CW••17

1.3K 99 6
                                    

Silau.

Kata itu adalah kata pertama yang dirasakan gadis cantik keturunan Germany setelah dirinya terbangun dari pingsannya. Deeva terbangun dengan tubuh yang terasa lebih baik dari sebelumnya. Pusingnya sudah agak mendingan. Panas di tubuhnya sudah agak turun. Ya, meskipun masih belum sembuh total.

Dari balik tirai berwarna putih susu yang tertutup, Deeva melihat sinar matahari yang menerobos masuk melalui celah-celah tirai. Dirinya pingsan sudah berapa lama? Kok udah pagi aja.

"Tau d-"

"Non sudah bangun?"

Deeva menoleh setelah mendengar pertanyaan itu. Di sana berdiri pembantu berusia dua puluh satu tahun sambil membuka pintu kamarnya. "Ayo makan dulu, Non pasti lapar,"

Mbak Rari- pembantu baru di rumah Deeva yang menggantikan pembantunya dulu yang sekarang sedang mengambil cuti untuk beberapa bulan kedepan- seperti bisa membaca pikiran dan kondisi perut Deeva yang meraung-raung.

Deeva merasa pembantunya ini benar-benar orang baik, bukan seperti dugaannya. Deeva merasa tidak enak. Ah, dirinya sekarang pasti telah berdosa karena sudah su'udzon terlebih dahulu.

Orang baru bekerja hari ini dan merupakan orang asing bagi Deeva ini sudah menunjukkan rasa khawatir dan cemasnya. Itu dibuktikan dengan pancaran mata dan nada ucapannya.

"Ayo dimakan Non, keburu dingin." Kata Mbak Rari dengan suara halus khas seorang ibu yang mengkhawatirkan anaknya yang sakit.

Sudah berapa lama ya?

Cewek itu tersenyum miris. Sudah lama dia tidak pernah merasa dikhawatirkan oleh seseorang begini. Rasanya baru pertama kali mengalami hal seperti ini. Mbak Rari juga mengingatkan Deeva dengan kehangatan orang yang melahirkannya dulu. Rasanya Dee-

"Ayo Non, duduk."

Lamunan Deeva buyar karena Mbak Rari sudah menarik tangan Deeva untuk duduk. Mbak Rari mengambil kursi belajar dan duduk di kursi itu. Di depan Mbak Rari sudah ada nasi putih, semangkok sup, obat-obatan, dan segelas air putih.

"Non Deeva gak suka, ya?" Tanya Mbak Rari ketika melihat Deeva hanya memandangi hidangan yang sudah ia siapkan.

"Suka. Deeva. Panggil Deeva aja, kita gak beda jauh kok."Deeva menarik bibirnya, mencoba tersenyum semanis mungkin pada perempuan yang merupakan perempuan kedua yang mengkhawatirkannya setelah pembantunya dulu.

"Untung deh, jadi Mbak Rari gak akan buat makan lagi. Sayang kan kalau dibuang." Ucap Mbak Rari sambil tersenyum.

Deeva tertegun, "Kalau Deeva gak mau makan, makanannya selalu dibuang ya?" Tanya Deeva pada Mbak Rari yang sedang menyuapi Deeva.

"Iya. Kata ibu itu kalau Non Deeva gak mau makanannya dibuang aja, soalnya kaum kita atau kaum miskin gak boleh makan makanan Non Deeva. Apalagi kita harus menjaga kebersihan makanan Non Deeva agar tetap higienis dari kuman dan bakteri yang ada di tubuh kita."

"Apa-apaan sih kalian ini. Deeva gak mementingkan hal kayak gitu. Itu terlalu sombong bagi anak yang bahkan belum lulus sekolah kayak gini. Mulai sekarang, kalau Deeva gak mau makan, mending kalian makan. Apalagi jumlah kalian banyak banget, pasti cepat habisnya." Tegas Deeva dengan wajah pucatnya.

"Baik Non."

Setelah mengatakan itu, Mbak Rari pergi meninggalkan Deeva sendirian di kamarnya yang luas dengan segala keheningan yang melanda.

Setelah beberapa saat Deeva memutuskan mengambil jaket dan turun menuju garasi. Dan tak lama kemudian, Deeva pergi meninggalkan rumahnya meskipun dengan wajah pucat dan pusing yang masih mendera.

^^

Hari sudah mulai menampakkan warna orange dan matahari telah terlihat tenggelam sebagian di ufuk barat. Hawa dingin mulai terasa menusuk kulit. Terlihat beberapa orang mulai beramai-ramai untuk pulang.

"Huh!"

Deru nafas yang tidak teratur terdengar. Mengisi sebuah bangunan kosong yang terawat di perbatasan kota.

Bugh.

Suara tinjuan dan dentuman antara benda satu ke benda lain terdengar sangat jelas di pancra indera telinga. Satu pukulan. Dua pukulan. Tiga pukulan. Hingga ratusan pukulan tidak membuat si pemukul jera.

Keringat terus-menerus muncul dari pori-pori kulit si pemukul. Kaos putih si pemukul sudah basah oleh keringat, tapi si pemukul seolah kehilangan rasa lelahnya dan terus memukul samsak berukuran 90 cm di depannya. Tangannya terkepal erat, seolah kepalan itu siap kapan saja meremukkan wajah musuh.

Sepuluh menit terlah terlewati, si pemukul itu menyudahi pukul-memukulnya. Dilepasnya sarung tinju berwarna merah yang menutupi telapak tangan hingga pergelangan tangannya. Dilepasnya topi hitam bertuliskan fuck bitch! yang munutupi kepalanya, rambut hitam panjang berkilauan mulai tampak ketika topi itu telepas.

Cewek itu- Deeva- meraih botol air mineral di dekatnnya dan menenggaknya hinga tandas. Muka pucat masih tergambar jelas di wajahnya. Bibirnya pun masih tetap pucat seperti beberapa jam yang lalu saat dia memutuskan keluar rumah untuk menghindari keadaan sepi yang terjadi di rumahnya.

Deeva menatap kosong samsak yang sudah tidak bergerak. "Kevin, lo baik-baik aja kan di sana? Jangan lupa balik Vin. Apalagi gue ngerasa kalau dia udah balik lagi, tapi itu masih perasaan gue." Deeva mendesah, cahaya di matanya yang sayu mulai redup.

"Lo tau kan, kalau firasat gue gak pernah melenceng sedikit pun?"

"Dan lo tau Vin, beberapa hari lalu gue dikejar mobil sedan hitam. Rasanya seperti kembali ke masa-masa dimana lo masih jadi supir gue, haha. Lo tau pasti gimana takutnya gue saat waktu mobil kita dikejar preman liar, gue takut banget. Apa jadinya jika itu terjadi waktu lo gak ada di samping gue?"

"Huh! Itu terjadi beberapa hari yang lalu Vin. Gue takut banget. Takut ketanggkap, takut mati tertembak, takut ninggalin lo, takut gak bisa nyeritain apa yang terjadi di sekitar gue waktu lo gak ada di samping gue. Untung aja lo dulu pernah ngajarin gue cara ngehindar dari mereka. Tapi-" Monolog Deeva berhenti sesaat. Matanya memancarkan keraguan dan ketakutan yang jelas.

"Vin, jika nanti lo balik dan gue gak nyeritain ke lo tentang semua kebenarannya, tapi lo malah tahu dari orang lain yang bahkan orang itu adalah orang yang sangat lo benci. Gue mohon maafin gue. Gue- Gue hanya takut lo tahu semuanya dan lo bakal ngamuk dan nyelakain semua orang di sisi lo, terutama gue." Deeva menghentikan ucapannya sejenak.

Cahaya redup di matanya semakin banyak, rasa ketakutan dan kepedihan semakin tergambar jelas di matanya. Deeva mendesah untuk kedua kalinya. Sebenarnya Deeva tidak suka menjadi buronan orang-orang yang membencinya, tapi mau gimana lagi. Seandainya Kevin masih di sini, di sisinya, pasti orang-orang itu tidak akan membuntutinya seperti beberapa hari yang lalu.

Dan masalahnya kini bertambah. Dan kini masalahnya adalah dengan sahabatnya sendiri yang telah ia anggap sebagai, saudaranya sendiri, Kevin Bagraskar. Karena-

"Gue udah nabrak adik lo, Vin. Maaf."

^^

Radhikaeka

24 MEI 2018

Cruel WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang