Bye!" Riley tersenyum ceria lalu segera pergi dan berjalan sedikit agak lambat karena high heels-nya.

            "Riley, kupikir kau berada di rumah Harry sekarang, bukannya tadi kau mau ke sana?" ucap Jonathan lalu memakan ikan salmonnya.

            Mendengar nama Harry membuat Alice terdiam. Semenjak kejadian Sarah mencari Harry kemarin, ia tidak menghubungi Harry sama sekali, begitu juga dengan Harry.

            "Y-ya, aku tadi sempat ke sana, Ayah. Namun Ibunya Harry mengatakan kalau ia sakit, jadi aku tidak dapat mengunjunginya."

            Mata Alice langsung membulat sempurna mendengar kabar Harry sedang sakit. Jantungnya berdegup kencang dan pikirannya tampak was-was. Ia ingin sekali tahu bagaimana keadaan Harry sekarang. Apakah ia sakit parah? Apakah keadaannya memburuk? Sakit apa yang ia alami? Apakah—

            "Alice, aku tahu kalau kau sudah tahu tentang ini, kan?" tanya Riley lalu menatap Alice tidak suka.

            Masih dengan mata membulat, Alice menggeleng. "T-Tidak. Harry tidak memberitahuku apa-apa."

            "Berarti kau memang bukan yang spesial untuknya," ujar Riley santai namun wajahnya tetap kentara kalau ia tidak suka dengan kedekatan Alice dan Harry. Ucapan Riley barusan membuat Alice menunduk dan hatinya terasa tertohok. Ada benarnya juga ucapan Riley.

            "Ya sudah, kalau begitu aku pergi dulu, ya. Daah!" Riley kembali tersenyum riang lalu pergi meninggalkan rumahnya. Jonathan, Martha, dan juga kedua anak bungsunya sudah hapal dengan sikap Riley yang lebih suka menghabiskan waktu bersama teman-teman daripada bersama keluarga, dan bagi mereka itu bukan sebuah masalah besar.

****

An Introvert Man's Love LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang