CW••3

3.2K 260 114
                                    

"Makasih." Ucap Deeva sambil menutup pintu mobil ferrari putih milik Aaron.

Aaron mengangguk. "Gue duluan."

"Hati-hati."

Tak lama mobil ferrari putih cowok itu melaju meninggalkan rumah bergaya minimalis bercat biru laut itu.

Deeva melihat mobil putih itu sampai hilang di tikungan jalan. Cewek itu berbalik dan menatap rumahnya dengan lekat. Hembusan nafasnya berderu kasar. Entah kenapa, ketika melihat rumahnya sendiri ada sesuatu di dalam hatinya yang tercubit.

Kaki yang terbalut sepatu nike putih itu melangkah membuka gerbang lalu memasuki rumahnya dengan wajah datar.

"Nona!"

Langkah Deeva terhenti di tengah tangga. Ia menoleh ke arah sumber suara yang memanggilnya.

"Ya?" Sahut Deeva. Ia menatap salah satu pembantunya dengan alis terangkat satu.

"Tadi tuan ke sini, nyariin nona." Ucap pembantu itu dengan gemetar.

Tubuh Deeva membeku. Matanya panas ingin segera menumpahkan air yang mendesak keluar, tapi ia tahan.
"Why?" tanya Deeva parau.

Pembantu itu menunduk, tak kuasa melihat majikannya menahan tangis. Memang ini adalah kali pertama pambantu itu melihat nona mudanya menahan tangis di hadapannya langsung.

Deeva menatap kosong pintu rumahnya. Pikirannya melayang ke beberapa tahun silam. Ketika keluarganya masih utuh, tanpa adanya pengganggu. Senyum tipis terukir di wajah cantiknya.

"Bilang ke tua bangka itu, kalau saya baik-baik saja. Tak perlu mengkhawatir. Saya bukan anak berusia lima tahun yang selalu dikhawatirkan." Ketus Deeva.

Pembantu itu mengangguk singkat tanpa mengangkat wajahnya. Tubuh bak model itu berbalik, lalu melanjutkan menaiki tangga menuju kamarnya.

Deeva merosot ketika pintu kamarnya sudah ia tutup dan kunci. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya keluar, diiringi isakan kecil dari mulutnya. Ingin rasanya memutar balik waktu untuk kembali ke masa lalu, but imposible. Karena masa lalu adalah kejadian yang terjadi di masa lampau, bukan terjadi pada sekarang maupun masa depan.

Ia merangkak mendekati laci di samping tempat tidurnya sambil memegang dadanya. Dibukanya laci teratas dan mengambil sebuah tablet obat berwarna merah.

Obat itu ia telan tanpa air putih. Rasa sakit di dadanya bercampur menjadi satu dengan rasa pahit di mulutnya dan juga rasa sakit di hatinya. Ia sakit jiwa, raga, dan mental.

Tapi ia bisa apa kecuali berdoa kepada Tuhan untuk meringankan derita yang ia tanggung sendirian ini. Tangan yang mencengkeram dadanya perlahan mulai melemas. Ia menangis sampai matanya tak kuat lagi untuk dibuka.

Ia terlelap di atas lantai yang dingin.

^^

Seorang cowok bertubuh tegap tengah bermain basket di lapangan basket sebelah rumahnya. Cowok itu tampak asik dengan dunianya, meskipun bulan sudah berada di tempatnya, angin berhembus kencang, dan dingin mulai menyapa.


"Huh!"

Suara hembusan nafasnya terdengar. Cowok berkaos hijau army itu berjalan ke samping lapangan dengan membawa bola basket di tangannya. Cowok itu meminum habis air putih di sebuah botol bertuliskan AQUA.


Matanya memincing ketika tak sengaja melirik jam tangan hitam yang ia letakkan di sampingnya. Sudah pukul sebelas malam. Tak terasa waktu cepat berlalu. Cowok bermata coklat itu segera mengambil ponsel di saku celananya. Matanya melotot melihat notif di ponselnya.

Cruel WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang