CW••20

1.3K 105 10
                                    

Upacara akan dimulai tiga puluh menit lagi dan gerbang sekolah akan ditutup sebentar lagi, tapi Deeva masih terjebak macet di tikungan dekat sekolahnya.

Deeva memukul setir dengan kesal. "Sia-sia gue bangun jam enam lebih seperempat kalau tetap terjebak macet gini. Tau gitu gue terus ngorok." Kesalnya sambil menekan bel dengan keras.

"Sial. Niatnya hari ini ngehindarin ocehan guru, tapi tetap aja kena. Hari ini yang jaga Bu Ratna lagi. Duh, teruntuk kuping tersayang gue, yang betah ya."

Deeva terkejut ketika jendelanya di ketuk dengan keras. Dia menoleh dan terkejut lagi karena Aaron yang mengetuknya. Cowok itu memberi isyarat untuk membuka kunci dan membiarkannya nebeng.

"Lo kok di sini?" Tanya Deeva tepat ketika Aaron menutup pintu.

"Lo yang bukain pintu " Jawab Aaron seraya memasang seatbelt.

Keadaan canggung mendominasi mobil lamborghini merah maroon itu. Ingatan Deeva berjalan mundur ke kejadian di cafe semalam. Deeva benci keadaan canggung yang menyiksa ini, tapi dirinya juga tidak tahu pembicaraan apa yang dapat menghilangkan keadaan canggung ini.

"Lo kok tahu ini mobil gue?" Akhirnya Deeva memutuskan untuk bertanya setelah sekian lama hening.

"Aaron gitu loh." Jawab Aaron seraya menyisir jambulnya.

Cih sok keren.

"Aaron ih, serius." Kesal Deeva sambil menekan pedal gas dan mengeremnya dua detik kemudian.

Aaron terkekeh, "Gue tahu semua tentang lo, jadi kalau urusan mobil lo sih gampang."

Kenapa gue ke-ge-er-an?

Setelah ucapan terakhir Aaron, keadaan di dalam mobil merah maroon itu hening kembali. Deeva merutuki dirinya sendiri, bisa-bisanya dia baper dengan cowok sok keren itu.

Ditambah lagi otaknya terus memutar kejadian kemarin di cafe dekat rumah keduanya. Mau tak mau Deeva juga harus mengingat kejadian dimana Aaron menciumnya. Tanpa dia sadari, pipi Deeva memerah.

Deeva menggeleng. Mencoba menghapus adegan demi adegan yang membuat jantungnya berpacu tidak normal. Cewek itu mencoba memfokuskan dirinya pada kemudi mobil.

Tuk.

Deeva menoleh dan hap, wajah orang yang membuat dia tidak tidur semalaman berjarak sangat dekat dengan wajahnya. Jantungnya berpacu semakin cepat.

Ini tidak baik. Dicobanya menepis tangan Aaron yang menyentuh keningnya. Tapi Aaron menahan tangan Deeva.

"Bentar," Ucap Aaron sambil menutup mata.

Ya Tuhan selamatkan Deeva. Keringat dingin mulai muncul di wajahnya. Matanya tak pernah lepas dari wajah Aaron yang sempurna. Rahang sempurna yang menggambarkan betapa gantengnya wajah itu, alis tebal seperti ulat bulu, bulu mata lentik bagi seorang cowok, hidung mancung, dan oh my god, bibir merah muda yang sexy.

Deeva menggeleng pelan. Pikirannya sudah tidak normal. Bagaimana mungkin bayangan Aaron menciumnya muncul kembali?

Sial.

"Gak panas," Ucap Aaron seraya menjauhkan tubuhnya dari Deeva.

"Ha?"

Aaron mendesah lega. Cowok itu duduk nyaman kembali di kursinya. "Gue kira lo sakit, soalnya pipi lo merah dan lo tadi geleng-geleng kepala. Gue kira lo pusing."

"A-apa apaan? S-siapa yang sakit? Gue sehat kok," Ucap Deeva dengan nada yang berusaha ia naikkan namun gagal.

"Iya. Gue tadi khawatir banget. Gue kira lo sakit, ternyata enggak."

Cruel WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang