CW••12

2.1K 138 13
                                    

Hari ini adalah hari Sabtu, hari yang sangat disukai oleh murid-murid yang tidak mengikuti ekstra kulikuler. Sebab hari Sabtu adalah hari libur bagi pelajar SMA, tapi tidak dengan yang mengikuti ekstra.

Begitu juga dengan Dinata Tunggal. Sekolah berbasis internasional itu juga menjalankan sistem full day lima hari, Senin sampai Jum'at dengan hari Sabtu libur tetapi tidak dengan yang mengikuti ekstra atau yang memiliki kepentingan dengan sekolah.

Tapi tidak dengan cowok yang memakai baju basket warna merah dengan nomor punggung yang tercetak jelas. Angka delapan. Cowok itu tampak sangat berbeda dengan murid lain yang lesu, tak bersemangat, serta malas. Tapi cowok itu tidak, wajahnya berseri-seri.

Apalagi ketika melihat sosok cewek yang menarik perhatiannya dari pertemuan pertama dia dan cewek itu. Kakinya menuntun untuk mendekati cewek itu.

Di sisi lain, Deeva menyeka keringat di dahinya menggunakan handuk hitam kesukaannya. Cewek itu baru saja selesai melakukan shooting dan mengajarkan teknik itu pada juniornya.

"Cantik banget sih."

Deeva menoleh. Di sampingnya duduk cowok berbaju basker merah yang mengerling jahil padanya. Cowok itu adalah murid baru di sekolahnya yang selalu tebar pesona.

"Minggir!" Usirnya ketus.

"Gak mau. Gue mau nemenin cewek cantik di samping gue ini." ucap cowok itu sambil menggeleng.

Cih!

"Hari ini lo ngeselin sumpah. Udah sksd, susah banget diatur, terus sekarang gangguin gue." Ucap Deeva ketus.

"Terserah gue dong."

"Serah lo dah serah." Ucap Deeva mengalah.

Hari ini Deeva tak ingin mencari musuh, bertengkar, dan menjaili. Deeva tidak mood.

Aaron terkekeh. Melihat cewek di sampingnya yang kesal memberikan kesan tersendiri bagi cowok itu.

Memang Aaron masih dua bulan bersekolah di Dinata Tunggal, tapi entah kenapa cowok itu merasa sudah mengenal cewek di sampingnya.

"Lo udah selesai kan?"

"Udah."

"Yuk!"

Aaron berdiri sambil menarik lembut tangan Deeva agar cewek itu mengikutinya.

"Mau ke mana? Berhenti bentar, tas gue ketinggal." Tanya Deeva seraya berhenti.

"Tinggal aja." Jawab Aaron enteng.

"Buset. Enak aja lo tong kalau ngomong." Deeva menabok lengan Aaron keras.

"Santai kali Deev, Rehan udah gue suruh ambil. Sekarang lo ikut gue, tapi sebelum itu, kita makan dulu."

^^

Setelah memaksa Deeva menghabiskan semua makanan yang Aaron pesan, mereka memutuskan untuk pulang. Tetapi Deeva tidak ingin pulang terlebih dahulu.

Jadi di sinilah mereka. Duduk di dalam mobil di tengah kemacetan yang melanda ibukota ditemani dengan langit malam yang dipenuhi bintang.

"Kita mau ke mana sih? Udah tiga jam kita duduk di dalam sini. Pantat gue panas, boy." Keluh Deeva kesal.

"Sabar. Lagian salahin mereka yang buat macet jalan." Jawab Aaron seraya menunjuk kendaraan lain yang juga ikut terjebak macet.

"Ngapain disalahin kalau mereka gak salah? Ogeb lo." Tanya Deeva dengan umpatan di akhir ucapannya.

"Yaudah diem. Jangan banyak bacot, lama-lama lo kayak cewek aja." Ucap Aaron tegas.

"E-eh, apa-apaan lo?" Nada suara Deeva naik satu oktaf.

"Apa?"

"Maksud lo bilang kalau gue kayak cewek itu apa? Gue cewek tulen tahu!" Ucap Deeva tak terima.

"Iya tempe. Gue tempe kalau lo itu cewek tulen, tapi sifat lo yang tomboi dan nakal buat gue ngeraguin jenis kelamin lo." Jawab Aaron santai.

Bibir Deeva memberenggut kesal. Enak saja, cowok ini berkata demikian. "Dikata gampang jadi cewek, harus feminim lah, diet lah, pake high heels lah, ribet. Enakan pake sneakers, udah ringan, cocok buat dipake apa aja dan gak ribet."

"Yaudah lo cewek tulen. Sekarang diem, jangan banyak bacot."

"Ini masih jauh ya?" Tanya Deeva setelah lama diam.

"Kalau dibilang jauh, gak seberapa jauh. Tapi kalau dibilang dekat, ya gak dekat-dekat amat." Jawab Aaron sambil mengangkat bahu acuh.

Deeva mengangguk mengerti. Lalu cewek itu tampak sibuk dengan ponselnya. Entah itu membuka Instagram, nge-scroll timeline, dan nonton Youtube hingga bosan.

Mobil bergerak maju lima meter setiap dua puluh menit sekali. Tapi tetap saja, mobil Pajero hitam itu masih di kawasan macet.

Bosan.

Mungkin lima huruf satu kata itu yang cukup menerangkan keadaan mereka saat ini. Sudah empat jam mereka berdua duduk diam tanpa melakukan apapun selain melihat kendaran lain di samping kanan kiri dan depannya.

Deeva menguap. Matanya memerah dan berair tanda menahan kantuk yang luar biasa. Cewek itu meminum air yang tersisa di botol hingga habis.

"Tidur aja. Kayaknya ini bakalan lama."

Deeva menggeleng. "Lo udah ngantuk Deev. Lihat! Mata lo merah." Ucap Aaron tegas.

Namun itu tidak berlaku bagi Deeva. Cewek itu masih tetap menggeleng.

"Senengin gue sekali-kali gak bakal buat lo mati Deev. Jadi sekarang lo tidur!"

"Tap--"

"Gue gak terima penolakan dalam bentuk apapun!" Potong Aaron dengan nada tegas dan menaikkan suaranya satu tingkat.

Deeva bergumam. Ingin membantah, tapi melihat mata Aaron yang menatap tajam dirinya membuat nyali Deeva menciut.

Takut dengan tatapan Aaron yang seakan melasernya. Deeva memejamkan matanya yang semakin berat lalu tertidur pulas.

"Nah gitu kek tidur. Sekali-kali sikap keras kepala lo harus dihilangin Deev."

^^

Alunan nada yang membentuk harmonisasi lagu menggema di taman yang dipenuhi bunga tulip berbagai warna. Lebih dari.sepuluh pasang tangan memainkan alat musik tradisional angklung, memanjakan ribuan pasang telinga yang mendengarnya.

Puluhan anak-anak berusia sekitar sepuluh sampai lima belas tahun memainkan alat musik tradisional khas Jawa Barat itu dengan sangat profesional. Mereka terlihat sangat kompak. Permainan mereka begitu memukau para pengunjung taman yang didominasi oleh pasangan muda-mudi yang sedang dimadu kasih.

Cewek berambut coklat terlihat sangat menyukai pertunjukan yang baru selesai itu. Rasa kantuk dan kesal karena telah dibangunkan secara paksa,hilang sudah.

"Lo tahu darimana kalau di sini ada kayak gini?"

"Ini." Jawab cowok di sebelahnya sambil mengulurkan selembar kertas.

"Browser? Gue kira cowok model berandalan kayak lo gini gak akan mau baca browser murahan kayak gini." Ejek Deeva seraya mengambil browser di tangan Aaron dan membacanya.

"Enak aja lo. Gini-gini gue cowok pecinta alat tradisional angklung." Sahut Aaron membela diri.

Deeva terkekeh dan mengangguk. Matanya mengarah pada tulisan di browser berwarna biru putih itu. "Desa ini ulang tahun?"

"Yoi. Makanya gue ngajak lo ke sini. Jarang banget desa ini ngadain acara kayak gini, bahkan gak pernah." Terang Aaron.

"Lo sering ke sini?"

"Gak terlalu sering, tapi buat kenal sama mereka mungkin udah cukup." Jawab Aaron seraya menunjuk gerombolan remaja yang sibuk mengembalikan angklung.

"Lo kenal mereka?" Aaron mengangguk. "Hebat!"

"Mau dong dikenalin sama mereka. Gue juga mau diajarin main angklung."

^^

RADHIKAEKA

25 JANUARI 2018

Cruel WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang