25. Kembang api dan...

8.7K 905 38
                                    

"Kenapa aku tidak bisa bertemu dengan Jimin?"

Suara Wonwoo kian meninggi dengan rahang terlihat mengeras. Dihadapannya, Jeon Jungkook hanya tersenyum sinis dan dengan santainya merapikan beberapa botol soju yang diminumnya semalaman.

Wonwoo tidak pernah semarah ini sebelumnya, dan Jungkook jelas mengetahui itu. Tapi, sesuatu dalam diri Jungkook menolak kehadiran sang kakak untuk kembali disisi Jimin.

"Kau sudah punya Chaejin noona. Kenapa masih mengharapkan Jimin?"

Cukup. Wonwoo sudah dibuat muak dengan sikap kekanakan Jungkook. Kepalan tangannya segera dilayangkan ke sudut bibir Jungkook, membuat sang adik meludah di lantai dengan bibir berdarah.

"Dengar. Meskipun kau itu adikku, tapi Jimin jelas lebih penting darimu. Dia adalah prioritasku."Wonwoo berucap dengan penuh penekanan, namun Jungkook beranggapan jika sang kakak sangat tidak tahu malu.

Manik hitamnya menatap Wonwoo dengan tajam, kemudian menunjukkan 2 buah tiket pesawat yang akan berangkat ke New York.

"Kami akan hidup bahagia di New York. Jadi, jangan datang untuk mengusik dengan wajah tak tahu malumu itu."

Mulut Wonwoo terkatup rapat. Dunianya seakan hancur dengan tidak bisa melihat Jimin beberapa bulan belakangan ini, dan sekarang sang adik berniat menculik Jimin darinya.

"Aku tahu kau masih mencintai Chaejin, Jeon."Jungkook berhenti melangkah sehabis mengemasi pakaiannya. Dia berencana untuk menginap di apartemen baru Jimin lagi.

Kepalanya menoleh dengan raut sepongah mungkin. Jungkook tidak akan goyah hanya karena Chaejin, dan dia berambisi untuk mempertahankan Jimin disisinya.

"Tidak. Aku hanya ingin Jimin. Tidak ingin yang lain."

●●●

Beberapa hari belakangan ini Jungkook tidak lagi datang menemuinya. Jimin seorang diri di apartemen milik Jungkook. Semuanya terasa asing bagi Jimin.

Tinggal menghitung menit menuju malam pergantian tahun baru, tapi Jimin tidak punya kenangan khusus tentang tahun ini. Karena, poros kehidupannya hanya berputar di sekeliling Wonwoo. Tentunya, sebelum Jungkook datang untuk menghancurkannya.

Jungkook yang sekarang sangat berbeda. Lebih posesif dan terkesan otoriter. Jimin dibuat tidak nyaman karenanya. Belum lagi tentang Jungkook yang mengurungnya seorang diri disini.

Kepalanya berdenyut sakit dengan peluh memenuhi sekujur tubuhnya. Jimin berjalan gontai menuju dapur, sebab ada perasaan membuncah dari dalam dadanya.

Sebuah pisau stainless diatas pantry mengalihkan fokusnya. Jimin tidak pernah lagi melakukannya sejak ada Wonwoo, namun sekarang semua rasa sakit itu merasuki tubuh ringkihnya. Memaksa Jimin untuk segera mengakhiri hidupnya diakhir tahun ini. Karena, Jimin hanyalah seonggok sampah.

Tangannya dengan cepat menyambar pisau itu. Jimin yakin jika Jungkook tidak akan datang, jadi barang seorang pun tak dapat membantunya.
Pisau itu diangkat setinggi mungkin diatas pergelengan tangannya. Jimin menarik nafas panjang, lalu memejamkan kedua matanya. Sudut matanya mengeluarkan air mata, bertepatan dengan itu pisau mengenai urat nadinya.

Darah segar mengalir tetes demi tetes, dan Jimin sudah duduk bersimpuh di lantai untuk menunggu ajalnya. Namun, takdir tidak mengizinkan Jimin untuk berakhir dengan begitu mudahnya.

Karena, masih begitu banyak penderitaan yang harus dirasakannya sebelum pergi menemui kedua orang tuanya.

●●●

Jemari mungilnya yang terkulai lemas perlahan mulai bergerak, menimbulkan sedikit harapan bagi Jungkook yang menatap sendu pada sosok Jimin yang begitu rapuh.

Namja itu semakin mengeratkan genggamannya di tangan Jimin, lalu mengecup puncak kepala Jimin berkali-kali. Berusaha memberikan kekuatan pada Jimin agar menghadapi pahitnya hidup bersama.

"Jimin?"

Tak ada respon yang diberikan si mungil, membuat Jungkook kembali terisak. Dia meletakkan kepalanya diatas perut Jimin, menyesali semua perbuatan kejamnya pada sosok Jimin yang tak tahu apapun.

"Maafkan aku,"isaknya penuh penyesalan. Tapi, itu sudah terlambat. Kata maaf tak dapat mengubah apapun, baik di masa lampau atau pun masa depan.

Diluar sana, para manusia yang tidak tahu apapun tentang betapa rapuhnya sosok Jimin mulai menikmati pancaran sinar kembang api yang begitu indah di malam tahun baru.

Jungkook masih menangis, menyebabkan sweater abu-abu miliknya yang dipakai oleh Jimin basah. Harusnya ini menjadi malam penuh sejarah untuknya dan Jimin, harusnya ia melihat senyum dan tawa lebar Jimin yang begitu menghangati hatinya.

Sebuah elusan mendarat diatas kepalanya, Jungkook mendongak untuk mendapati sosok Jimin yang tersenyum dengan mata berkaca-kaca.

"Ji──min?"panggilnya yang dibalas senyuman lembut dari sang mungil.

Tangan kekar miliknya dengan cepat melingkar di permukaan perut Jimin. Memeluk si mungil dengan erat, karena tak ingin kehilangan Jimin untuk yang kesekian kalinya.

Jimin hanya bisa diam saat menerima perlakuan Jungkook. Namja itu memang ada di sisinya, tapi Jimin tetap merasa kosong.

●●●

"Jangan tinggalkan aku lagi."

Jungkook berbisik dengan kedua tangan melingkar pada Jimin yang sedang berdiri di balkon. Pemuda mungil itu hanya membalas dengan mengelus jemari Jungkook, namun maniknya tetap memancarkan kesedihan yang mendalam.

"Jiminie tidak suka tinggal bersama Kookie,"rajuknya dengan bibir memberengut kesal.

Bibir Jimin mengukir senyum, kemudian membalikan tubuhnya agar bertemu manik gelap Jungkook. Ah, jangan lupakan raut Jungkook yang dibuat seimut mungkin.

Dengan cepat ia mendekatkan bibirnya dengan milik Jungkook, mengecupnya dengan singkat sebelum tersipu malu dengan kepala tertunduk.

"Jiminie sangat sulit ditebak,"ucap Jungkook dengan gemas saat melihat pemuda Park itu.

Kepala Jimin masih tertunduk dengan pipi merona merah.

"Katakan saja jika tidak suka tentang apapun, arasseo? Jangan menyimpan semuanya di dalam hatimu seorang diri. Beri tahu aku. Semuanya."

Manik Jimin menatap Jungkook dengan pandangan kosong. Tangannya yang masih berbalut perban perlahan terangkat untuk mengelus surai Jungkook dengan pelan.

Kedua mata Jungkook pun terpejam untuk menikmati sentuhan halus Jimin yang begitu menenangkan hatinya. Sungguh, Jungkook tidak pernah sekalut ini sebelumnya. Ia tidak begitu menyadari betapa rapuhnya Jimin.

Belah bibir tebal milik Jimin menyentuh bibir tipis Jungkook. Mengecupnya dengan singkat yang sontak membuat Jungkook termangu.

"Aku punya firasat buruk,"kata Jungkook saat merasakan gelagat aneh seorang Park Jimin.

Jimin balas tersenyum, kemudian mengalihkan atensinya untuk menatap perayaan tahun baru malam ini. Bunyi kembang api yang samar-sama didengarnya, lalu bisikan hangat Jungkook tepat di telinganya.

"Aku mencintaimu, Jim."[]

(...Pengakuan)

●●●

End smpai di sini aja ya 💕

Atau, ada yg mau kasih sran tentang endingnya?

A Silent Voice [KM]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang